Vote dan komen, ya!
Pasangan muda itu masih berada di rumah sakit. Mereka kini berada di kafetaria yang terletak di lantai bawah fasilitas kesehatan tersebut. Tidak ada yang berbicara, Narumi memilih diam sembari menikmati sepiring nasi goreng spesial. Sementara, sang suami menikmati semangkuk bakso.
Pagi-pagi makan bakso. Ckckck, Narumi mencibir dalam hati. Bisa-bisanya Janu memakan bakso di pagi menjelang siang ini. Ia tidak mengerti jalan pikiran pria yang dari tadi sibuk dengan ponsel mahalnya itu.
Tadinya, Narumi menolak mentah-mentah ajakan sarapan Janu. Dia berdalih ingin menjaga Malini saja. Namun, mama mertuanya itu takut Narumi sakit lagi. Jadi, dengan sangat terpaksa Narumi duduk berhadapan dengan Janu di kafetaria rumah sakit.
"Kenapa menatapku begitu, Na?" tanya Janu, matanya masih menatap ke arah ponsel yang sejak tadi terus bergetar.
'Sial!' Narumi mengumpat dalam hati. Dia memilih memandang ke arah lain, asal tidak pada pria di depannya itu.
"Kenapa gak dihabiskan?" tanya Janu lagi. Kini, dia sudah memasukkan kembali ponselnya ke saku celana, sehingga sepenuhnya perhatian tertuju pada istri cantiknya.
"Kenyang," jawab Narumi pendek. Dia memang kenyang dan hanya menghabiskan beberapa sendok nasi saja. Perutnya belum begitu normal untuk menerima porsi makan seperti biasa.
"Perutnya masih sakit?" tanya Janu perhatian. Dia bergeser duduk di bangku sebelah Narumi, lalu mengambil tissue dan membersihkan sisa minyak yang tampak di sudut bibir Narumi.
"Ish! Apaan, sih!" decih Narumi berusaha menghindar, tetapi kalah cepat saat tangan Janu melingkar erat di pinggang rampingnya.
"Masih aja kayak anak kecil, Na. Gemes!" Janu tersenyum tipis. Dia tidak bohong untuk kalimat satu ini, istrinya memang menggemaskan. Coba tanya Jendra, pasti dia akan mengatakan hal yang sama.
"Apa, sih! Jauh-jauh sana! Hush!" usir Narumi dengan gerakan tangan seperti mengusir kawanan ayam.
"Jadi, masih marah, nih?" tanya Janu lagi. Senyum tak luntur dari bibir tipis kemerahannya.
"Menurut lo? Pikir sendiri sana!" Narumi ingin sekali marah, tetapi dia tahu ini bukan tempat yang tepat. Walaupun kafetaria tersebut hanya diisi beberapa pengunjung. Tetap saja tempat umum.
"Maafkan aku, Na. Maaf ..." ucap Janu tulus.
"Aku gak tau, ya, Mas. Aku rasanya sakit banget. Aku kemarin pengin pergi aja dari kehidupan kamu. Tetapi sekarang mikir lagi, Mama sakit gara-gara mikirin masalah kita juga." Narumi menerawang jauh, pada taman rumah sakit yang rindang dan penuh warna-warni jenis bunga. Dia harus menekan egonya kali ini, demi Malini. Ya, demi ibu mertuanya yang sangat baik.
"Kamu tidak ingin bertanya tentang wanita itu?" sambung Janu. Kini, tatapannya terfokus pada sang istri yang tampak sangat cantik dilihat dari samping.
Narumi menggeleng. "Kemarin aku pikir, penjelasan itu perlu. Tapi sekarang, sepertinya tidak perlu. Ya, tidak perlu," jawab Narumi tidak yakin. Dia hanya tidak ingin merasakan sakit berlebih lagi. Biarlah. Biarlah!
"Jadi, kamu mau memaafkan aku, Na?" Kini, Janu menggenggam erat tangan kanan Narumi yang hangat.
Narumi menggeleng. "Gak tau. Sekarang, kita jalani saja seperti biasa di depan Mama. Selebihnya, aku gak tau, Mas. Aku bingung dengan perasaanku sendiri. Beri aku waktu untuk memikirkan kelangsungan rumah tangga kita ini," ucap Narumi mengakhiri diskusi yang kian menyesakkan dada itu. Ya, Narumi mati-matian tetap terlihat tenang. Dia tidak ingin terlihat lemah di depan Janu.
"Tapi, Na!" Janu kecewa dengan jawaban Narumi, tetapi ia memang salah di sini.
"Sudahlah. Tidak ada yang perlu dibicarakan. Aku akan kembali ke kamar Mama. Mas terserah mau ikut atau pulang," putus Narumi. Dia membayar nasi gorengnya sendiri, lalu pergi lebih dulu meninggalkan Janu yang masih terduduk lemas di bangkunya. Pria itu masih bingung dengan perasaannya sendiri. Apakah benih cinta mulai tersemai? Namun, saat perasaan itu mulai tunas, Narumi sudah menginjaknya lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hangatnya Ranjang Ayah Muda
ChickLitNarumi tidak pernah menyangka akan terlibat perasaan dengan mertuanya sendiri. *Cover bikinan temenku @dewandaru Banyak adegan 1821-nya. Bocil jauh-jauh sana!