"Ini enak," ucap Zira saat mendapat satu suapan untuk mencoba spaghetti buatan kekasihnya.
"Kurang sesuatu nggak?" tanya Subendra.
"Tambahin bawang bombaynya, dong, Sayang. Aku suka kriuk-kriuk bawang bombaynya."
Subendra tahu bahwa dia sudah kalah dengan panggilan sayang dari Zira. Mode manja perempuan itu mengalahkan apa pun yang Subendra dalam mode bertahan. Apalagi ditambah dengan pelukan dari belakang yang Zira berikan disaat pria itu sedang fokus memasak.
"Zira, kita ini lagi di depan kompor. Panas, loh."
"Hmm ... aku tahu, kok, Mas. Masak aja, aku cuma pengen peluk. Beneran, sumpah. Aku nggak bakal melecehkan kamu."
Subendra tertawa dengan apa yang kekasihnya katakan. Disaat seperti ini Zira masih bisa bercanda sekaligus menggoda Subendra yang sudah menjadi kekasihnya selama dua bulan ini. Selama dua bulan, hubungan fisik mereka memang tidak jauh-jauh dari pelukan dan kecupan di bibir. Subendra tidak yakin untuk melakukan hal lebih jauh, mengingat ini adalah pengalaman pertama Zira berpacaran. Subendra juga tidak mau dituduh memanfaatkan kesempatan sebagai kekasih. Dia ingin perjalanan mereka ini terjadi secara perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa dengan segala hal yang sifatnya didasari oleh nafsu semata. Meski memang, harus diakui, yang namanya hubungan percintaan mau tidak mau memang akan melibatkan nafsu di dalamnya. Akan menjadi hal yang aneh jika Subendra tidak memiliki nafsu terhadap kekasihnya sendiri, kan?
Yang paling penting, Subendra merasakan hal yang berbeda ketika bersama Zira. Tidak seperti ketika bersama perempuan lainnya yang ada di sekitarnya. Bahkan dia tahu siapa saja perempuan yang tertarik padanya dan suka mencari perhatian. Namun, tidak ada yang menarik di matanya selain Zira. Ada rasa yang terlibat dalam hubungannya dan Zira. Maka dari itu, bernafsu adalah bagian yang tidak bisa Subendra hindari.
"Yang ada, justru aku yang takut malah jadi melecehkan kamu, Zira."
"Masa?" sahut Zira dengan nada bercanda.
"Shazira, aku serius. Jangan mulai kalo nggak mau menanggung akibatnya."
"Emang akibatnya apa, sih, Mas Bentot?"
Subendra menggeram tidak suka dengan panggilan yang kekasihnya gunakan. "Jangan panggil begitu."
Zira melepaskan pelukannya dan bertanya, "Kenapa, sih? Kamu nggak suka banget kalo aku panggil Mas Bentot? Katanya itu panggilan buat orang terdekat kamu aja. Tapi kenapa kalo aku panggil begitu, kamu nggak suka? Aku ini orang terdekat kamu, kan? Masa Kartika aja kamu biarin panggil Mas Bentot sampai sekarang, tapi aku nggak boleh? Aku ini apanya kamu kalo gitu? Masa manggil aja—"
Subendra tidak tahan untuk mendengar lebih banyak ocehan dari kekasihnya itu. Dia bungkam Zira dengan mencium bibir Zira lebih lama dari biasanya. Subendra yang memang sudah gemas ingin membalas sentuh Zira, akhirnya mendapatkan kesempatan tersebut. Dia sudah memastikan kompornya mati terlebih dahulu, lalu sepenuhnya menghadap sang kekasih, dan tak lupa menahan pinggang serta tengkuk perempuan itu untuk memperdalam ciuman.
Ciuman mereka kali ini terasa lebih berani dari biasanya. Subendra yang tadinya hanya coba-coba tidak mengira akan mendapatkan reaksi balasan yang bisa dibilang cukup berani dari Zira. Kedua tangan perempuan itu dikalungkan di leher Subendra dan remasan di rambut bagian belakangnya jujur saja membuat bulu kuduknya meremang. Dia tidak tahu bahwa efek sentuhan balasan dari Zira akan sebegini gilanya.
"Emh ..."
Subendra segera tersadar bahwa jika semakin diteruskan, maka akan ada bujukan gila yang merajai kepalanya. Dia melepaskan bibir mereka yang semula bertaut indah. Dilihatnya Zira yang tidak karuan. Bibir basahnya akibat pertukaran saliva langsung dihapus oleh Subendra. Akibat pria itu, kini bibir Zira membengkak merah. Bukannya membuat geli, justru malah menambah hasrat Subendra yang melihatnya.
"Astaga. Nggak seharusnya aku kelepasan."
Subendra merapikan rambut sang kekasih yang sudah dia acak-acak tanpa sadar. Lalu, segera pria itu membawa Zira untuk duduk di ruang santai dimana mereka akan menonton bersama sambil menikmati spaghetti buatan Subendra. Lalu, dengan cepat dia merapikan dapur dan menyajikan masakannya.
"Sayang." Zira memanggil begitu Subendra sudah bergabung di sofa.
"Hm?"
"Kamu lebih suka aku panggil sayang? Dari pada Mas Bentot?"
"Sebenernya aku nggak masalah dipanggil Bentot. Tapi itu nama yang dipakai orang terdekat yang nggak aku anggap spesial. Mereka deket aja denganku. Aku nggak suka kamu panggil Bentot karena kesannya kamu malah jadi kayak orang yang udah kenal aku akrab tanpa hubungan apa-apa. Kamu pacarku, kamu spesial. Aku mau kamu nggak pakai panggilan yang biasa dipakai temen-temen atau anak kos yang deket denganku."
"Jadi, Sayang aja? Tapi kalo lagi posisinya kita lagi di acara formal. Masa aku panggil kamu Mas Subendra lagi? Kayak asing banget kita."
Subendra menghentikan makannya, dan mengambil tisu untuk membersihkan saus spaghetti di bawah bibir Zira. "Mas Ben, itu lebih terdengar spesial."
Senyuman di bibir Zira yang merekah membuat Subendra membayangkan kegiatan mereka di dapur tadi. Makanya, segera saja pria itu menoleh untuk memutus otaknya yang masih terbayang-bayang ciuman mereka tadi.
"Kenapa, sih, kamu nahan diri?" tanya Zira yang kini mulai melanjutkan sesi menontonnya.
"Nahan diri?"
Zira mengangguk dan memberikan tatapan penuh tanya pada kekasihnya itu. "Iya, nahan diri untuk nggak menyentuh aku?"
Subendra tahu, Zira pasti akan menanyakan hal seperti ini. Perempuan itu pasti dalam mode sangat penasaran dengan apa pun yang tidak seperti perkiraannya.
"Aku nggak mau kesannya memanfaatkan kamu untuk hal-hal semacam itu, Zira."
"Mas nggak pernah memanfaatkan aku. Malah yang ada aku terus yang sengaja nyosor."
"Kamu memang sengaja melakukan itu, tapi aku harus tahan diri."
"Kenapa?"
Subendra seperti sedang bicara dengan anak kecil berusia lima tahun yang sedang penasaran dengan apa pun yang dilihat dan didengarnya. Sungguh, Zira ini menguji ketahanan Subendra.
"Ya, karena ini pengalaman pertama kamu, Zira. Kamu baru pacaran. Aku juga merasa bahwa punya hubungan nggak harus selalu dikaitkan dengan sentuhan fisik."
"Tapi aku suka sentuhan fisik. Itu bikin aku semangat lagi. Bikin aku senang. Aku merasa kalo love language yang aku punya adalah physical touch. Tapi ternyata Mas Ben nggak begitu, ya?"
Subendra meletakkan piringnya dan memiringkan tubuhnya. Dia pastikan untuk bicara sambil menatap mata sang kekasih dengan lekat. Apa pun yang diucapkannya ini, tidak boleh ada yang disalah pahami oleh Zira.
"Sayang, denger. Aku suka physical touch dengan kamu. Tapi jangan pancing aku untuk melakukan hal yang lebih jauh. Kamu mungkin belum siap tanpa kamu sadari. Jadi, mari kita gunakan setiap pertemuan dengan sentuhan fisik yang sewajarnya. Pelan-pelan, ikuti alur di hubungan ini. Aku nggak mau merusak kamu dan kamu bisa sentuh aku tapi jangan pancing ke arah sana."
"Ke arah sana itu maksudnya seks, kan?" ucap Zira dengan gamblangnya.
"Iya. Itu maksudnya."
Zira mengangguk paham. Mereka kembali menatap ke depan dengan piring masing-masing.
"Tapi jujur aja, Mas. Kamu pasti suka kepancing, kan? Terus kamu nahan begitu apa nggak sakit?"
Subendra sudah tidak heran lagi dengan bahasa Zira. Dia tidak tersedak dengan pertanyaan tersebut saja sudah bagus.
"Jangan pusingin soal aku. Laki-laki udah tahu caranya."
"Aku juga tahu, kok. Yaudah, kalo nggak apa-apa. Pokoknya jangan protes kalo aku deket-deket sambil nempel ke kamu."
Subendra mengiyakan, meski dia tidak tahu apakah benar-benar mampu menahan diri dari godaan Zira yang sangat dahsyat efeknya untuk pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Dibalik Celana Mas Bentot
RomanceSubendra Wiyahya, atau yang sering disapa Bentot, adalah pria low profile yang memiliki sepaket titel; mapan, tampan, dan memenuhi harapan. Setidaknya paket titel itu berlaku dan diinginkan para perempuan. Tidak terkecuali Shazira Mafasa. Zira, si...