Siapa yang bilang bahwa menjadi kekasih seorang Subendra Wiyahya adalah pencapaian yang biasa saja? Justru sesungguhnya Zira menjadi takut untuk mengungkap statusnya bersama Subendra karena banyak sekali orang-orang yang menginginkan berada di posisinya—khususnya para perempuan. Membuka statusnya dengan Subendra, maka Zira harus siap selayaknya pacar para selebriti. Siap untuk terkadang cemburu karena banyaknya komentar di akun sosial media usaha minuman kekasihnya. Belum lagi ada saja orang iseng yang terbilang nekat bisa meretas nomor telepon Subendra. Sungguh Zira tidak mudah menjalani hubungannya dengan bapak kosnya itu.
"Lo pacaran sama Mas Bentot??"
Belum selesai dengan semua yang dirasakan oleh Zira mengenai fans Subendra secara online, kini Zira ditodong pertanyaan oleh Selfi. Meski mereka ini teman, tapi Selfi adalah salah satu penggemar Subendra yang tidak bisa begitu saja diabaikan. Walau sudah menikah, tetap saja Selfi mengagumi ketampanan yang Subendra miliki.
"Lo tebak-tebakan dari mana?"
Selfi mengambil ponselnya dan membuka galeri. Tidak pernah Zira sangka bahwa temannya itu bisa merekam kejadian tadi pagi dimana Zira diturunkan di salah satu halte terdekat oleh kekasihnya. Adegan pelukan mesra pun tidak luput untuk diambil tangkapan videonya. Sudah jelas jika Zira tidak bisa menyangkal apa pun lagi di depan temannya itu.
"Lo ngikutin gue dari kapan?" tanya Zira dengan spontan.
Tentu saja yang ada di kepalanya adalah hal tersebut. Bagaimana bisa Selfi mendapatkan video tersebut seakan sengaja mengikutinya.
"Enak aja! Gue nggak sengaja naik ojek, terus karena ngerasa liat plat mobil Mas Bentot, gue suruh Abang ojeknya pelan-pelan. Pas Lo keluar, ada lo. Yaudah, gue minta berhenti dulu. Supaya gue nggak ngerasa lagi halu, gue rekam pemandangan romantis antara lo dan Mas Bentot. Jadi, beneran, kan? Lo pacarnya Mas Bentot?"
Zira menghela napasnya dan memfokuskan diri untuk membuka file pekerjaannya sembari mengangguk dan mengatakan, "Iya. Gue pacarnya Mas Bentot."
Selfi langsung memukul belakang kepala Zira agak keras. "Dari kapan?! Kenapa Lo nggak cerita apa-apa?! Jangan-jangan, dari lo suka senyum-senyum sendiri waktu chat itu udah jadian, ya?!"
Selfi tidak akan selesai untuk terus bertanya, jadi Zira hanya mengangguk.
"Jawab yang bener, Zira! Lo pacaran sama Mas Bentot sejak kapan?"
"Sekarang ini udah masuk bulan ketiga, sih. Masih awal banget lah."
"Awal banget apanya?! Itu namanya udah hampir seperempat jalan. Dalam setahun, lo udah mau masuk ke bulan keempat. Sialan, gue jadi nggak tahu apa-apa. Gimana ceritanya kalian bisa jadian, sih? Kasih tahu, dong, Zir! Kok, lo bisa menaklukkan bapak kos yang kaku itu? Padahal gue yakin saingan lo banyak banget."
"Nggak ada cara menaklukkan. Gue jadi diri gue sendiri. Gue nggak macem-macem. Kalo ditanya gimana caranya Mas Bentot bisa akhirnya milih gue, gue juga nggak tahu. Kita kayak punya magnet tersendiri aja. Dia bilang, sama cewek lain nggak kayak kalo sama gue."
Selfi membuat gerakan berpikir dengan menekan dagunya. Dia tidak yakin bahwa tidak ada alasan khusus.
"Emangnya cinta buta dan cinta pada pandangan pertama itu ada, ya? Gue nggak percaya kayak gitu. Tapi buktinya kalian bisa jadian, padahal lo juga baru beberapa bulan jadi anak kos. Berapa bulan lo ngekos?"
"Hm, ngekos sih udah mau empat bulan. Pokoknya gue sama Mas Bentot jadian tuh, waktu gue udah beberapa hari lagi sebulan ngekos disana."
"Gila banget, sih. Cepet banget itu. Sedangkan kayak Kartika aja nggak bisa bikin Mas Bentot bertekuk lutut dalam waktu berapa tahun, tuh, masih ngekos disitu aja. Sampe sekarang masih, kan, dia? Udah tahu belum dia kalo lo sama Mas Bentot udah pacaran?"
Zira mengangguk. Sepertinya satu kos sudah tahu bahwa Zira dan Subendra memang ada apa-apanya. Tidak mungkin mereka tidak tahu, tapi masing-masing dari anak kos jelas memilih diam dan masa bodoh. Sebab mereka semua memiliki kehidupan sendiri.
"Kalo tahu juga dia keliatan bodo amat, sih. Jadi, yaudah. Biarin aja. Kita yang ngekos disitu juga udah sama-sama dewasa. Ngapain ngurusin hidup orang? Apalagi hidup bapak kos mereka?"
Selfi menepuk kedua tangannya pertanda dia bangga pada temannya itu. "Gila, sih. Baru beberapa bulan jadian sama Mas Bentot, lo udah ikutan santai banget pembawaannya."
Zira mengarahkan tatapan bertanya pada temannya itu. "Apa iya? Kayaknya gue less drama karena lo yang lagi mendramatisir tahu nggak! Sekarang posisinya lo yang lagi sibuk ngurusin gue. Nanti, kalo udah nggak juga balik lagi. Namanya temenan, kan, emang begitu biar seimbang pertemanan kita."
"Hm, ya, terserah, deh Zira."
***
Zira lelah sekali hari ini. Dia harus lembur karena perusahaan yang menuntut demikian. Jika bukan karena uang lemburan yang lumayan ketika dikalkulasi diakhir bulan, maka Zira tidak akan mau melakukan hal itu. Satu-satunya penyemangat yang dia miliki sekarang ini adalah Subendra. Pria yang mau mengantar jemputnya karena bagi pria itu, antar jemput adalah hal yang basic. Subendra ingin diandalkan oleh Zira sebagai seorang pria yang akan melindunginya kelak. Kata pria itu, dengan Zira bekerja saja, itu sudah bagian dimana akan ada rasa mengandalkan dari Subendra.
Mereka pernah saling membicarakan ini. Kebanyakan pria yang pada akhirnya membiarkan istri mereka menjadi tulang punggung, itu karena tidak ada kerjasama yang imbang. Semula si istri dibiarkan bekerja, lalu ketika ada sesuatu di pekerjaan suami, maka istri membantu. Nah, hal itu adalah awal mula dari membiasakan pertukaran peran yang ganjil. Meski memang perlu dilihat lagi siapa sosok suaminya, tapi Subendra tidak mau membiasakan hal itu. Dia tidak mau membiarkan Zira terlalu mandiri, bukan untuk mengikat perempuan itu. Namun, lebih kepada membagi peran dan tidak membuat peran mereka jomplang.
"Sayang," panggil Zira.
"Sebentar."
Subendra sudah sibuk sekali membuatkan makan malam yang sudah telat. Zira juga sudah lelah sekali, rasanya malas untuk makan. Dia mau Subendra untuk memeluknya dan memberikan energi untuk perempuan itu.
"Mas Ben sayang ... peluk, dong!" rengek Zira yang bukannya membuat Subendra kesal, malah membuat pria itu tertawa pelan.
Zira melihat kekasihnya itu membawakan nampan yang berisi makanan dan air.
"Mas, aku nggak pengen makan. Udah capek banget."
"Aku suapin."
Tidak ada cara untuk menolak lagi dengan ucapan Subendra yang demikian. Zira benar-benar diperlakukan seperti bayi kesayangan pria itu. Subendra sungguh pandai mengurus semua hal. Urusan rumah, mencari uang, bahkan sekarang mengurus pasangannya disaat pria itu juga pasti lelah sepulang mengurus usahanya. Subendra memastikan makanannya habis lebih dulu sebelum Zira memundurkan kepalanya dan mengajak bicara.
Setelah itu, Subendra membawa tempat makan yang kotor itu ke dapur dan mencucinya supaya besok pagi tidak terlihat mengganggu mata. Setelah semuanya selesai, barulah pria itu duduk di sisi Zira dan siap untuk memberikan pelukan pada perempuan itu.
"Manjanya, my big baby."
Zira tersenyum dan mendongak. "Daddy."
Sengaja Zira menggoda kekasihnya itu. Tidak memberikan jeda, Subendra membalas panggilan Daddy itu dengan memulai ciuman yang pasti akan panjang bagi mereka berdua. Ciuman yang Zira harapkan untuk bisa lebih karena dia sungguh menginginkan Subendra. Tidak peduli bahwa dia adalah pihak perempuan. Zira menguatkan tekad untuk meruntuhkan kekuatan Subendra malam ini. Malam ini harus jadi!
Pertanyaannya, apakah semesta akan merestui tekad Zira itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Dibalik Celana Mas Bentot
RomansaSubendra Wiyahya, atau yang sering disapa Bentot, adalah pria low profile yang memiliki sepaket titel; mapan, tampan, dan memenuhi harapan. Setidaknya paket titel itu berlaku dan diinginkan para perempuan. Tidak terkecuali Shazira Mafasa. Zira, si...