Subendra memberikan sepenuhnya atensi pada Zira. Sebenarnya bagus, sih. Tapi Zira tidak bisa menerimanya dengan biasa saja. Dia sudah menahan dirinya memberikan reaksi di hadapan Subendra sejak makan malam tadi. Dan sekarang dia harus melakukan hal yang sama? Mana tahan!
"Buka dulu bajunya."
"Apa?!" sahut Zira dengan mata membelalak hebat.
Subendra mendapati tatapan perempuan itu yang was-was. Sadar jika situasi mereka dan kalimat yang Subendra gunakan sangat ambigu. Pantas saja jika Zira menjadi panik kepadanya.
"Maksud saya naikkan baju kamu. Saya mau lihat lukanya."
"Nggak luka, kok."
Subendra menghela napasnya karena balasan perempuan itu. "Tahu dari mana kalo nggak luka?"
"Ya ... dari logika sendiri. Pinggang saya cuma kepentok, bukan kegores pisau."
"Dan kamu tahu kemungkinan akibat terpentok itu bisa membuat lebam? Belum lagi efek lebam bisa nyeri."
"Iya, sih ... tapi—"
"Tapi itu artinya kamu harus nurut sama saya. Ini bagian dari kesalahan saya juga. Membiarkan Kartika menyimpan pemahaman bahwa saya tertarik sama dia. Kamu malah jadi sasaran begini."
Zira tidak bisa melawan pendapat pria itu. Dia menarik pakaiannya agak naik dan menunjukkan bagian yang terasa nyeri.
"Bagian mana yang sakit?" tanya Subendra.
"Eh? Belum memar, ya?" tanya Zira.
"Belum."
"Oh, ini. Bagian sini, sakit banget."
Zira memegang bagian pinggangnya yang sakit, lalu melepasnya. Dia membiarkan Subendra untuk melumuri krim pereda nyeri yang terasa dingin sekaligus hangat. Eh? Gimana gimana?
Zira memang merasakan krim yang dioles pada permukaan kulitnya dingin, tapi permukaan tangan Subendra-lah yang membuat perempuan itu merasakan kehangatan yang tidak biasa. Dari setiap pergerakan telapak tangan pria itu, Zira menggigit bibirnya sendiri ketika Subendra meratakannya hampir ke tengah pinggulnya. Permukaan tangan Subendra tidaklah halus, agak kasar, dan itulah yang membuat Zira bisa merasakan getaran yang aneh hingga ke perut. Sensasi tersebut menguasai Zira hingga dia tidak bisa mengendalikan suaranya sendiri.
"Ehm, Mas... udah."
Subendra memang menghentikan gerakan tangannya, tapi Zira masih bisa merasakan tangan pria itu masih menempel di pinggangnya.
"Mas Subendra?"
Zira menoleh dan terkejut begitu jarak wajah mereka menjadi begitu dekat. Zira bisa melihat kilatan mata Subendra yang berbeda, dan dia dengan cepat menelan ludah karena tidak mengerti suasana yang mendadak gerah itu. Untungnya, Subendra langsung memberi jarak dan menatap ke arah lain hingga Zira juga bisa memiliki kesempatan untuk berpikir lebih jernih.
Zira tahu bahwa adegan seperti ini sudah mirip dengan drama-drama yang dia tonton. Namun, Zira benar-benar membeku. Dia tidak merasa bahwa apa yang dilakukan oleh Subendra dan reaksi pria itu adalah pelecehan. Itu artinya, Zira juga menyukainya, kan? Dengan Zira memberikan izin pria itu menyentuh tubuhnya, itu juga bentuk konsen yang Subendra sudah dapatkan persetujuannya dari Zira sendiri.
Sial. Gue jadi gugup banget gini!
"Saya rasa krim pereda nyerinya sudah cukup, Zira."
Zira mengangguk meski tatapan mereka masih berupa lirik-lirikan yang sarat akan rasa malu. Mereka berdua benar-benar salah tingkah saat ini.
"Kalo gitu ... saya pulang—eh, maksudnya saya balik ke kamar kos dulu, ya, Mas."
Subendra berdehem dan mengangguk. "Iya. Maaf membuat kamu seperti ini."
"Eh, saya juga minta maaf karena ngerepotin. Dua kali bahkan. Udah dikasih makan gratis, dan sekarang malah diobatin. Makasih, Mas Subendra."
Sekali lagi Subendra mengangguk. Zira hanya bisa menikmati reaksi tegang pria itu dan segera kembali ke kamarnya dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan lagi.
***
Subendra langsung menutup pintu belakangnya yang terarah ke dapur kos putri. Dia membalikkan tubuh dan menyandarkan punggungnya ke pintu. Tatapannya langsung terarah pada kejantanannya yang menegang. Sial. Tentu saja dia akan bereaksi berlebihan pada tubuh seorang perempuan. Apalagi ketika dia menyentuh bagian yang tidak tertutup dengan baju.
Kulit punggung Zira begitu halus. Ada tahi lalat kecil yang menyerupai tato berupa titik di pinggang bagian kanan, kontras terlihat karena punggungnya yang bersih. Subendra awalnya memang hanya berniat untuk memberikan krim pereda nyeri, tapi begitu dia merasakan telapak tangannya berputar, yang ada malah dia semakin tertarik untuk berlama-lama di sana. Yang lebih tidak bisa Subendra tolak adalah suara Zira ketika meminta pria itu berhenti.
"Ehm, Mas... udah."
Bukan ekspresi yang membuat Subendra tidak bisa mengontrol ketegangan di pusat kebugarannya sendiri, melainkan suara perempuan itu yang tidak main-main manisnya. Semua ini sepertinya juga efek dari sudah lama tidak dekat dengan perempuan lain. Dia terlalu fokus bekerja hingga lupa untuk melakukan pendekatan dengan lawan jenis dengan serius.
Kartika gimana, Bro? Suara hatinya menyadarkan Subendra lagi. Dia lupa bahwa tidak ada yang bisa membuatnya memberikan kepastian pada Kartika karena memang—terima atau tidak—Subendra tidak bisa merasakan sesuatu hanya dengan mengobrol dengan Kartika. Sudah pasti tidak ada hal romantis yang bisa membuat Subendra merasa bahwa dia harus dekat dengan Kartika lebih jauh.
Sedangkan bersama Zira ... dia merasakan sesuatu yang tidak bisa digambarkan sama sekali efeknya. Ya, tidak bisa digambarkan. Memangnya siapa yang mau menggambar kondisi kejantanannya yang menegang seperti ini akibat berdekatan dan bersentuhan dengan Zira?
Ya ampun, rasanya dia akan gila membayangkan semuanya.
"Sadar, sadar, Ben!" ucapnya pada diri sendiri.
Subendra segera berjalan cepat menuju kamarnya, membuka cutbray jeans miliknya yang berwarna hitam. Celana yang selalu dia gunakan secara bergantian dengan cutbray jeans navy yang kebetulan hari ini baru dia cuci dan besok akan dia gunakan.
Ya, Subendra tidak bisa berganti celana untuk aktivitas bekerja sehari-hari karena dia suka dengan kenyamanan ketika memakai cutbray jeans miliknya itu. Meski sudah lama sekali dia memilikinya, sejak zaman kuliah, dan masih awet hingga kini. Apa pun kata orang, dia suka menggunakannya. Yang terpenting bukan celana apa yang dia pakai, tapi bagaimana dia menjaga ketampanannya yang memang begitu beruntung didapatkannya. Mengurus wajah dan tubuhnya lebih penting ketimbang mengikuti tren fashion yang tidak ada habisnya dan membuat pria itu pusing sendiri untuk memadu padankannya sendiri.
"Fuck! Maafin saya, Zira."
Subendra tidak bisa menahan dirinya sendiri di dalam kamar mandi karena efek yang diberikan oleh Zira. Pria itu membayangkan kembali bagaimana telapak tangannya menyentuh dan membalurkan krim pereda nyeri pada punggung Zira. Suara Zira yang tidak sengaja keluar dari bibir perempuan itu kembali terngiang, Subendra tidak bisa membohongi intuisi kelelakiannya. Hal seperti ini harus dia tuntaskan dengan memuaskan dirinya sendiri.
Jika begini, Subendra tahu bahwa dia sepertinya tidak akan bisa lepas dari bayang-bayang Zira. Perempuan itu memang memiliki magnet tersendiri terhadap Subendra. Mulai dari pertama kali bertemu dengan kejadian yang cukup memalukan perempuan itu sendiri. Hingga sekarang mereka selalu mendapatkan kesempatan untuk berdua.
Bukankah ini tanda, bahwa Subendra perlu menjadi sosok pria yang mengejar wanita kembali? Sudah waktunya dia bangkit dari patah hati lamanya dan memikirkan masa depan yang serius. Tentu saja dia berharap Zira tidak mematahkan hatinya kali ini, seperti kisah lamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Dibalik Celana Mas Bentot
RomanceSubendra Wiyahya, atau yang sering disapa Bentot, adalah pria low profile yang memiliki sepaket titel; mapan, tampan, dan memenuhi harapan. Setidaknya paket titel itu berlaku dan diinginkan para perempuan. Tidak terkecuali Shazira Mafasa. Zira, si...