Subendra menyadari bahwa sikap kekasihnya menjadi lebih berjarak. Berbeda dari sebelumnya. Zira yang suka memancing dan menggebu-gebu jadi tidak ada. Walau dari segi obrolan dan berbagi waktu berdua di rumah pria itu tetap ada. Tapi Zira jelas menunjukkan bahwa dia tidak ingin bersentuhan terlalu lama atau terlalu dekat dengan Subendra. Semula, sih, Subendra yakin tidak ada bedanya. Yang berbeda hanya physical touch Zira yang berkurang pesat. Bahkan bisa dibilang tidak ada.
Setiap kali Subendra menjemput perempuan itu, sesi berpelukan hanya bertahan selama beberapa detik saja. Subendra menghitungnya. Jauh sekali dari kebiasaan Zira yang suka berlama-lama memeluknya, mencium aroma tubuh Subendra, bahkan seringnya mengendus tengkuk sampai mereka berciuman panjang untuk menikmati kerinduan mereka setelah aktivitas seharian.
Subendra berusaha mengingat kembali berapa lama sudah mereka tidak saling berpagut. Sejak mereka menyelesaikan pertengkaran, Zira tidak lagi memberikan ciuman pada pria itu. Sekarang, Subendra menunggu kedatangan Zira di halte seperti biasa. Namun, tidak ada tanda-tanda kekasihnya muncul. Biasanya paling lama Zira akan terlambat lima belas menit. Namun, sekarang sudah lebih dari lima belas menit. Pikiran Subendra tidak bisa memikirkan hal selain perkiraan buruk mengenai kondisi Zira.
Subendra berniat untuk menghubungi nomor Zira, tapi saat itu panggilan masuk dari Selfi—penghuni kosnya yang juga teman kantor Zira. Tanpa menunggu lebih lama, Subendra segera menerima panggilan itu.
"Halo."
"Mas Bentot. Saya dapet info dari ketua divisi, Zira dibawa ke klinik deket kantor. Tolong lihat Zira disana, ya, Mas. Kebetulan saya udah pulang dari jam empat, jadi sekarang saya nggak bisa ke sana. Mas Bentot lagi nungguin Zira, kan, ini, ya?"
"Iya, Mbak Selfi. Saya ke kliniknya. Tolong info share loc nya, ya. Saya segera untuk kesana."
Subendra sudah pasti tidak bisa tenang dengan kondisi yang berjalan saat ini. Firasatnya memang benar, terjadi sesuatu dengan kekasihnya itu.
"Apa yang terjadi sama kamu, Zira?"
***
Subendra sesungguhnya panik. Demi apa pun, dia panik karena Zira dibawa ke klinik. Jika sudah ke klinik, pasti karena alasan kesehatan. Pikiran pria itu kemana-mana, tapi saat melihat bagaimana Zira berbincang dan menyematkan senyuman kepada seorang laki-laki yang membantunya untuk duduk, memberikan minum, dan mengusap bahu sang kekasih, kepanikannya bergeser menjadi rasa tak suka. Tidak nyaman menyaksikan Zira dekat dengan lelaki lain. Apalagi, Zira tidak menolak untuk disentuh lelaki itu!
Giliran kalo aku deketin malah kabur!
"Mas Ben?"
Panggilan dari Zira menyadarkan Subendra untuk segera mendekati perempuan itu. Guna mengetahui kondisi yang membuat Zira sampai di klinik ini.
"Kamu kenapa sampai begini?" tanya Subendra dengan menyentuh kening kekasihnya.
"Eh aku ... pingsan aja, sih."
Zira menjawabnya sembari menghindari disentuh Subendra agar tidak lama. Gerakan itu membuat Subendra semakin tidak nyaman dengan gerak-gerik kekasihnya sendiri.
"Zira pingsan karena ini hari pertamanya datang bulan. Dia kurang darah dan lemas. Belum lagi dia memaksakan diri untuk tetap lembur. Tubuhnya makin tidak fit. Saya yang melihatnya memaksakan diri berniat untuk menyuruhnya pulang, tapi belum apa-apa, Zira sudah pingsan dan saya langsung bawa kesini."
Semua itu didengarkan oleh Subendra. Namun, dia tidak ingin terlalu peduli pada apa yang disampaikan oleh lelaki itu.
"Anda kepala divisinya?" tanya Subendra.
Lelaki itu mengangguk dengan senyuman. "Saya Tiago Rhorry. Dan benar, saya kepala divisi—"
"Terima kasih sudah mengurus kekasih saya. Saya akan tanggung biayanya."
Subendra sengaja berkata demikian dengan maksud untuk mengusir Tiago. Dia tidak ingin membuat Zira dan kepala divisinya berada di tempat yang sama lebih lama. Membayangkan bagaimana Tiago membawa Zira kesini adalah hal yang sangat mengusik Subendra. Kenapa rasanya ada aja, sih, kerikil di hubungan ini?
"Kalau begitu saya akan pulang." Tiago melihat Zira dan menepuk beberapa kali tangan perempuan itu sebagai tanda untuk menyemangati Zira. "Cepet pulih. Kalau kamu besok mau ambil izin sakit juga saya sampaikan ke Mbak Tiwi. Jangan sampai kondisi orang begini malah dipaksa—"
"Saya akan mengingatkan kekasih saya untuk ambil cuti. Silakan pulang sebelum semakin malam."
Seperginya Tiago, barulah Subendra dan Zira bisa bicara leluasa berdua.
"Kenapa nggak bilang kalo ini hari pertama menstruasi kamu?" tanya Subendra.
"Aku nggak apa-apa. Aku cuma kecapekan aja, Mas. Jangan panik begitu."
Subendra inginnya langsung membicarakan apa yang ada di kepalanya. Namun, dia tidak mau membicarakannya di klinik seperti ini juga.
"Yaudah, aku bayar dulu, terus kita pulang."
"Iya, Mas Ben."
***
Ada bagian yang mengejutkan untuk Zira dengar ketika berbaring di ranjang kekasihnya. Dia tidak mau begini, berada di kamar Subendra hanya akan membuat mereka terlalu dekat. Bukan bermaksud menghindari kekasihnya sendiri, hanya saja Zira tidak ingin terlalu dekat secara fisik supaya tidak kebablasan lagi.
"Aku ini lagi kamu hukum, ya?"
Ucapan Subendra memantik rasa tidak nyaman dalam diri Zira.
"Hukuman apa?"
"Nggak tau. Kamu belakangan ini nggak mau aku sentuh. Kamu nggak mau deket-deket denganku. Kamu bahkan menghindar ketika aku sentuh. Beda banget sama kamu yang biarin laki-laki tadi nyentuh kamu sebebasnya.
"Sayang? Kamu ngomong apa? Aku nggak ada pikiran hukum kamu atau apa."
"Tapi kamu menghindari aku, Zira. Ada apa sebenarnya di hubungan kita yang udah mau lima bulan ini. Apa kamu ... udah nggak tertarik melanjutkan hubungan ini?"
Zira menggeleng dan mengambil tangan Subendra. Dia genggam tangan itu dan mulai menjelaskan.
"Aku nggak mau terlalu lama bersentuhan sama kamu karena aku nggak mau kehilangan kendali dan bikin kamu marah lagi. Aku serius nggak mau membuat kejadian itu terulang."
"Kan. Kamu memang hukum aku, Zira."
"Aku nggak menghukum kamu—"
"Aku bisa mengendalikan diriku sendiri, Zira. Aku bisa menghentikan apa yang akan kelewatan nantinya. Dengan kamu bersikap menghindar, maka sama aja kamu nggak percaya aku."
"Aku bukannya nggak percaya kamu. Justru aku yang nggak percaya sama diriku sendiri. Kamu tahu sendiri, kan, gimana aku suka mancing kamu berulang kali sebelumnya. Aku adalah masalahnya sebenarnya disini, bukan kamu."
Zira meraih wajah sang kekasih dan mengusap pelan pipi Subendra. "Aku nggak ngerasa gimana-gimana waktu Pak Tiago pegang bahuku atau apa pun. Aku nggak akan terpengaruh dengan apa pun yang dia lakukan, tapi kalo kamu yang pegang ... mendingan jangan, ya? Aku nggak mau malah bikin kamu ngerasa terbebani nantinya dengan sikap aku yang suka kelewatan kalo kamu pegang-pegang."
Zira pikir penjelasannya akan membuat Subendra menyerah dan pasrah mengangguk. Namun, yang dilakukan pria itu adalah mengusulkan ide yang tidak pernah Zira sangka-sangka akan dibahas saat ini.
"Kayaknya kita harus segera menikah. Dari pada masalah sentuh menyentuh ini malah jadi besar dan makin kacau kedepannya. Lagi pula, untuk apa lama-lama kita pacaran? Aku udah nggak tau mau cari apa lagi, selain fokus untuk menikah. Kamu juga siap untuk menikah, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Dibalik Celana Mas Bentot
RomanceSubendra Wiyahya, atau yang sering disapa Bentot, adalah pria low profile yang memiliki sepaket titel; mapan, tampan, dan memenuhi harapan. Setidaknya paket titel itu berlaku dan diinginkan para perempuan. Tidak terkecuali Shazira Mafasa. Zira, si...