Setiap pagi selama dua minggu ini Zira tidak bisa jika tidak melihat keberadaan Subendra yang selalu bangun pagi dan berolahraga lalu dilanjut dengan menyiram tanaman. Celana rumahan yang ala babeh babeh itu masih digunakan, agak menyakiti mata Zira sebenarnya. Namun, dia agak tertolong ketika Subendra menggunakan kaos yang agak ketat dan menunjukkan bentuk ototnya yang liat. Apalagi ketika pria itu hanya menggunakan kaos oblong yang secara buka-bukaan menunjukkan otot lengannya. Wah, kalo pas kayak gitu tuh masakan gue seringnya gosong di bagian bawah gara-gara ngaduknya ngaco, sambil lihatin bulu keteknya—eh?
Iya, bulu ketiak Subendra mau diakui atau tidak memang menawan di mata Zira. Sungguhan, otot lengan pria itu memang menawan, tapi entah kenapa bulu ketiaknya yang terlihat bukannya membuat jijik malah menambah kesan manly dari diri Subendra.
"Mbak? Masakannya gosong, tuh."
Zira terbangun dari lamunannya dan melihat sayur pakcoy nya yang benar-benar gosong. "Aduh!"
Dengan cepat Zira mematikan kompor dan membereskan segalanya yang berhubungan dengan masakannya pagi itu.
"Makanya, Mbak. Kalo lagi masak jangan sibuk ngintipin orang!"
Ketika mendengar kalimat tersebut Zira secara otomatis mencoba mengingat jenis suaranya. Dia ingat bahwa beberapa malam sebelumnya, memang dia mendengarkan obrolan antara Subendra dan cewek genit yang tidak diomeli ketika memanggil Subendra dengan sebutan Mas Bentot. Dan benar saja, ketika dia menoleh, cewek genit itulah yang dilihat Zira. Secara cepat mata Zira menyipit untuk mengirimkan sinyal permusuhan kepada cewek genit itu.
"Gimana, Mbak? Ngintipin orang?"
Kartika melirik seakan Zira bukanlah manusia yang perlu dipertimbangkan untuk dilihatnya.
"Kalo penghuni baru memang biasanya norak, sih, lihat Mas Bentot yang memang menarik perhatian. Nggak heran kalo mbaknya suka banget masak pagi untuk ngeliatin Mas Bentot yang lagi olahraga, kan."
Wah, sialan ini cewek genit!
"Maaf, ya, Mbaknya yang terhormat dan senior di kos ini. Saya masak untuk sarapan pagi saya sendiri. Bukan untuk ngintipin siapa pun. Lagian, kalo Mas Bentot mbaknya yang tercinta itu olahraga pagi di depan dapur kos, saya bisa apa? Apa saya yang harus ngalah untuk masak di dapur kos laki-laki? Atau saya harus nahan perut lapar saya yang kalo pagi-pagi udah biasa diisi hanya demi jaga pandangan ke Mas Bentot kesayangan mbaknya itu? Kalo mbaknya memang iri, silakan ikut mulai masak pagi sama saya. Biar mbaknya bisa mantau sendiri Mas Bentot kesayangan mbaknya itu nggak saya lahap karena sengaja pamer otot di depan dapur kos, ketimbang pergi ke gym!"
Zira sudah terlanjur kesal, makanya dia mengutarakan seluruh kemarahannya dengan menggebu-gebu. Dia bahkan tidak tahu jika Subendra sudah mendekat dan mendengarkan apa yang Zira katakan pada Kartika.
"Kenapa ini? Kenapa pagi-pagi kalian berdebat?"
Zira menoleh kepada Subendra dan menunjukkan betapa kesalnya dia ditengah situasi memalukan seperti ini.
"Nggak ada apa-apa! Ini urusan cewek. Khususnya saya sebagai cewek junior yang dikira ngintipin Mas Bentot kesayangan Mbak Kartika ini, dan cewek senior yang nggak rela calonnya dilihatin cewek lain pas lagi olahraga di depan dapur kos!"
Tanpa menunggu balasan apa pun, Zira merapikan sisa benda untuk masak dan meninggalkan Subendra bersama Kartika. Dia tidak ingin lebih lama berada di sana, apalagi dengan kondisi perut yang masih kosong. Lebih baik dia bersiap-siap ke kantor dan mencari sarapan di luar saja.
***
Zira mengeluarkan motornya dengan perut yang terus berbunyi. Dia itu tipikal anak yang sejak kecil memang selalu makan sarapan setiap pagi. Bahkan terlalu pagi bagi teman-temannya. Sedangkan, kebanyakan orang lain pasti mengatakan bahwa mereka tidak terbiasa makan sepagi Zira karena akan merasa mual dan cenderung selalu mulas jika sarapan terlalu pagi. Itulah bedanya Zira dengan orang lain. Makanya ketika dia sudah keluar dari gerbang, dan dihadang oleh Subendra, secara otomatis dia menghela napas dengan lemas.
"Tolong jangan perpanjang masalah tadi sekarang, Mas Subendra. Saya nggak ada tenaga karena belum sarapan. Nanti sore aja, pulang kerja. Silakan Mas Subendra tanya-tanya nanti—"
"Saya masak di rumah. Kamu ke belakang dulu, bawa bekalnya supaya sampai kantor langsung bisa sarapan."
Zira terkejut karena hal itu. Kenapa pula pria itu menawarkan makanan yang dimasaknya pada Zira? Yang tadi bermasalah, kan, memang Zira. Kenapa bukan Kartika yang diajak untuk membawa bekal untuk sarapan?
"Saya nggak mau hutang budi, Mas."
Kali ini Subendra yang terlihat menghela napasnya. "Ini bukan untuk membuat kamu hutang budi ke saya. Tapi sebagai permintaan maaf saya karena menyebabkan kamu dan Kartika bertengkar."
Zira masih senantiasa menatap Subendra dengan bingung. Namun, pria itu langsung menaiki jok motor sebagai pengemudi dan membuat Zira mau tak mau naik dengan cepat.
"Ikut ke belakang atau kamu jalan kaki biar keringetan lagi?"
Ancaman itu sukses membuat Zira naik sebagai penumpang dan ikut ke pintu belakang dimana rumah Subendra berada. Pria itu memasukkan motor Zira ke garasi samping dan membuat perempuan itu masuk ke dalam rumah Subendra untuk kedua kalinya, setelah insiden Zira kena tegur akibat masuk ke kos tanpa bicara lebih dulu.
"Kamu suka sambel nggak?" tanya Subendra.
"Suka. Itu sambel terasi, kan?"
"Iya. Masih ada sisa terasi dari kampungnya Ibu saya. Lebih enak dari terasi yang dijual kemasan di warung-warung."
Zira mengangguk-angguk sambil mengamati Subendra yang merapikan semuanya dalam kotak bekal dengan rapi. Dilihat-lihat begini, Zira jadi menyimpulkan bahwa Subendra sangat cocok sebagai suami. Hampir tidak ada celahnya sama sekali. Yang pasti keburukan paling besar itu soal gaya pakaiannya yang norak!
"Kenapa malah saya yang Mas Subendra kasih bekal sebagai permintaan maaf? Kalo ada yang harus minta maaf, itu antara saya atau senior kos yang namanya Kartika itu."
Zira menunggu jawaban dari Subendra, tapi hingga pria itu menutup zipper kotak bekal berwarna hitam itu, tidak ada kalimat yang pria itu sampaikan. Justru, Subendra malah langsung memberikan bekal itu pada Zira.
"Ini, bawa bekal kamu. Saya akan jelaskan nanti setelah kamu pulang kerja. Saya mau tahu dengar masalahnya sebenarnya dari sisi kamu. Sekarang, kamu berangkat dan jangan sampai karena hal ini malah telat."
"Tapi—"
Subendra mendorong bahu Zira untuk keluar dari rumah pria itu. Dia menuntun semua langkah Zira hingga perempuan itu menyalakan motornya. Tidak lupa Subendra membukakan pintu garasinya agar Zira tidak perlu repot turun dari motor lagi.
"Ini beneran nggak ada apa-apanya, kan, Mas?" tanya Zira di depan pintu gerbang dan pria itu menunggunya untuk pergi.
"Nggak ada apa-apanya, maksudnya?"
"Ya, siapa tahu Mas Subendra udah kong kalingkong sama mbak Kartika buat ngerjain saya. Kalian, kan, keliatan akrab dan nyambung banget kalo ngobrol berdua. Nggak mungkin kalo Mas Subendra bersikap baik disaat saya udah bikin masalah sama cewek yang kayaknya Mas Subendra taksir itu. Ini nggak ada obat biar saya mencret, kan?"
Subendra menepuk jidatnya. "Astaga. Shazira, kamu ini benar-benar suka ceplas ceplos, ya. Kamu penuh dengan opini di kepalamu sendiri. Lagian ngapain saya kasih obat semacam itu? Saya nggak punya masalah sama kamu, dan saya juga nggak naksir Kartika. Udahlah, jangan kebanyakan ngobrol lagi. Kamu ke kantor, kerja, dan selesaikan hari kamu tanpa memikirkan hal aneh-aneh. Kita bicara setelah kamu pulang kerja."
Meski Zira masih agak tidak percaya, tapi dia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Dia memang bisa semakin telat jika menanyakan ini dan itu pada Subendra karena rasa penasarannya. Memang lebih baik dia bekerja lebih dulu, baru bisa bicara leluasa dengan Subendra setelah pulang kerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Dibalik Celana Mas Bentot
RomanceSubendra Wiyahya, atau yang sering disapa Bentot, adalah pria low profile yang memiliki sepaket titel; mapan, tampan, dan memenuhi harapan. Setidaknya paket titel itu berlaku dan diinginkan para perempuan. Tidak terkecuali Shazira Mafasa. Zira, si...