"Aku nggak tahu kalo kamu kenal kakakku sebelumnya."
Subendra mendapati pertanyaan ini akhirnya disampaikan oleh sang kekasih setelah tiga hari pasca kunjungan mereka ke rumah orangtua Zira. Pertanyaan Zira jauh melesat dari perkiraan Subendra untuk dilayangkan sebegitu mereka sampai kembali ke kosan. Justru Zira menunda pertanyaannya hingga tiga hari.
"Aku aja nggak tahu kamu adiknya Shanira. Gimana aku bisa bilang kalo aku kenal kakak kamu?" balas Subendra.
Memang tidak ada yang bisa dikatakan oleh Subendra jika perempuan itu menanyakan demikian. Dia dan Shanira dulu tidak seserius itu untuk saling mengenal atau menceritakan mengenai keluarga mereka. Hubungan pacaran Subendra dan Shanira bisa dikatakan adalah pacaran sepihak. Subendra yang lebih suka dengan Shanira. Bukan sebaliknya.
"Bener juga, sih. Kamu nggak tahu siapa kakakku, karena kita memang nggak banyak saling bertukar informasi mengenai keluarga. Wajar."
Subendra melirik kekasihnya dari adonan martabak tahu yang sedang pria itu buat. Dia bisa melihat Zira yang masih termenung, yang artinya perempuan itu masih memiliki pertanyaan di dalam kepalanya.
"Apa yang mau kamu tanyakan lagi? Jangan ditutupi. Kamu bisa bilang apa pun. Aku akan jawab."
Zira membalikkan tubuhnya dari sofa. Dia menatap Subendra yang hanya sesekali menoleh tanpa benar-benar fokus pada perempuan itu karena kegiatan memasaknya.
"Harusnya aku yang tanya begitu. Ada lagi nggak yang mau kamu sampaikan ke aku? Ada yang kurang nggak? Karena aku ngerasa dari jawaban kamu, aku nggak mendapatkan informasi apa-apa."
"Informasi? Apa yang mau kamu gali? Aku nggak tahu harus menjelaskan bagaimana. Karena mungkin, membicarakan masa lalu akan membuat kamu jadi lebih sensitif nantinya. Padahal, masa lalu tempatnya akan selalu di masa lalu."
Subendra memasukkan adonan tahu ke dalam kulit lumpia dan melipatnya rapi. Dia menggoreng secara perlahan martabak tahunya. Namun, pria itu masih bisa mendengar, "Masa lalu tempatnya di masa lalu, ya?"
Subendra tidak tahu kenapa feeling nya mengatakan hal yang tidak baik. Dia tahu bahwa segalanya mungkin akan menjadi rumit jika dia tidak menjelaskan apa pun mengenai Shanira. Namun, menjelaskan segalanya juga sudah bisa ditebak akan membuat kekasihnya kesal dan memikirkan yang tidak tidak mengenai masa lalu Subendra dan kakak perempuan itu.
"Kenapa? Kalo ada yang masih kurang dari jawabanku kamu bisa tanya."
"Aku nggak mau tanya. Aku maunya dengerin aja."
"Ya, apa yang mau kamu denger?" balas Subendra.
"Apa aja yang mau kamu sampaikan ke aku. Apa pun."
Subendra mencoba mengabaikan penekanan nada diakhir yang dilakukan Zira. Meski memang sulit untuk tidak kepikiran ke arah dimana tebakan pria itu adalah Zira memang sudah tahu segalanya. Tapi tahu dari mana?
"Nggak ada yang bisa aku sampaikan kalo kamu nggak tanya, Zira."
Subendra tidak mendengar kembali balasan dari Zira. Dia menoleh, dan kekasihnya sudah membalikkan tubuh tanpa mengatakan apa-apa. Meski sadar bahwa ini sangat jauh dari perkiraannya. Subendra jelas tetap pada pendirian, tidak mau memperkeruh hubungan mereka dengan masa lalu yang tidak perlu dibahas. Sebab yang harusnya dibahas adalah hubungan mereka yang akan serius ke jenjang pernikahan.
***
Kenapa Subendra tidak mengatakannya? Kenapa pria itu tidak menjelaskan dengan jujur bahwa Shanira adalah mantan pacar Subendra? Apa pria itu mengira Zira selamanya tidak akan tahu? Apa pria itu mengira bahwa Zira tidak mendengar apa yang dibicarakan Subendra dan Shanira? Dengan pancingan supaya pria itu mengatakan banyak hal setelah tiga hari kunjungan ke rumah orangtua Zira, tapi semuanya percuma. Zira mendapati kekasihnya tidak mau menjelaskan apa pun.
"Kenapa lo?"
"Jangan ganggu, ah!"
Selfi yang melihat temannya tidak mood dalam melakukan banyak hal menjadi menyimpulkan bahwa Zira kembali bermasalah dengan pacarnya alias Mas Bentot.
"Kenapa lagi sama Mas Bentot?" tanya Selfi to the point.
Zira menoleh, tatapannya tajam pada Selfi. Namun, Zira tidak mengeluarkan kata-kata penuh kemarahan. Perempuan itu justru langsung membalas pertanyaan Selfi yang blak blakan dengan begitu cepat.
"Bentot mantannya kakak gue."
Selfi jelas saja menyemburkan kopi dingin yang dibelinya dan belum sempat mampir ke tenggorokan itu. Meja kerjanya langsung kotor, dan semua itu akibat ucapan Zira.
"Gila! Mikir dikit kenapa, sih, kalo mau kasih kalimat kejutan!" protes Selfi.
"Gue udah buntu banget mau basa basi kayak apa, Sel."
"Kenapa sampe buntu? Lo nggak tanya sama pacar lo kenapa dia bisa milih lo jadi pacarnya? Adik dari mantan pacarnya, dia pacarin. Aduh! Pusing banget sama jalan takdir si Bentot."
Zira menghela napasnya dan mengangguk. "Gue juga bingung. Soalnya dia bilang nggak tau gue punya kakak. Dia jelas nggak sengaja, Sel. Tapi masalahnya, dia nggak mau bilang apa-apa soal masa lalunya sebagai pacar kakak gue."
"Kalo dia nggak bilang apa-apa, kenapa lo bisa tahu Mas Bentot mantan pacar kakak lo?"
"Gue nggak sengaja nguping. Mereka ngobrol di taman samping rumah orangtua gue. Pas banget pembahasannya soal celana yang selama ini selalu dipake sama dia. Itu celana dari kakak gue waktu mereka masih pacaran dulu. Itu artinya Mas Bentot nggak bisa move on dari kakak gue, kan, Sel?"
Selfi langsung membungkam mulutnya. Dia tahu celana mana yang selalu digunakan Subendra sejak Selfi masih menjadi anak kos disana. Celana cutbray norak yang selalu digunakan Subendra. Tidak disangka itu adalah pemberian mantan pacarnya, yang tidak lain tidak bukan adalah kakak Zira. Selfi bisa saja langsung berkomentar dengan julid, jika itu bukan temannya. Bukan Zira dan bukan Subendra. Masalahnya, Selfi tahu mantan bapak kosnya itu tidak pernah macam-macam. Selfi juga tahu Zira tidak pernah suka bermain-main dengan perasaan. Keduanya orang yang baik. Namun, dengan masalah semacam ini, Selfi tidak bisa berkata dengan leluasa.
"Lo nggak tanya langsung kenapa dia masih pake celana itu? Lo nggak pastiin?"
"Dia udah jawab pertanyaan itu ke kakak gue. Dia bilang karena nyaman aja. Dia juga nggak mau terlalu pusing mikirin tren. Tapi ini bukan masalah tren. Ini soal ... soal gimana perasaan dia sebenernya! Dia pasti bisa lihat kemiripan antara gue dan kakak gue. Itu sebabnya dia tertarik sama gue dengan cepat. Gue bikin dia inget sama kakak gue. Pantesan Kartika bisa kalah gitu aja dari gue. Karena Subendra itu belum bisa move on —"
"Zira."
Curhatan Zira terhenti dengan kehadiran Tiago.
"Ya, Pak?"
"Nanti ikut saya lihat lokasi syuting iklannya, ya. Sekalian untuk memperkirakan budget untuk disetor ke divisi finance."
Pria itu tidak akan memahami apa yang sedang Zira rasakan. Toh, untuk apa Tiago tahu juga? Dia, kan, hanya kepala divisi saja.
"Iya, Pak. Tenang aja. Saya nanti ikut Bapak."
Tiago tersenyum dan mengatakan terima kasih. Lalu, berjalan menuju mejanya sendiri. Kalau kepala divisi sudah datang begini, Zira tidak akan bisa leluasa bercerita lagi kepada Selfi. Mau tidak mau, Zira menahan mulutnya untuk mengajak bicara temannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Dibalik Celana Mas Bentot
RomanceSubendra Wiyahya, atau yang sering disapa Bentot, adalah pria low profile yang memiliki sepaket titel; mapan, tampan, dan memenuhi harapan. Setidaknya paket titel itu berlaku dan diinginkan para perempuan. Tidak terkecuali Shazira Mafasa. Zira, si...