Chapter 13: Jangan nekat!

955 134 15
                                    

[Maaf update nya telat, ya. Aku keluar dulu tadi, jadi baru posting jam segini🥲. Happy reading.]


Subendra berada dalam masalah besar. Dia tahu bahwa ciuman mereka kali tidak bisa dihentikan dengan tenaga yang dimilikinya. Ciuman ini tidak bisa dihentikan hanya dengan kekuatan biasa Subendra. Dia harus memiliki faktor keberuntungan untuk bisa menghentikan sesuatu yang terjadi dalam kegiatan ini. Kegiatan yang tidak akan bisa diperkirakan seberapa jauhnya akan mengantarkan mereka.

Sebenarnya, siapa yang tidak akan suka dengan kegiatan seperti ini? Subendra harus mengakui bahwa dia tergila-gila untuk masuk ke dalam kegiatan intim seperti ini. Subendra bahkan tidak bisa membatalkan kegiatan Zira yang naik ke pangkuan sang kekasih.

"Zira," panggil Subendra.

Dia ingin menghentikan apa yang akan kekasihnya lakukan selanjutnya. Subendra tidak mempermasalahkan mengenai Zira, tapi mengkhawatirkan dirinya sendiri yang tidak bisa menahan gejolak dengan baik jika ini akan terus berlangsung.

"Hmmm."

Bukan balasan seperti itu yang diinginkan Subendra. Dia tidak mau mendengar balasan yang diiringi dengan suara desahan yang tidak manusiawi bagi Subendra. Iya, sungguh tidak manusiawi. Sebab dorongan gairahnya saat ini persis dipengaruhi oleh setan! Mau tidak mau memang setan dijadikan alasan oleh pria itu. Dia tidak akan menjadi nakal jika tidak dipengaruhi oleh setan, kan?

"Sayang, don't do this."

Zira tampaknya tidak bisa mendengar apa yang Subendra katakan. Perempuan itu tetap meraih bibir Subendra, menekan lehernya, dan memberikan banyak tekanan untuknya. Ini tidak akan berakhir dengan baik. Subendra benar-benar sedang dalam tekanan.

"Sayang, jangan lakukan itu. Jangan nekat."

Seluruh atensi pria itu terarah pada kejantanannya yang ditimpa oleh bokong Zira. Cara perempuan itu bergerak membuat Subendra dalam masalah. Masalah dalam memastikan kejantanannya tidak mengembung penuh dari balik celana. Walau sebenarnya masalah itu sudah terjadi sebelum ditakutkan. Takutnya sekarang, tegangnya sudah dari tadi.

Seluruh tubuh Zira seperti ular yang sedang melingkari pohon. Tubuh Subendra sudah pasti mematung untuk tidak membuat gerakan balasan yang nantinya akan menjadi serangan tambahan yang mengejutkan nantinya.

Dalam sekali kekuatan, Subendra langsung mendorong bahu Zira agar tidak melanjutkan ciuman yang ada. Dia tidak ingin memberikan banyak kesempatan pada Zira yang tampaknya begitu nekat.

"Kalo aku mau menggunakan cara kotor, aku akan melakukannya sejak awal."

"Melakukannya dengan aku adalah hal kotor?" balas Zira.

Subendra tidak suka dengan kesalahpahaman yang seperti ini. Tidak ada pria yang bisa sepenuhnya mengerti perempuan. Bahkan Subendra yang sudah sangat berhati-hati memperlakukan kekasihnya itu, tetap saja mengalami kesalahan pahaman seperti ini.

"Kamu tahu persis bukan itu maksudnya. Aku nggak menginginkan kamu menyesal nantinya. Jadi, mari kita nggak melakukan hal yang nekat."

"Aku nggak akan nyesel, Mas. Aku tahu aku menginginkan kamu, aku juga tahu menginginkan aku. Kenapa nggak bisa bagi kamu melakukan hal ini? Kenapa kamu menyebutnya cara kotor? Apanya yang kotor? Bagi kamu aku kotor?"

"Shazira!" tegur Subendra tegas. "Jangan bersikap seperti perempuan murahan seperti ini! Aku nggak mau kamu membantah lagi dengan alasan yang kesannya membuat kamu begitu menyedihkan di hadapanku!"

Subendra tahu, bahwa teriakannya ini sudah berlebihan. Jadi, tidak heran jika Zira langsung menatapnya dengan bingung. Wajahnya pias, dan ketika perempuan itu turun dari pangkuan Subendra ... pria itu tahu bahwa akan ada pertengkaran antara dirinya dan Zira. Tapi kenapa kita harus bertengkar gara-gara hal kayak gini, sih, Zira?

"Maaf karena bersikap murahan di depan kamu. Aku nggak akan pernah ulangi apa pun kenekatan yang aku lakukan hari ini."

Subendra memejamkan matanya. "Zira ..."

"Jangan hubungi aku atau ajak aku bicara duluan, sebelum aku yang melakukannya. Aku ... malu berhadapan sama kamu lagi."

Iya, benar. Mereka menjalani pertengkaran pertama mereka terhitung malam ini.

***

Zira tidak pulang ke kos selama tiga hari. Dia pulang ke rumahnya sendiri dengan motor yang digunakan untuk bolak balik. Tidak ada muka bagi Zira untuk bolak balik kos sedangkan Subendra sudah pasti akan berada di sana. Dalam mode saling diam pun, Zira pasti bisa melihat keberadaan Subendra. Masalahnya, bukan karena Zira marah pada pria itu tapi dia benar-benar malu setelah ucapan Subendra menyadarkannya malam itu.

Ternyata, semurahan itu gue.

"Dek," panggil mamanya.

"Kenapa, Ma?"

"Kos masih jalan?" tanya sang mama.

"Masih, Ma."

"Oh. Terus kenapa bolak balik ke rumah yang jaraknya jauh dari kantor kamu?"

Zira yang tidak memiliki jawaban bagi pertanyaan itu memilih untuk menatap ke arah lain supaya tidak bertatapan langsung dengan sang mama. Sebab berbagai masalah akan mampu diketahui mamanya jika mata mereka bertemu. Seolah mama mereka adalah paranormal yang bisa melihat masa depan.

"Pengen aja, Ma. Kangen rumah."

"Kangen rumah apa berantem sama pacar?"

Zira menoleh pada mamanya dengan tatapan penuh tanya. Dari mana mamanya bisa mengetahui hal itu? Bagaimana bisa dia mendapatkan tebakan bahwa Zira bertengkar dengan sang pacar? Membicarakan pacar saja Zira tidak pernah.

"Mama nggak lagi memata-matai aku, kan?"

"Gila aja Mama ngelakuin hal itu. Ngapain? Mendingan Mama nggak tahu apa-apa, deh."

"Terus, kenapa Mama bisa tahu kalo aku berantem—eh?"

Zira tanpa sadar sudah mengungkapkan dirinya yang memang memiliki pacaran di hadapan mamanya. Secara tidak langsung juga sudah mengkonfirmasi bahwa Zira memiliki pacar yang belum dikenalkan pada orangtuanya.

"Anak Mama bukan cuma kamu, Dek. Ada kakak kamu yang udah duluan puber, bahkan tukang pacaran. Kamu malah baru pacaran sekarang, setelah lulus kuliah dan kerja. Mama sampe bingung kenapa kamu dulu nggak pacar-pacaran kayak kakak kamu. Dari gelagat kamu yang mood nya nggak bagus, udah persis kakak kamu kalo lagi bete sama pacarnya dulu. Mana kamu bela-belain bolak balik rumah, padahal jarak kantor kamu jauh. Itu artinya kamu lagi menghindari seseorang."

Zira menghela napasnya dan mamanya memberikan usapan lembut pada punggung anak keduanya.

"Kenapa Mama nggak nanya kenapa aku nggak ngenalin pacarku ke rumah?"

"Kakak kamu aja udah sering pacaran nggak dibawa ke rumah. Kalo nggak dibawa ke rumah tandanya belum serius. Mama nggak mau maksa-maksa. Yang penting nanti kalo mau nikah kamu harus ngenalin dulu, biar Ayah kamu inspeksi dulu calon kamu. Paling nggak, tiga kali pertemuan lah. Supaya yakin sifat sama tabiatnya."

Zira menghela napas lagi dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Kak Shanira dulu kalo pacaran kayak apa, sih, Ma?"

"Maksudnya?"

"Ya, gaya pacarannya. Kayak apa?"

"Mana Mama tahu, Dek! Kamu ini aneh. Yang pacaran kakak kamu, yang tahu ngapa-ngapainnya, ya, kakak kamu sendiri."

Memang yang bisa menjadi tempat cerita Zira sekarang paling tepat adalah dengan bertukar cerita dengan kakaknya. Sepertinya dia memang harus bertemu Shanira Mahira supaya dia bisa menilai apa yang harus dilakukannya segera. Sebelum sesi diam-diamnya dengan Subendra semakin lama semakin kacau. 

Rahasia Dibalik Celana Mas BentotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang