Empat rasa hati

12.2K 319 8
                                    

Plis, guys, votenya jangan lupa, ya. Belum sampe adegan wleo-wleo, ya. Tunggu aja! 😌

Lelaki itu tak hentinya dari tadi menggenggam lembut tangan Malini yang dingin. Ia baru menyadari, beberapa bagian tubuh istrinya terlihat memar seperti bekas pukulan.

"Mal, mana yang sakit?" tanya Jendra lembut. Mata yang biasanya menatap tajam itu, kini berpendar kelembutan.

"Gak ada. Aku merasa sangat sehat sekarang," bohong Malini. Bohong jika dia berkata tidak ada yang sakit. Tubuhnya terasa sangat sakit, dia juga lelah. Tetapi karena ada Jendra yang dari tadi tidak beranjak dari kursinya, Malini menahan mati-matian sakit di seluruh tubuhnya.

"Tentu kamu tahu, dokter sudah mengatakan semuanya. Kanker yang kamu derita sudah masuk stadium akhir. Harapan untuk sembuh masih ada. Saya harap, kamu bersedia mengikuti semua prosedur, Mal. Kebetulan, saya punya kenalan di Singapura," tutur Jendra lembut menjelaskan maksudnya. Ya, dia ingin membawa Malini berobat ke negera tetangga itu. Di sana rumah sakit dan pengobatan yang lebih baik.

Malini menggeleng. Dia tidak ingin menyusahkan siapa pun. Termasuk Jendra. Waktu tiga tahun yang mereka arungi dalam bahtera rumah tangga menjadi kenangan paling manis di hidup Malini. Kini, dia ingin menyusul Kainan. Cinta pertamanya yang lima tahun lalu dipanggil Tuhan dengan cara tragis.

"Aku gak mau, Jen. Prosedur penyembuhannya itu sangat menyakitkan," tolak Malini lembut. Tak lupa memasang senyum andalannya.

Jendra menatap dalam. Dia ingin Malini sembuh, tetapi jika dari diri Malini saja ia tidak bersedia, bagaimana penyakit tersebut akan pergi?

"Kamu ingin meninggalkan saya?" tanya Jendra. Ada kesedihan dan sayang dalam pertanyaan empat kata itu.

"Hm, kamu masih muda, Jen. Aku merasa, memang ini mungkin sudah saatnya aku pergi." Malini mencoba tersenyum, walau tenggorokannya mulai berat. Sekuat tenaga ia menahan untuk tidak menangis di hadapan Jendra.

"Kesembuhan itu selalu bisa diupayakan. Kita coba dulu, jika di tengah jalan nanti kamu menyerah, baru kita berhenti," bujuk Jendra lagi. Dia masih berusaha membujuk Malini.

"Aku percaya kesembuhan pasti ada. Tetapi, aku tidak ingin menjalani hari-hari kesakitan lagi. Kemo, radiologi, sampai operasi sekali pun, proses itu bukan hanya menyakitkan untukku, tapi juga buat kalian orang-orang sekitarku. Aku mohon, Jen! Aku mohon, kamu bisa menerima keputusanku. Aku hanya ingin menjalani sisa-sisa waktu ini dengan damai bersamamu dan anak-anak."

Jleb!

Bagai belati menusuk jantungnya, Jendra lantas memeluk erat tubuh ringkih sang istri yang terbaring lemah. Dia tidak lagi memaksa Malini. Namun, hatinya tetap tidak rela jika sang istri pergi nanti.

Tanpa keduanya ketahui, Narumi sejak tadi berdiri di balik pintu. Dia balik lagi untuk mengambil tasnya yang tertinggal di sofa. Namun, langkah cerianya terhenti saat mendengar mertuanya saling bicara hati ke hati. Ia syok bukan main saat mendengar Malini menderita kanker. Lebih kaget lagi, saat mertuanya itu membicarakan waktunya tinggal sebentar.

Narumi tidak jadi masuk, dia pergi dari rumah sakit dalam keadaan bingung. Bingung antara sedih dan sakit, melihat wanita yang ia sayangi seperti orang tuanya sendiri itu sedang sakit keras.

"Mas Janu sudah tahu belum, ya? Dia harus tahu Mamanya sakit. Atau mungkin Mama dan Papa sengaja menyembunyikan ini dari Mas Janu?" tanya Narumi. Langkahnya terhenti pada sebuah taman tak jauh dari rumah sakit. Ia memilih duduk di kursi taman berbentuk jamur, lalu mulai bergelud antara bercerita dengan Janu atau tetap diam.

Hangatnya Ranjang Ayah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang