Chapter 5: Dinner

1K 149 9
                                    


Untuk ketiga kalinya Zira masuk ke rumah Subendra dan kali ini menghabiskan lebih banyak waktu. Dia tidak tahu kenapa banyak sekali hal yang serba kebetulan dan membuat dia dan Subendra semakin dekat. Bohong jika dia tidak merasakan semua permasalahan mendekatkan dirinya dan Subendra. Bohong juga jika Zira tidak menyukai setiap kedekatan ini. Diam-diam, Zira yang mengagumi wajah tampan dan tubuh bagus Subendra bersyukur dengan semua hal yang didapatkannya ini. Sudah lama juga rasanya Zira tidak dekat dengan pria manapun. Dia jadi memikirkan salah satu keinginannya untuk bisa menikah. Tapi saingan gue si cewek genit!

"Kenapa? Masakan saya nggak enak?" tanya Subendra.

"Enak."

"Tapi kamu ngelamun gitu."

"Ya, karena saya lagi mikirin, balik dari sini kena damprat calonnya Mas Subendra atau nggak."

Ini namanya taktik menggali jawaban. Zira tahu bahwa Kartika itu bukan siapa-siapanya Subendra, tapi dia ingin tahu jawaban dari pria itu sendiri seperti apa. Supaya Zira tidak salah langkah lagi nantinya.

"Kartika maksud kamu?" tanya pria itu.

"Siapa lagi? Emang penghuni kos disini selain dia ada yang deket sama Mas Subendra?"

"Kamu."

Balasan tanpa perhitungan Subendra adalah bom! Iya, bom! Tiba-tiba, ambigu, dan membuat Zira secara otomatis saja tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia menjadi membeku karena sibuk menafsirkan maksudnya.

Kemarin dia ngomong 'punyamu enak', sekarang dia ngomong begini. Maunya apa, sih, ini laki?

"Kok, saya?"

"Iya, ini kamu makan berdua sama saya. Jarak kamu yang paling deket sama saya. Jadi, selain Kartika, saat ini, kamu yang dekat dengan saya, kan?"

Nyebelin banget, sih! Bisa aja lagi ngelesnya.

"Maksudnya bukan deket yang itu!" balas Zira kesal.

"Kan, tadi pagi saya udah bilang. Saya sama Kartika nggak ada hubungan apa-apa. Pikiran kamu aja yang kemana-mana."

"Masa, sih? Mas Subendra sama Mbak Kartika itu keliatan nyambung pas ngobrol. Kalian juga punya latar belakang pengusaha. Sekarang juga lagi besar karena sosial media. Pengalaman kalian sama, keluh kesah dunia pekerjaan kalian sama, bahkan penampilan kalian sama. Yang satu ganteng, yang satu cantik. Cocok, tuh."

"Jadi, saya ini ganteng menurut kamu?"

Tidak seperti kebanyakan perempuan yang ketika diberikan kalimat tanya begitu akan menyangkal malu, Zira malah mengangguk dan berkata dengan sangat jujur.

"Emang ganteng. Ada gitu yang bilang jelek ke Mas Subendra? Kalo ada, ya, itu mah emang seleranya bukan Mas Subendra."

"Jadi, saya selera kamu?"

Kini, Zira mengambil jeda dari kegiatan makannya. Menatap Subendra dengan mata menyipit. "Ini saya lagi digodain? Atau cuma dibercandain?"

Zira mendapati Subendra tertawa dengan pertanyaan yang perempuan itu berikan. Padahal dia menunggu jawaban jujur dari pria itu. Malah sekarang dia dibuat bertanya-tanya. Masalahnya, dari gerak gerik Subendra, seperti orang yang sedang tertarik untuk mendekati Zira. Padahal ada perempuan lain yang tertarik padanya. Belum lagi fakta bahwa mereka belum terlalu lama kenal sebagai bapak kos dan anak kos.

"Kamu memang beda. Kamu makin mirip seseorang yang pernah saya kenal."

Kalo pake kalimat begitu, termasuk red flag atau green flag sih?

Sungguh Zira tidak mengerti apa yang harus dirinya lakukan. Subendra ini benar-benar tidak bisa dimengerti. Bahkan ketika tangan pria itu terulur, tampak seperti akan merangkum wajah Zira, tidak ada yang bisa dilakukannya selain terhipnotis dengan wajah si pria. Asal saja tidak menurunkan pandangan pada tampilan fashion pria itu, daya hipnotisnya tidak akan berkurang, kok.

"Makan nasi, kok, bisa sampe nempel rambut begini."

Zira baru sadar jika pria itu hanya sedang membersihkan nasi di helaian rambutnya, dan bukan berniat untuk menarik wajahnya untuk berciuman. Sialan banget otak ini! Daya tarik si Bentot emang nggak main-main!

***

Zira menekan dadanya sendiri begitu selesai menutup pintu dapur. Dia tahu sesuatu dalam dirinya sedang berteriak salah tingkah dengan setiap aktivitasnya bersama Subendra. Walau memang sejak tadi dia menahannya untuk tidak bersikap memalukan sama sekali. Itu bukan kegiatan apa-apa, hanya makan malam gratis dan sedikit obrolan mengenai Kartika yang merasa bahwa Zira selalu mengamati Subendra, dan cerita versi Zira yang menyalahkan Subendra yang suka membuat orang salah fokus ketika sedang sibuk memasak di pagi hari.

Subendra tidak marah sama sekali dengan apa yang Zira lakukan dengan melemparkan kesalahan pada pria itu. Yang ada, Subendra hanya mengangguk dan mengatakan bahwa masalah sudah selesai. Tanpa Zira ketahui apanya yang sudah selesai menurut pria itu. Padahal, jelas-jelas masalah belum selesai karena Kartika masih saja menyimpan ketidaksukaan terhadap Zira. Apalagi jika melihat Zira yang baru dari rumah Subendra dan masuk melalui pintu dapur ke kos putri.

"Jadi, kerjaan kamu itu suka godain Mas Bentot, ya."

Zira yang tadinya sedang menikmati euforia dalam diri menjadi kesal seketika karena kehadiran Kartika yang selalu pas dalam setiap momen. Namun, kali ini, Zira tidak ingin meladeni cewek genit yang jelas-jelas tidak masuk tipenya Subendra itu.

Zira berjalan untuk melewati Kartika, tapi cewek genit itu menahannya.

"Ngapain aja kamu di rumahnya? Kamu suka cari kesempatan dengan memanfaatkan kebijaksanaan Mas Bentot, kan? Dari awal kamu pindah kesini saya udah punya feeling—"

Zira menghempas tangan Kartika yang menahannya. Niatan yang semula ingin mengabaikan dalam diri Zira, kini tenggelam karena pancingan dari setiap kata-kata dari bibir Kartika itu.

"Apa pun yang saya lakukan di rumah Mas Bentot, itu bukan urusan kamu. Kalaupun kami melakukan sesuatu, itu karena kami sama-sama tertarik dan mau melakukannya. Kalau kamu nggak pernah dapat kesempatan yang sama, itu urusan kamu. Yang jelas, Mas Bentot sudah memuji saya dan saya sudah memujinya."

Zira mendekatkan wajahnya pada telinga Kartika. Dia mengikuti apa yang Selfi lakukan saat memberitahunya fakta lain mengenai nama panggilan Bentot. Zira menggunakan cara ini untuk membuat Kartika kepikiran seumur hidupnya mengenai sesuatu yang terjadi antara dirinya dan Subendra.

"Mas Bentot udah duluan kasih pujian ke saya, dia bilang punyamu enak. Dan saya nggak akan membiarkan pujian itu berjalan sendiri. Kami saling memuji dan—"

Tubuh Zira langsung didorong hingga pinggulnya terpentok dengan ujung marmer dapur. Sialan. Dia hanya bisa meringis kesakitan, dan yang membuatnya tidak menyangka adalah kebetulan lainnya yang seakan mendukungnya dengan baik.

"Apa yang kamu lakukan Kartika?!"

Subendra langsung meraih Zira dan melihat kondisi perempuan itu yang kesakitan.

"Mas Bentot ... saya —"

"Sudah aku bilang, kan, tadi pagi. Kamu itu lebih dewasa dari Zira. Kenapa kamu mengajaknya bertengkar untuk hal kekanakan? Kamu bukan remaja lagi. Kenapa kamu membuat keributan atas namaku terus? Sudah aku bilang juga, Zira punya mata dan aku nggak bisa melarangnya untuk melihat. Kecemburuan kamu itu benar-benar membuat aku jadi risih, Kartika. Kupikir, kita bisa berteman tanpa membuat konflik semacam ini, tapi tindakan kamu saat ini keterlaluan."

Zira tidak mengatakan apa pun untuk memperkeruh suasana. Dia hanya bisa mengikuti arahan Subendra untuk kembali ke rumah pria itu. "Kita obati luka kamu lebih dulu, Zira."

Zira menganggukan kepala. Dia melirik sekilas bagaimana reaksi Kartika yang menyaksikan semua itu dengan wajah memucat menahan segala emosi. Meski tak suka dengan hal seperti ini, tapi Zira harus bersyukur karena dia kembali diperhatikan Subendra. 

Rahasia Dibalik Celana Mas BentotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang