Seperti benang kusut

8.2K 265 14
                                    

Hai, ada yang kangen? Aku kangen loh bacain komen kalian. Jadi, ada penerbit yang minat dengan cerita ini. Aku masih pikir2 untuk ambil apa kagak. Yang jelas, misal dibukukan, ceritanya sedikit beda dan lebih kompleks. Kira-kira, kalian mau beli, gak, kalo udah jadi buku?






Tak pernah, bahkan Narumi tidak berharap bertemu lagi dengan Ayah dan Kakaknya. Namun, sore ini, tiba-tiba dua orang dari masa lalunya itu muncul di depannya seperti hantu. Begitupun dengan kenangan-kenangan buruk yang mereka bawa memenuhi kepalanya sejak tadi.

Dia sudah tiba di apartmen Jendra sejam yang lalu. Duduk diam di sudut kamar dekat walk in closet. Tak ada air mata, hanya ada tatapan kosong seperti kemarin. Narumi baru menyadari, banyak luka yang ia miliki. Selama ini, ia pikir, kehilangan ibu adalah hal paling membuatnya terluka. Pada kenyataannya, luka yang lebih besar adalah ayahnya.

"Naru!" panggil Jendra. Pria itu baru saja pulang setelah menyelesaikan pekerjaan kantornya yang seabrek. Wajahnya kusut, senada dengan penampilannya.

"Naru? Apa dia belum pulang, ya? Ah, kan, tadi Pak Ali sudah menghubungi saya kalau mereka langsung pulang." Jendra menuju walk in closet. Dia butuh air dingin untuk kepalanya yang berasap. Saat membuka pintu, ia cukup terkejut mendapati Narumi duduk di dekat gantungan kemejanya. Wanita itu diam sembari memeluk lutut.

"Hei? Kenapa duduk di sini?" Jendra mendekat, mengelus sayang kepala Narumi seperti biasa. Hal itu sudah menjadi kebiasaan Jendra selama ini. Helai-helai halus rambut sepunggung Narumi terasa sangat lembut di tangannya.

Narumi hanya menggeleng lemah, membuat Jendra berdecak kecil karena tidak mendapat jawaban pasti. Pria yang menggunakan kemeja biru muda yang kancing tiga atasnya terbuka itu, ikut bersila di samping Narumi. Dia menatap teduh ke arah wanita yang dari tadi masih diam.

"Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa, Pa," jawab Narumi tanpa minat.

"Ada apa?" Jendra kembali mengulang pertanyaannya dengan nada lebih lembut.

Bukan jawaban yang Jendra dapat, malah air mata Narumi yang kembali luruh membasahi pipi cabinya. Jendra menghela napas pelan. Selanjutnya, jemari besar lelaki itu menghapus jejak air mata Narumi dengan sangat lembut.

"Belum mau cerita, ya, gak papa, kok." Jendra tidak memaksa. Pasti itu sesuatu yang berat untuk Narumi.

Narumi memandang Jendra lurus. Tatapan teduh pria itu membuatnya tidak tahan lagi. Ia segera menubrukkan diri memeluk erat sang papa mertua tiri. Lalu menangis sekencang-kencangnya lagi, menumpahkan segala sesak yang sejak tadi membelenggu dadanya.

"Hei, hei, kenapa Naru?" Masih dengan sayang, Jendra juga mengusap-ngusap punggung Narumi.

"Tadi, di makam Ibu. Aku ketemu sama Kakak dan A-ayah. Ya, pria yang dulu sering memukuli Ibu. Pria itu melihatku dengan tatapan yang sama. Benci. Dia masih membenciku, Pa."

"Tidak ada orang tua yang membenci anaknya, Naru. Mereka hanya salah mengekspresikan kasih sayang mereka."

"Tidak! A-ayah membenciku dari dulu karena aku tidak sepintar Kakak. Aku-aku-aku ..." Narumi tidak sanggup lagi melanjutkan. Dadanya terlalu sakit.

Hangatnya Ranjang Ayah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang