Gak Karuan

49.6K 739 5
                                    

Tolong bintangnya, ya! Gratis, kok. Cerita ini udah pernah aku post di paijo, tapi karena kena banned, ya, udahlah ya. Plagiat jauh-jauh, deh.

Malu iya, marah juga, Narumi tidak tahu bagaimana perasaannya sekarang. Dia baru saja turun dari kamarnya untuk sarapan karena Malini menyuruhnya makan. Ibu mertuanya itu tampak kelelahan, tetapi berusaha tersenyum hangat pada Narumi.

Sementara, sang pelaku utama yang membuat perasaan Narumi tidak karuan, sudah berangkat ke kantor. Setelah mengantar teh hangat dinihari tadi, Narumi belum melihat suami dari mama mertuanya itu.

"Bagaimana keadaan kamu, Na?" tanya Malini.

"Baik, Ma. Mamah kenapa gak istirahat? Bukannya, baru pulang subuh tadi? Aku bisa bikin sarapan sendiri, Ma."

"Gak papa, Na. Setelah ini mama akan istirahat. Kamu tidak perlu khawatir."

Lihatlah, mertua Narumi sangat baik. Mana tega dia melihat Malini yang terlihat kelelahan. Walau masih segar, usia tidak bisa bohong. Malini butuh istirahat. Jendra sudah bilang tadi, tetapi Malini keukeh ingin membuatkan sarapan untuk menantu cantiknya.

"Ya, sudah, Ma. Biar aku yang beresin. Mama istirahat saja. Tuh, keliatan banget capeknya, Ma," ingat Narumi.

"Iya, Sayang. Mama ke kamar kalau gitu. Kamu habiskan makannya, ya."

Setelah mengelus puncak kepala Narumi singkat, Malini menuju kamarnya di dekat tangga. Sementara, Narumi menatap nanar punggung wanita yang melahirkan suaminya itu. Ternyata, keberadaannya di rumah ini hanya menyusahkan semua orang. Bukan hanya Malini, Jendra pun jadi kesulitan. Itu pemikiran Narumi.

"Aku sepertinya kembali saja ke apartemen. Di sini malah nyusahin." Narumi duduk di kursi makan. Dia harus mengisi energi.

Berbicara mengenai Janu, pria itu belum mengabarinya sampai sekarang. Narumi tidak mungkin bilang sama Malini, yang ada wanita itu akan memarahi Janu nantinya.

Di sisi lain, Jendra masih memikirkan Narumi. Dia terlihat gusar menekan tuts keyboard macbook-nya dengan kasar.

"Aku harus menghubungi anak itu," putus Jendra akhirnya.

Pria dengan setelan serba cokelat itu mengambil ponsel yang tergeletak di dekat map. Dalam sekejap, ia menempelkan di telinga kanan. Beberapa kali dering tidak ada jawaban dari nomor yang ia hubungi.

"Shit! Di mana anak itu? Dia tidak sadar telah membuat istrinya sedih. Ah, sudahlah, kenapa aku harus memikirkan mereka? Pekerjaanku lebih penting," gumam Jendra. Dia segera mengakhiri pemikiran konyolnya itu dan kembali fokus pada pekerjaan.

Di tempat lain, Janu menatap ponselnya yang menampilkan nama Rajendra. Namun, dia tidak berminat untuk mengangkat panggilan tersebut. Dia tidak terlalu akrab dengan Jendra, walau ketika bertemu sering berinteraksi. Namun, berhubungan lewat telepon, bisa dihitung dengan jari. Sepuluh jarinya pun mungkin kurang.

"Kenapa, Ja? Keningmu berkerut begitu?" tanya Laura. Dia sedang memakai produk perawatan wajah.

"Ini, ayah tiriku menelpon. Tumben sekali." Janu melempar asal ponselnya ke atas ranjang, lalu mendekat ke arah Laura yang masih mengenakan jubah mandi.

"Kenapa tidak kau angkat saja, Ja, siapa tahu penting," saran Laura. Dia mulai merasa geli dengan tindakan Janu yang makin liar.

Hangatnya Ranjang Ayah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang