Sejak subuh Subendra mencari celananya yang semalam sudah dia jemur. Cutbray jeans yang sudah biasa dia pakai dan memang nyaman baginya, pagi ini tidak ada. Padahal sudah dia pastikan jemuran yang biasanya digunakan tetap berada di tempat, tapi celananya yang tidak ada.
"Apa aku lupa, ya?" gumamnya.
Sebab semalam dia terlalu teralihkan oleh Zira. Dia tidak bisa menahan diri. Dia terlalu besar terpengaruh oleh Zira. Bahkan disaat dia kebingungan mencari celana begini, dia malah masih sempat-sempatnya untuk melirik ke arah dapur kos. Memastikan apakah Zira sedang memasak sarapan paginya atau tidak. Juga memastikan apakah Zira trauma untuk memasak di pagi hari karena ulah Kartika atau tidak. Namun, untungnya, melihat Zira yang sudah bangun sepagi ini membuat pria itu tidak perlu mencemaskan bahwa mereka akan mengalami situasi yang canggung.
"Mas Subendra cari apa?" tanya Zira yang mau tidak mau jadi ikut terpancing untuk mengerti situasi Subendra.
"Celana saya. Kemarin saya jemur disini, kok hari ini nggak ada."
"Celana yang mana, Mas?"
"Celana cutbray jeans yang warna navy. Kemarin saya pakai yang hitam, tapi malah nggak ada. Bikin saya panik begini."
"Hm? Itu, kan, cuma celana, Mas. Emangnya nggak ada celana yang lain untuk dipakai?"
Saat mendengar kata itu cuma celana, Subendra tidak suka dengan anggapan tersebut. Makanya dia langsung memberikan balasan pada Zira.
"Itu bukan hanya sekadar celana. Bahannya bagus. Bahkan setelah bertahun-tahun juga celana itu masih ada. Nggak ada yang bisa membuat saya lebih nyaman dari celana itu. Kamu pasti tahu sendiri kalo saya nggak pernah pakai celana lain, kan? Saya itu cuma mau pakai dua celana itu."
Agak terkejut juga Zira dengan balasan bapak kosnya yang tidak bisa santai saat mengatakan hal tersebut, memangnya ada apa dibalik semua keras kepalanya Subendra mengenai celana saja? Sampai pria itu tidak bisa merelakan celananya yang memang tidak ada di jemuran dan memilih untuk menggunakan celana lain. Berat sekali tampaknya bagi Subendra untuk melakukan itu.
"Oh, maaf-maaf, Mas. Kalo gitu mending pakai celana yang semalam aja dulu. Sementara celana yang satunya belum bisa ketemu. Ketimbang Mas Subendra pakai celana bokser Doraemon begitu."
Subendra secara cepat melirik ke arah celana yang Zira maksud. Dia tidak bisa berkata-kata saat yang dikatakan perempuan itu memang benar. Sekarang ini Subendra hanya menggunakan celana bokser bergambar Doraemon. Padahal itu celana yang selalu digunakannya untuk menjadi dalaman, bukan celana pendek sehari-hari. Dalam ketegangan yang sempurna, Subendra melirik ke arah Zira kembali. Si Bentot junior terlalu nongol di mata Zira nggak, ya?
***
"Kenapa muka lo itu? Nggak enak banget dilihatnya."
Zira bingung, dia tidak tahu harus mengatakan apa pada Selfi. Dia bingung untuk menafsirkan apakah benar Subendra tertarik padanya atau tidak. Jika ternyata tidak, apa yang harus dilakukannya? Zira akan sangat malu. Toh, perempuan secantik Kartika saja tidak bisa mengambil hati pria itu. Bagaimana dengan Zira yang standar rata-rata ini?
"Menurut lo kalo ada laki-laki yang bikinin kita makanan, ngobatin kita pas lagi sakit, dan natap kita pake tatapan yang dalam, itu fix suka nggak sih?"
Selfi mengetuk-ngetuk dagunya dengan gagang pulpen. "Hm ... Tatapannya ada nafsu-nafsunya gitu, nggak?"
Zira langsung melempar temannya itu dengan Sticky notes yang belum berkurang. "Kenapa, sih, otak lo itu mesum terus? Mentang-mentang udah malem pertama."
"Ya, harus dipastikan, Shazira! Cinta itu nggak jauh-jauh juga dari hawa nafsu. Nggak bisa dipungkiri bahwa kalo orang jatuh cinta pengennya deket-deket, sentuh-sentuh, dan ke arah yang lebih intim. Kalo cinta tapi nggak suka deket-deket, mah, salah satunya udah pasti belok."
Zira tidak bisa menyangkal kalimat Selfi yang satu itu. Memang ada benarnya sekali bahwa tatapan orang yang suka atau cinta pasti tidak jauh-jauh dari keinginan untuk saling berdekatan dan mengarah kepada hal lain yang lebih membuat jantung dan adrenalin lebih berdegup kencang.
"Lo sama Mas Bentot udah ada kemajuan kayak gitu?" tanya Selfi tanpa menebak-nebak lagi.
"Hah? Kok, bisa otak lo ke arah sana? Apaan, sih, Sel?!"
"Oh ... fix kalian emang udah ada apa-apa."
"Tapi mbak Kartika itu yang deket sama Mas Subendra!" balas Zira dengan frustrasi.
"Jadi Kartika itu masih juga berjuang buat dapetin Mas Bentot? Nggak ada kapoknya, ya. Dulu dua sok banget, tuh, karena mendiang bapaknya Mas Bentot suka sama sopan santun dan gayanya yang dewasa. Tapi nggak dikawinin sama Mas Bentot, itu artinya Mas Bentot emang nggak tertarik."
"Tapi dia cantik banget, Sel."
"Iya, sih. Dia cantik, seumuran sama Mas Bentot, pengusaha juga. Tapi Tuhan maha Adil, Zir. Nggak ada pasangan yang sempurna ketemu yang sempurna. Nanti kurangnya apa? Lagian kalo dipikir lagi, Mas Bentot nggak anggap Kartika sebagai lawan jenis sepenuhnya. Kartika cuma dianggap sebagai temen yang nyambung kalo ngobrol aja."
Zira tidak akan bisa langsung percaya dengan kalimat Selfi itu. Sebab Subendra sendiri belum mengatakan apa-apa yang bisa menjelaskan segalanya. Ya, walaupun pria itu mengatakan tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Kartika, tapi tetap saja Kartika masih terlihat tidak menyerah dengan Subendra yang hanya menganggapnya seperti teman.
"Kalo lo bisa lebih deket sama Mas Bentot, gue dukung, deh, Zir. Walaupun rada nggak ikhlas, ya, lo bisa dapetin seganteng dia. Tapi nggak apa-apa, gue jadi bisa lihat gantengnya Mas Bentot kalo lo nikah sama dia. Lagian, lo juga katanya udah sering ditanya sama orangtua lo, kan? Suruh ngenalin pacar ke rumah, kan umur lo udah 27 juga. Udah mateng. Nah, Mas Bentot juga udah mateng, tuh. Duitnya mayan pula. Punya kosan sama usaha sendiri."
Yang namanya definisi yang mantap sebagai calon suami memang Bentot-lah jagonya. Tidak perlu diragukan lagi kuantitas materi pria itu, dan kualitasnya sebagai pria dewasa. Menghadapi kelakuan Zira saja yang tidak bisa ditebak dan sisi asal celetuknya saja malah dihadapi dengan tawa renyah. Subendra seolah tahu bahwa sikap Zira ini memang harus dihadapi dengan tenang dan bukannya malah terlalu panikan.
"Ngebayangin apa lagi? Lo kalo bengong begini gue jadi nangkepnya lo lagi bayangan Mas Bentot yang aneh-aneh, Zir."
"Ah! Males ngomong sama lo, Sel! Kerja aja udah!"
***
Shazira Mafasa: Mas, celananya udah ketemu belum?
Subendra tidak tahu bahwa Zira akan sepeduli itu dengan celananya. Seharusnya Zira memang tidak peduli, karena perempuan itu ketika bicara sebelumnya mengenai apakah Subendra tidak punya celana lain untuk dipakai tampak tidak begitu peduli lagi. Namun, ketika Zira kembali mengirimkan pesan yang mengejutkan bagi pria itu, barulah dia bisa merasakan bahwa Zira memang peduli padanya.
Shazira Mafasa: send pict
Shazira Mafasa: Ini celana Mas bukan, sih?
"IYAAA!"
Subendra mengejutkan anak buahnya yang sedang beberes di kedai minumannya.
"Kenapa, Pak?" tanya salah satu pegawai.
"Oh, nggak. Maaf udah bikin kalian kaget. Tolong balik kerja, ya."
Subendra Wiyahya: Itu bener celana saya. Kamu ketemu dimana?
Shazira Mafasa: Di deket tanaman deket dapur. Kotor sama tanah. Tapi masih bisa diselametin kalo dicuci, sih.
Subendra Wiyahya: Tolong simpan dulu, ya. Saya pulang agak malem soalnya.
Shazira Mafasa: Oke Mas.
Subendra hendak mengetikkan pesan lagi dengan tujuan untuk membuat pembicaraan mereka yang lebih panjang. Namun, dia tidak tahu harus membahas apa selain terima kasih, yang tidak lagi mendapatkan balasan dari Zira. Ya, mau bagaimana lagi? Dia harus menahan diri supaya tidak terlihat terlalu agresif mendekati Zira.
"Beliin makanan aja, deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Dibalik Celana Mas Bentot
RomanceSubendra Wiyahya, atau yang sering disapa Bentot, adalah pria low profile yang memiliki sepaket titel; mapan, tampan, dan memenuhi harapan. Setidaknya paket titel itu berlaku dan diinginkan para perempuan. Tidak terkecuali Shazira Mafasa. Zira, si...