"Dengar, menurutku kamu udah salah paham."
Subendra memulai pembicaraan mereka setelah mereka sudah masuk ke dalam rumah pria itu. Setelah menunda dengan lama, pria itu akhirnya mengungkapkan hal tersebut. Yang sebenarnya sia-sia untuk Zira dengar. Iya, sia-sia. Kenapa kekasihnya itu malah memulai dengan opini bahwa Zira salah paham? Salah paham apanya? Zira sudah mendengar pembicaraan Subendra dan Shanira. Untuk apa pria itu menutupinya?
"Salah paham? Aku salah paham? Apanya yang salah paham? Aku denger semua pembicaraan kamu sama Kak Nira. Kamu adalah mantan pacarnya. Pantes kalian bisa kenal. Ekspresi kamu ... iya, aku inget waktu kamu pertama kali lihat Kak Nira. Kamu kaget, kamu nggak nyangka akan ketemu mantan kamu, kan?"
Subendra mengusap wajahnya. "Astaga, siapa yang bakalan nggak kaget ketika baru sadar pacarku itu punya kakak yang adalah mantan pacarku?"
"Nah! Itu! Kamu mengakuinya. Terus letak salah pahamku dimana???"
"Kamu salah paham kalo menganggap aku belum move on dari kakakmu. Aku nggak memiliki pemikiran seperti itu."
Zira geram dengan apa yang kekasihnya katakan. Dia dengan kesal mencari gunting dapur, mendiamkan Subendra yang bertanya apa yang ingin dilakukan perempuan itu. Zira untungnya melihat celana kesayangan Subendra yang tadi dijemur di dekat garasi mobil pria itu. Tanpa banyak bicara, Zira menarik celana tersebut dan membawanya masuk bersamaan dengan tangannya yang memposisikan bersiap menggunting celana jeans cutbray tersebut.
"SHAZIRA STOP!!!"
Tidak perlu dinilai senekat apa Zira. Dia sudah pernah dikatakan murahan oleh kekasihnya sendiri ketika menginginkan kedekatan secara fisik dengan Subendra. Yang terjadi sekarang juga hampir mirip. Zira nekat ingin menggunting celana kesayangan Subendra di depan mata pria itu.
"Lihat, Subendra." Zira mengabaikan panggilan yang digunakannya, karena rasa marah dan kecewa sudah semakin besar dirasa. "Kamu nggak rela membuang kenangan kamu dan Shanira! Kamu menyimpan masa lalu kamu dengan sangat baik, rapi, dan nggak tersentuh oleh siapa pun. Kamu nggak pernah melupakan kakakku. Kamu masih mencintainya, kan? Makanya kamu memacari aku dengan mudahnya."
"Zira, berhenti mengatakan hal yang nggak benar."
"Itu bener! Kamu pernah bilang aku mengingatkan kamu dengan seseorang di masa lalu kamu. Itu Shanira! Kakakku yang memiliki kemiripan denganku!"
Zira menangis dengan apa yang dirinya akhirnya sadari sekarang. Dia buang gunting dan celana itu untuk menutup wajahnya.
"Zira—"
"Berhenti disana! Aku bego banget selama ini. Aku nggak bisa menebak kenapa antara aku dan Kartika, kamu dengan cepatnya memilih aku. Bodoh banget aku karena nggak pernah sadar bahwa celana yang nggak pernah mau kamu ganti itu punya kenangan yang nggak mau kamu lepaskan. Bego banget!"
Subendra beranjak mendekati Zira, berusaha memeluk tubuh kekasihnya yang menangis histeris.
"Maafin aku, Zira. Maaf. Aku jujur nggak pernah memikirkan hal seperti itu. Aku menyukai kamu karena kamu—"
Zira membekap mulut kekasihnya. Dia menunjukkan ekspresi merah, sedih, sekaligus kecewa. Dia tidak suka untuk mendengarkan kalimat apa pun dari bibir Subendra.
"Berhenti untuk mengatakan hal yang kamu bahkan nggak yakin. Aku nggak mau mendengarnya. Aku cuma mau tanya, kalo kamu beneran menyukai aku karena sosok aku sendiri, masa lalu yang mana yang membuat kamu mengatakan bahwa aku mirip dengan seseorang yang kamu ingat waktu itu?"
Zira melepaskan tangannya yang membekap sang kekasih. Lalu menunggu jawaban Subendra.
"Jawab yang jujur. Karena white lies juga nggak akan membantu apa pun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Dibalik Celana Mas Bentot
RomanceSubendra Wiyahya, atau yang sering disapa Bentot, adalah pria low profile yang memiliki sepaket titel; mapan, tampan, dan memenuhi harapan. Setidaknya paket titel itu berlaku dan diinginkan para perempuan. Tidak terkecuali Shazira Mafasa. Zira, si...