Chapter 19: Bentot?

421 108 24
                                    


Subendra mungkin tidak akan lebih tegang dan terkejut jika saja kakak Zira adalah pria galak yang protektif terhadap adiknya. Sayangnya, yang dilihat Subendra kini adalah seorang kakak perempuan yang memang baru Subendra sadari kemiripan itu memang berdasar. Shazira, Shanira. Dengan wajah yang mirip dengan sikap yang mirip juga ceplas ceplosnya. Dunia begitu sempit karena Subendra kembali bertemu dengan Shanira. Bahkan dalam kondisi seperti ini. Dimana Subendra sedang berusaha untuk menjadi calon suami bagi adik Shanira.

"Bentot?"

Panggilan itu memberikan efek kejut bagi jantung Subendra. Dia tidak memperkirakan bahwa Shanira akan bersikap seperti mereka begitu dekat sebelumnya. Panggilan Bentot, seperti yang Zira tahu, itu adalah panggilan bagi orang-orang yang dekat dengan Subendra. Dengan cepat pria itu menoleh kepada Zira untuk melihat reaksinya.

"Bentat Bentot! Heh! Ini anak kalo masuk rumah salam dulu kenapa? Kok, malah manggil calon adikmu nggak sopan begitu?!" tegur mama kedua perempuan itu.

"Ma, aku ini dulu satu kampus sama Bentot. Aku kenal dia. Makanya bisa panggil begitu. Hahaha, ya ampun. Nggak nyangka lo disini, Tot."

"Shanira!" omel mamanya lagi.

"Kak, bener kata mama kamu. Kenapa manggilnya begitu? Kan, Ayah jadi mikir kemana-mana kalo kamu panggil calon adikmu Tat Tot Tat Tot. Kayak ... aduh, kesannya itu bukan manggil nama orang. Tapi lagi ngatain orang."

Subendra tidak mengambil pusing pada perdebatan yang terjadi karena nama panggilannya. Pria itu benar-benar memfokuskan diri kepada Zira yang tampak masih diam. Meski begitu, Zira tetap menatap kakaknya dan memberikan tawa karena panggilan kakaknya pada Subendra.

"Jadi, Kak Nira sama Mas Bentot udah saling kenal?"

"Udah. Nggak sangka, dunia sekecil ini."

Shanira masih seperti dulu. Tidak pernah bisa serius. Celetukannya juga masih khas. Yang membedakan, wanita itu lebih terlihat dewasa. Jika Subendra tampak awet muda, Shanira terlihat lebih berisi dari zaman kuliah mereka dulu.

"Kalo udah kenal, berarti nggak ada alasan untuk tahu Mas Ben beneran baik atau nggak, kan?"

Shanira mengangguk-anggukkan kepalanya. Tahu bahwa yang harus dilakukannya adalah untuk meyakinkan adiknya untuk tidak meragukan satu hal apa pun mengenai Subendra.

"Ya, ya, ya. Kalo Bentot, sih, emang nggak perlu diragukan lagi. Dia emang manusia super lurus dari jaman kuliah."

Subendra merasa sedikit lega bahwa tidak ada kejadian yang akan membuatnya merasa begitu payah di depan keluarga Zira. Dari ucapan Shanira sudah pasti wanita itu tidak akan mengatakan apa pun yang berpotensi membuat hubungan Subendra dan adiknya gagal.

"Hadeuh, ngapain tadi gue kepo sama calon lo, Dek. Ternyata si Bentot."

Mereka akhirnya bisa berbaur kembali dan menikmati makan siang di rumah orangtua Zira dengan tenang. Setelah jam makan siang berlalu, para lelaki memutuskan untuk duduk di kursi taman samping yang tidak luas, tapi cukup untuk bersantai sambil merokok dan menikmati kopi.

"Nggak pernah merokok?" tanya ayah Zira terkejut.

"Dulu pernah, Om. Tapi semenjak bapak saya meninggal, saya nggak merokok lagi."

Ayah Zira mengangguk dan merasa tidak enak hati untuk merokok di depan calon menantunya yang sudah komit untuk tidak merokok.

"Om ngerokok dulu di deket dapur, deh. Kamu disini nggak apa-apa. Nanti Zira paling ajak ngobrol. Dia lagi bikin cemilan sama mamanya katanya."

"Oh, iya, Om. Santai aja."

Ayah Zira menyingkir dan Subendra mencoba menikmati kopi hitam yang tidak biasanya dia konsumsi. Sekali lagi, Subendra ini memang jauh dari kata punya hobi seperti orang lain. Usaha minumannya saja berkualitas dengan perisa buah, dan buah-buahan asli. Jika ditambahkan cokelat atau toping ini itu itu atas permintaan langsung dari pembeli, bukan dari menu pakem buatannya.

"Hoi!"

Subendra menoleh ketika menemukan Shanira berjalan ke arahnya.

"Shan, apa kabar? Dari tadi nggak sempet nanya karena udah rame sekeluarga kalian."

Shanira tertawa dengan apa yang Subendra katakan. "Iyalah rame. Dari dulu lo tahu gimana ramenya mulut gue ini. Nggak heran di rumah juga begini, dan pas banget ayah gue emang berisik juga orangnya."

Subendra tertawa pelan dan mengangguk setuju.

"Ketemu dimana sama adek gue?"

"Kos. Zira ngekos di tempatku."

"Oh, jadi usaha kos kosan bapak lo sekarang lo yang kelola?"

"Bener."

"Beneran mapan, dong. Nggak heran Zira akhirnya runtuh pertahanan dari nggak pacaran. Sama Subendra Wiyahya langsung bertekuk lutut dia."

Subendra tidak memberikan pembenaran atas apa yang Shanira sampaikan. Dia justru berkata, "Justru aku yang akhirnya bertekuk lutut. Dia perempuan yang unik soalnya."

Shanira tertawa agak keras sambil bertepuk tangan. "Gila, gila! Udah bucin berat."

Ada jeda diantara keduanya, tapi setelah itu munculah protes dari Shanira yang tidak Subendra sangka.

"Kenapa masih pake celana itu, sih, Tot? Udah nggak jaman gila. Lagian itu gue belinya bukan buat dipake sehari-hari, itu buat ngerjain lo doang! Biar lo kayak bapak-bapak jadul yang pake cutbray. Ngapain malah sampe sekarang masih dipake? Itu Zira nggak protes lo senorak ini?"

Subendra menilik celana cutbray jeans hitam yang dia gunakan bersama kemeja panjang. Pria itu tidak bisa memadu padankan pakaian. Terlebih lagi, Subendra hanya mencari pakaian yang nyaman, bukan yang trendi. Jadul atau tidak, yang penting baginya tetaplah kenyamanan.

"Ini celananya nyaman. Awet banget. Kenapa harus diganti? Aku nggak pernah milih-milih pakaian berdasarkan jadul atau nggak. Yang penting nyaman. Dan lagi, Zira memang pernah bilang kenapa nggak pake celana yang lain, tapi setelah aku kasih penjelasan kalo celana ini nyaman. Dia nggak protes lagi. Dia menghargai pendapatku."

Shanira menepuk jidat dengan jawaban Subendra. "Itu yang bikin gue males pacaran sama lo lama-lama. Sukanya ambil pilihan nyaman dan terkesan cari aman terus. Nggak ada geregetnya jadi laki-laki. Nggak ada tantangannya banget, deh, lo, tuh!"

"Untungnya aku sama adik kamu. Dia nggak ribet kayak kamu. Jauh dari kamu yang cepet bosan. Dan sukanya cari tantangan terus. Padahal hidup aman dan nyaman nggak perlu ditambahi tantangan yang cuma nambahin masalah aja."

"Hah! Tuh, kan. Kita emang nggak cocok, sih. Ya, emang untungnya lo sama Zira yang lebih kalem dari gue. Bocahnya juga nggak macem-macem. Gue percaya kalian bisa jadi pasangan yang serasi. Jadi, tolong jangan bikin adek gue nangis karena kecewa."

Subendra tahu, sudah tidak ada lagi perasaan yang tersisa baginya dari Shanira. Toh, memang tidak seharusnya dan mencoba menggali itu dari tatapan Shanira. Tidak ada lagi yang perlu dirinya pertanyakan mengenai wanita itu. Dia sekarang memiliki Zira dan tidak akan mencari hal lain dari perempuan lain. Hanya Zira.

"Oh, iya. Gue mau bilang aja. Dengan lo yang terus pake celana pemberian gue dulu, rasanya itu kayak melambangkan lo belum move on dari kisah lama kita. Kalo saran gue bisa kepake, tolong ubah semuanya. Setiap orang pasti berubah, Bentot. Kalo lo beranggapan rasa nyaman dan untuk apa ikutin tren yang nggak ada habisnya, lo harus lihat juga, apakah lo udah mengubah tatanan dalam diri lo? Gue nggak yakin adek gue bakalan nggak nanya macem-macem setelah tahu kita saling kenal dulu. Jadi saran gue siapin diri lo aja, Tot." 

Rahasia Dibalik Celana Mas BentotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang