Chapter 22: Keterbukaan

759 126 7
                                    


Tidak paham sekali Subendra dengan apa yang dirinya dapati tadi malam. Dia mendapatkan perlakuan yang sungguh tidak menyenangkan dari sang kekasih. Perlakuan yang sangat aneh untuk dipikirkan berulang kali.

Apa salahku?

Subendra terus mengemukakan pertanyaan tersebut di dalam kepalanya. Dia tidak tahu kesalahan apa yang sudah dirinya perbuat sebelumnya sampai Zira begitu marah dan berkata dengan kesal.

"Pagi, Mas Bentot."

Subendra sudah mendapatkan banyak sapaan pagi ini dari penghuni kosnya. Namun, tidak ada sapaan dari kekasihnya. Dia bahkan sengaja untuk bolak balik di koridor kos untuk bisa melihat Zira sebelum berangkat kerja. Namun, perempuan itu malah lebih pandai darinya. Subuh tadi dia sudah mencoba melihat parkiran motor, dan masih ada motor Zira. Lalu, Subendra olahraga sebentar untuk mengetahui apakah zira memasak pagi ini atau tidak. Dan jawabannya sudah jelas tidak. Subendra berniat mandi lebih dulu sebelum menunggu Zira keluar dari kamarnya sebelum berangkat kerja. Namun, motor perempuan itu tahu-tahu saja sudah tidak ada. Dia terlambat, kalah cepat dari Zira.

"Pagi semuanya. Saya ke ruangan saya, ya. Kalo ada yang butuh bikin konten, bilang aja. Saya nggak bisa fokus ikut di depan sama kalian. Nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa, Mas."

Selain tidak fokus dalam melakukan aktivitas di rumah, Subendra juga menjadi tidak maksimal dengan pekerjaannya. Suasana hati Subendra tidak baik-baik saja setelah ucapan sang kekasih makanya dia sekarang memilih untuk tidak terlibat langsung dengan pembeli. Takutnya malah terjadi masalah dengan pesanan mereka jika Subendra ikut menangani dalam kondisi tidak fokus.

Kakinya masuk ke ruangan dan begitu melihat seluruh ruangannya, dia dapati tubuhnya sudah lelah saja. Rasanya dia ingin kembali ke rumah, menunggu di depan kamar Zira, dan mengajak perempuan itu bicara dari hati ke hati. Sudah lama tidak pacaran rupanya bisa membuat Subendra kewalahan secara emosi seperti ini.

"Kalo gini terus, gimana bisa melangkah ke pelaminan?" ucap Subendra dan langsung berusaha merapikan mejanya untuk memastikan hasil penjualan hari kemarin.

Subendra memaksakan diri untuk mengurus seluruh pekerjaannya. Dia termasuk pelaku UMKM dan mendapati usahanya memiliki penjualan yang stabil dan cenderung terus naik belakangan ini, Subendra jelas harus memikirkan kemungkinan untuk membuat gebrakan lain. Dia harus memiliki usaha lainnya sebagai sumber pemasukan untuk dirinya sebagai kepala keluarga nantinya. Subendra memang memiliki tabungan dan uang dingin lainnya. Namun, dia tipikal yang akan terus mencari inovasi untuk bisa membuatnya terus berkembang secara ekonomi.

"Mas Bentot."

"Masuk."

Seorang pegawai Subendra masuk membawakan nampan dan gelas dari dapur. Pegawai tersebut menyuguhkan gelas kepada Subendra.

"Ini sample dari menu baru kita. Tolong kasih masukan, udah sesuai sama yang Mas Bentot mau atau nggak."

Subendra ingin menambahkan menu-menu di tokonya. Dia juga ingin merambah pada dunia pastry. Namun, untuk itu Subendra membutuhkan rekan yang memang lebih paham di dunia pastry.

"Hm, ini aroma kopinya terlalu kenceng. Saya maunya menu ini nggak sampe kenceng aroma kopinya. Kan, minuman kita nggak mengutamakan menu kopi."

"Oh, gitu. Siap, Pak. Revisi kalo gitu. Tapi yang lainnya oke? Sesuai takarannya, ya?"

"Ya, bahan yang lainnya udah oke."

Pegawai tersebut pergi setelah mendapatkan segala penilaian yang diberikan oleh Subendra. Dalam sekejap Subendra merasakan kesunyian lagi dan yang muncul di kepalanya adalah Zira. "Sial. Nggak bisa tenang kalo begini!"

Mas Ben💚: Aku jemput kamu di kantor nanti. Kita pulang sama-sama, ya. Please jangan nolak. Kita butuh bicara Zira.

***

Pesan yang Subendra kirimkan membuat Zira kesal, tapi dia tidak berniat untuk membalasnya. Dia masih dalam mode untuk tidak banyak bicara guna meladeni kekasihnya itu. Sampai Subendra sendiri yang menjelaskan masa lalu seperti apa yang dimilikinya dengan Shanira, maka Zira tidak akan memulai apa pun. Ya, begitulah ego yang dimiliki seorang Zira jika sudah cemburu. Begonya, gue cemburu sama masa lalunya. Padahal kakak gue aja nggak keliatan masih cinta sama si Bentot!

Kalau mau dipikirkan lagi, memang tidak ada yang perlu dijadikan bahan cemburu. Zira tahu bahwa kakaknya tidak akan menjadi orang yang akan mengacaukan hubungannya dan Subendra. Namun, yang bermasalah adalah perasaan yang dimiliki oleh pria itu sendiri. Perasaan Subendra pada Shanira.

Hingga malam menjelang, Zira masih senantiasa berlama-lama di balik mejanya. Sengaja untuk mengerjai Subendra. Biar pria itu berlama-lama menunggunya. Biar saja dia osan, Zira ingin tahu apa responnya menunggu selama itu.

"Zira? Belum pulang? Bukannya kamu nggak lembur?"

"Iya, Pak. Nggak ambil lembur memang."

"Terus? Nunggu apa masih disini?"

Zira tidak bisa mengatakan alasannya yang sebenarnya pada Tiago. Akhirnya dia memilih untuk membereskan barangnya dan ikut keluar bersama kepala divisinya tanpa mengatakan apa pun.

"Perempuan kalo kesel mengerikan banget, ya."

Zira menoleh pada Tiago yang menatap ke arah parkiran kantor. Subendra menunggu di depan mobilnya secara terang-terangan. Dia tidak bersembunyi di dalam mobil, menunjukkan dirinya yang memang sedang menunggu Zira.

"Apa, sih, Pak."

Tiago tertawa pelan dan menepuk bahu Zira. "Bicaralah. Namanya orang berhubungan, harus ada keterbukaan. Saya pulang dulu, karena nyapa pacar kamu juga nggak akan bisa. Selamat malam, Zira."

Zira membiarkan Tiago untuk pergi begitu saja. Sedangkan kakinya melangkah menuju Subendra.

"Seru banget, ya, ngobrol sama atasan kamu yang sangat friendly itu."

Zira memutar bola matanya dan langsung masuk ke kursi penumpang. Dia memilih untuk tidak membalas ucapan Subendra itu.

"Aku pikir kamu nggak pernah seakrab itu dengan teman kantor mana pun, lawan jenis khususnya. Tapi setelah kamu diantar ke klinik, kalian jadi makin dekat."

"Jangan menuduh aku yang nggak-nggak. Harusnya kamu yang menyadari kesalahan kamu sendiri." Zira membalas.

"Aku?? Apa yang aku lakukan? Aku nggak deket dengan perempuan manapun! Aku bahkan nggak modus ke siapa pun. Aku menjaga diri, seperti aku menjaga hubungan kita!"

"No, you don't."

"Zira? Apa maksudnya kamu mengatakan itu?"

"Karena kamu lebih memilih untuk menyimpan kisah lama kamu dan nggak menjelaskan apa pun ke aku! Kamu menyembunyikan fakta dari celana kamu itu. Celana yang ketika hilang bikin kamu kelimpungan cari keseluruh kos. Kamu tanya anak kos. Kamu share di grup kos. Kamu bahkan nggak mau ganti celana itu. Kamu menyimpan nama perempuan lain di hati kamu dan memanfaatkan aku sebagai pelampiasan! Kamu adalah pihak yang salah disini. Jadi, jangan menuduh aku yang bahkan udah jatuh hati ke kamu duluan!"

Zira bisa melihat mata sang kekasih yang melebar. Ucapan menggebu-gebu dari Zira membuat pria itu terkejut. Namun, Zira tidak ingin menarik ucapannya. Jika mereka harus bertengkar di parkiran kantor begini, maka akan dilakukan. Karena Zira sudah tidak tahan menahan seluruh rasa dikhianati dari sang kekasih.

"Oke, kamu salah paham. Kita memang perlu bicara, tapi nggak disini. Pertama-tama, kita akan pulang dan bicarakan ini di rumahku."

Lihat? Nyatanya pria itu masih menggampangkan masalah ini, dan lebih suka menahan-nahan untuk membahasnya. 

Rahasia Dibalik Celana Mas BentotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang