Chapter 27: Like father like daughter

892 119 10
                                    


"Ayah!" seru Zira.

Dia tidak akan memperkirakan bahwa ayahnya akan memberikan pukulan di wajah Subendra. Padahal dia sudah mengatakan bahwa dia tidak hamil. Rasa kesal yang semula bertumpuk untuk Subendra, kini menjadi tak tega. Pria itu harus mendapatkan pukulan di wajah yang jelas-jelas bahwa Subendra tidaklah melakukan kesalahan sejauh itu.

"Jangan dibantuin, Dek. Kamu ini gimana? Ayah lagi kasih pelajaran ke pria yang udah hamilin kamu."

"Aku nggak hamil, Ayah! Liat aja hasil testpack nya!" geram Zira.

Lama-lama Zira merasa bahwa ayahnya ini tidak akan memberikan pilihan lain selain tidak mempercayainya. Tapi memang ulah Subendra sendiri yang membuat ayah perempuan itu menjadi melakukan ini.

"Kamu kenapa mukul anak orang begitu, sih?! Ini, hasilnya negatif. Jangan main pukul Bendra begitu sebelum tahu hasilnya!"

"Mana ayah pikirin yang begitu? Kalo dia bilang kamu hamil, berarti dia udah menghamili kamu, Dek!"

Zira memejamkan matanya melihat sendiri bagaimana sikap ayahnya yang konyol itu. Namun, itu juga mengingatkan Zira pada dirinya sendiri dan kakaknya yang sukanya bersikap konyol sebelum berpikir panjang.

"Makanya jangan asal bawa Mas Ben pergi, dan main pukul aja. Tunggu dulu hasilnya, Ayah! Lagian gimana aku bisa hamil kalo disentuh aja nggak."

Zira mengira ucapannya akan langsung membuat sang ayah terdiam. Namun, malah semakin menjadi-jadi.

"Beneran nggak disentuh? Hayooo gocap gocap sama Ayah! Berani nggak? Kalo nggak pernah disentuh sama sekali Ayah berani kasih gocap. Kalo ternyata Ayah yang bener Adek kasih gocap ke Ayah? Mau nggak?"

Zira baru saja akan menggeplak kepala ayahnya jika saja tidak mau menjadi anak yang berbakti lagi. Namun, rasa kesalnya sudah diwakilkan oleh mamanya. Wanita itu langsung menggeplak kepala suaminya dengan cukup keras.

"Bisa bisanya malah mau ngajakin anaknya taruhan!" omel mama Zira.

"Tahu, tuh, Ma. Masa udah tua kayak anak kecil? Masa gocap gocap. Sejuta malah bagus biar—akh!" Zira kini yang gantian mendapatkan geplakan di kepala belakangnya oleh sang mama.

"Sejuta, sejuta! Gila banget, sih, punya anak sama suami. Nggak ada bedanya! Ini serius, loh. Mau apa habis ini? Langkah kalian mau gimana?" tanya mama Zira lebih serius.

"Ya, nggak gimana-gimana, Ma. Orang aku juga nggak hamil, kok."

"Loh? Nggak bisa begitu, lah, Dek." Ayah Zira menginterupsi. "Kita udah malu, loh. Tadi pacar kamu teriak kalo kamu mau melakukan hal buruk ke buah cinta kalian pasti udah didengar sama tetangga. Ayah sama Mama bisa malu kalo nggak jadi gimana-gimana. Lagian, emang dari awal kamu kenalin pacarmu ke rumah niatnya serius mau nikah, kan? Tinggal ngomongin tanggal sama weton aja. Sisanya kalian yang atur mau adat dan resepsi yang gimana."

"Apaan main resepsi-resepsi aja? Aku sama Mas Ben belum ada bilang soal itu, loh, Yah. Jangan suka bikin skenario di kepala Ayah sendiri, ya."

"Eh? Apaan main nuduh Ayah bikin skenario sendiri. Kamu itu udah bilang kalo dibawa main ke rumah itu artinya serius. Ngerti artinya serius nggak? Masa kamu main nyerang Ayah dengan ucapan begitu? Ini yang mau nikah kamu, loh, Dek. Kok, kesannya jadi main-main?"

"Ih? Ayah yang kesannya malah kayak yang paling antusias sama aku yang nikah."

"Lah? Emangnya seorang Ayah kalo antusias sama anaknya yang mau nikah salah, ya? Malah aneh kalo Ayah nggak mau kamu nikah-nikah. Tolong itu mulut dijaga dikit. Ayah masih bisa bersikap santai sekarang. Jangan ngajak ribut sama Ayah, ya, Dek."

"Ayah, tuh, yang ngajak ribut! Kenapa nggak Ayah aja yang nikah sama Mas Ben kalo Ayah yang lebih antusias sama pernikahan ini."

"Bah! Ada gila-gilanya anak ini! Kalo Ayah yang nikah sama pacarmu ini nggak akan ada kamu, Bodoh! Lagian Ayah nggak suka main belakang—"

"Astaghfirullah, Ayah, Adek!" geram Mama Zira. "Makin lama dibiarin, malah makin ngaco ngomongnya! Pokoknya sekarang harus ada keputusan, nikah atau nggak? Kalo nikah, kita akan bahas lebih lanjut semuanya. Tapi kalo nggak, terserah kalian mau gimana! Mama dan Ayah nggak mau peduli!"

"Eh? Mama? Ini Ayah— lah? Aduh! Mama kenapa nggak dukung Ayah, sih? Ini anak nanti kapan nikahnya?" ucap ayah Zira yang malah seperti seorang balita yang menginginkan balon kepada mamanya.

"Bodo amat! Biarin aja mereka mikirin nasib mereka sendiri! Mama nggak mau pusing."

"Ya Allah, Mama. Seng eling, Mama. Ini akan kita perempuan yang tinggal satu-satunya belum sold out."

"Bodo amat!"

Mama Zira masuk ke dalam rumah dan sang suami mengikutinya dengan rengekan meminta pengertian. Zira sendiri hanya bisa menghela napasnya dengan kelakuan orangtuanya yang suka berkebalikan. Tatapannya lalu bertemu dengan Subendra. Pria itu rupanya tidak melepaskan tatapan kepada Zira. Hal itu sontak saja membuat Zira salah tingkah.

"Kenapa nekat teriak kayak gitu, sih?" tanya Zira dengan sedikit rasa kesal.

"Aku nggak tahu harus gimana untuk bisa membuat kamu percaya bahwa aku mau kita bersama."

Sekali lagi Zira menghela napasnya. "Nggak gitu caranya, Subendra. Nabrak mobil orang lain dan meneriaki aku seolah aku mau gugurin kandungan? Kamu kayak orang putus asa tahu nggak?"

"Memang aku putus asa, Zira."

Zira terkesiap dengan apa yang Subendra katakan dengan cepat. Pria itu mengusap sudut bibir dan pipinya yang tampak bengkak akibat bogem dari ayah Zira. Ringisan kecil akan rasa sakit dari Subendra juga membuat Zira meringis ikut kesakitan.

"Aku ambilin P3K—"

Subendra menahan tangan Zira dengan cepat. "Aku nggak mau nunda-nunda semuanya. Aku udah tahu apa yang mau aku sampaikan ke kamu, Zira. Bahwa aku nggak punya perasaan yang berlebih untuk Shanira lagi."

Itu yang ingin Zira dengar. Pengakuan bahwa Subendra tidak memiliki rasa kepada kakak perempuan itu. Namun, bukan perempuan jika tidak memperpanjang drama dan ingin melihat perjuangan dari pria yang menginginkan bersamanya.

"Buat apa kamu bilang begini kalo kamu belum bisa menyingkirkan bukti terkuatnya?"

"Celanaku? Ah, iya. Celana pemberian Shanira dulu? Aku memang belum buang, itu murni karena aku memang udah nyaman dan males untuk ikutin tren jaman sekarang."

"Sama aja kamu memang nggak niat untuk move on!" geram Zira.

"Denger dulu. Aku belum buang, tapi lihat. Aku udah nggak pake."

Zira menerawang penampilan celana Subendra. Memang tidak terlihat perubahannya di mata Zira, bukan karena drama yang terjadi sejak tadi. Melainkan selera Subendra dalam memilih pakaian memang tidak bagus sama sekali! Pria itu menggunakan celana baggy jeans yang tidak cocok dengan pria itu sama sekali. Sebab bagian bawahnya terlalu longgar dan terkesan menumpuk di pergelangan kaki. Kenapa, sih, dia nggak pake celana yang ukurannya pas dan sesuai sama postur tubuhnya? Kenapa selalu suka yang kedodoran di bagian bawah?!

"Kenapa? Aku masih norak, ya?"

Zira berdecak dan mengibaskan tangannya. "Aku nggak mau mempermasalahkan celana kamu dulu. Aku mau kamu tunjukkin keseriusan kamu mengenai aku. Tunjukkan kalo kamu beneran mau menikahi aku bukan karena aku mirip kakakku. Malam ini, aku anggap kelakuan konyol kamu itu nggak ada. Tapi jangan pernah maksa nikah, kalo kamu masih belum menunjukkan keseriusan kamu."

"Berarti aku dimaafin? Kita udah mengganti kata break dengan balik seperti biasa? Pacaran?"

"Kamu maunya apa putus?" balas Zira yang tidak serius. Kalau dia mau benar-benar putus dari Subendra, sejak awal juga tidak meminta jeda.

"Nggak, Zira. Aku nggak mau putus. Aku mau kita berusaha menjalin kepercayaan lagi satu sama lain. Aku tahu, kita cocok. Kita saling mengisi. Aku kalem, kamu nggak bisa diem. Aku tenang, kamu suka ngomong sembarangan. Aku alim kamu–"

Subendra tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena dia sudah mendapatkan satu pukulan lagi di bibirnya dari Zira. Dan tahu-tahu saja Zira meninggalkan pria itu karena kesal sekaligus malu dengan julukan yang memang tepat tapi tak mau Zira terima begitu saja. Dasar resek! 

Rahasia Dibalik Celana Mas BentotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang