Chapter 10: Mas Bentot

979 139 10
                                    


Resmi berpacaran bukan berarti bisa seenaknya bertemu. Meski bisa dibilang pacarku lima langkah, sayangnya mereka tidak boleh terlalu menunjukkan hubungan yang mereka punya. Masalahnya bisa saja penghuni kos yang lain iri dengan kedekatan Zira dan Subendra. Nanti dikira Zira ingin melakukan tindakan orang dalam oleh penghuni yang lain. Mau tak mau keduanya harus tetap profesional bersikap sebagai pemilik kos dan penghuni kos. Meski begitu, bukan berarti mereka tidak bisa diam-diam saling menunjukkan euforia sebagai pasangan.

Mas Bentot💚: Kamu gak masak tadi pagi. Kenapa?

Pesan yang masuk dari kekasihnya itu membuat Zira meletakkan sendok bubur ayamnya demi membalasnya.

Shazira Mafasa: Aku kesiangan 😓

Mas Bentot 💚: Kok bisa kesiangan?

Shazira Mafasa: Gara-gara gak bisa tidur semalem. Jadi kesiangan.

Mas Bentot 💚: Kok gak bisa tidur?

Shazira Mafasa: Ya gara-gara terlalu seneng karena udah resmi jadi pacar. Makanya gak bisa tidur.

Setiap balasan yang Subendra berikan sangatlah ditunggu-tunggu oleh Zira. Dia bisa merasakan euforia yang membuat kupu-kupu beterbangan di perutnya.

"Siapa, sih? Sibuk banget chat nya. Lo udah punya pacar, ya?" tanya Selfi.

Sontak saja Zira langsung menutup layar ponselnya supaya Selfi tidak mencuri tatap pada isi pesan yang sedang berlangsung itu.

"Apa, sih, ah?! Pelit banget, Zira! Biasanya lo nggak ada rahasia-rahasiaan dari gue. Kenapa sekarang pake acara rahasia segala?"

Selfi masih berusaha untuk tahu apa yang ada di ponsel Zira, temannya itu memohon disaat Zira sedang menikmati bubur ayamnya sebagai sarapan.

"Buka, dong, Zira. Masa sama temen sendiri lo pelit."

"Nanti aja gue ceritanya."

"Kapan?"

"Kalo udah seserius itu. Pokoknya lo tenang aja, Sel. Intinya gue bakalan cerita begitu gue yakin."

Kerutan di dahi Selfi muncul saat temannya mengatakan demikian. "Kalo nggak yakin kenapa ada yang dijalanin? Lo keliatan seneng banget bales chat nya loh. Gimana, sih?"

Zira tahu bahwa dia memang tidak seharusnya meragukan apa pun mengenai Subendra. Pria itu adalah pria yang sangat patut untuk diberikan sepenuhnya kepercayaan. Sebenarnya bukan karena Zira tidak percaya pada kekasihnya itu, tapi lebih kepada masih banyak pertanyaan yang belum bisa didapatkan jawabannya dari Subendra. Mengenai masa lalu pria itu adalah yang terpenting bagi Zira. Kenapa penting? Karena Zira merasakan adanya sesuatu yang belum dia ketahui sepenuhnya mengenai Subendra.

"Zira!" tegur Selfi begitu temannya tidak kunjung bicara.

"Nanti, ya, Sel. Pas gue mau cerita, pasti gue cerita."

Selfi mau tak mau memilih mengalah dan mengangguk. "Terserah lo aja, deh. Yang penting gue udah nawarin jadi tempat nampung cerita lo itu, ya, Zira."

"Hm."

Zira akan menceritakan segalanya setelah hubungannya dan Subendra lebih lama berjalan. Ini masih terlalu dini untuk diberitahukan pada semua orang terdekat Zira. Terlebih lagi ini adalah pengalaman pertamanya setelah lama sekali menyandang status jomblo. Bersikap hati-hati bukan hal yang salah, kan?

***

Sehari-hari apa pun Zira, ketika sudah mendapati pria yang dia suka berdiri di depannya dengan wajah penuh senyuman, jelas membuat Zira melupakan segala logika yang berjalan di kepalanya. Dia tidak bisa berhati-hati jika sudah di dekat Subendra. Walaupun pakaian itu-itu lagi yang dipakai oleh sang kekasih, nyatanya Zira mulai terbiasa untuk menerimanya. Toh, fashion pria itu tidak membuat ketampanan Subendra menjadi berkurang. Yang paling penting juga, ketika Zira memeluk pria itu dengan gerakan tiba-tiba, outfit sang kekasih tidak membuat otot di tubuh Subendra menjadi lembek. Justru malah semakin terasa liat dan jujur saja, Zira tidak ingin melepaskannya.

"Zira, kita masih di luar. Banyak orang."

Zira mendongak di dada sang kekasih. "Kamu harus tahu, aku lagi di fase norak senoraknya karena punya pacar. Mana pacarku ganteng pula. Jadi, aku lagi suka-sukanya kontak fisik. Karena ini pengalaman pertamaku punya cowok."

Zira tahu, kok, bahwa Subendra tidak keberatan digelendoti oleh perempuan macam Shazira Mafasa itu. Pria itu memberikan usapan lembut di kening kekasihnya dan menatap bergantian antara mata dan bibir Zira. Namun, Zira tahu bahwa Subendra menahan dirinya dengan sangat baik.

"Kamu tahu nggak, kalo kamu itu menggemaskan?" tanya Subendra.

Zira tersenyum, menjijitkan kaki untuk sekali lagi sengaja untuk menggoda kekasihnya itu. "Aku gemesin? Kayaknya cuma di mata Mas Bentot aja aku gemesin. Kalo di mata orang lain—"

Zira terkejut ketika tubuhnya diangkat dengan mudahnya dan dibawa masuk ke dalam mobil. Dia tidak menyangka Subendra akan melakukan gerakan tiba-tiba itu. Sampai ketika Zira sudah duduk di kursi penumpang di samping, dia hanya bisa termenung bertanya-tanya bagaimana mungkin Subendra sekuat itu? Badan gue diangkat, Cuy! Itu baru dibawa ke dalem mobil, gimana dibanting di kasur? Zira langsung menggelengkan kepalanya, lagi-lagi ada saja bayangan kacau yang mampir dan membuatnya geli sendiri.

"Jangan iseng lagi lain kali kalo kita diluar. Kalo tadi banyak yang lihat dan nggak suka sama kita yang sedekat itu gimana?"

Ucapan Subendra sangatlah tegas. Zira mengangguk dan menutup mulutnya segera. Perempuan itu pikir, Subendra akan lebih marah lagi. Tapi rupanya pria itu menyandarkan punggungnya ke kursi dan menutup sebagian wajahnya yang bisa Zira tangkap sangat memerah. Pria itu jelas sedang salah tingkah. Kalau begini, niatan Zira yang tadinya mau langsung manggut-manggut pasrah, malah jadi ingin semakin menjahili kekasihnya itu.

"Maaf, ya, Mas." Zira mengatakannya sembari meletakkan tangannya di dada pria itu. "Aku nggak bermaksud untuk bikin kamu malu."

Subendra mengangkat tangannya yang tadi dibuat untuk menutupi wajahnya. Lalu, menatap tangan Zira yang ada di dadanya dan wajah sang kekasih bergantian, hingga Subendra menghela napasnya karena tidak paham dengan kelakuan Zira yang memang seperti memancing kesabaran Subendra habis.

"Astaga, Zira. Bukan karena malu!"

"Terus karena apa?"

"Karena kamu—" Subendra menahan ucapannya dan menghela napas lagi.

Zira tahu kekasihnya berusaha untuk tidak mengatakan apa yang sebenarnya sudah mereka tahu. Keduanya sudah sama-sama dewasa untuk tahu bahwa hal-hal yang berbau kedekatan bisa merangkak kepada hal lain.

"Karena aku? Aku kenapa?"

Masih dengan tampang yang sengaja dibuat lugu, Zira menunggu. Subendra tampak tersiksa dan tadinya Zira bersiap untuk tertawa. Namun, ketika tangan Zira di dada pria itu ditarik hingga jarak mereka menipis, Zira tidak bisa lagi tertawa. Subendra mencium bibirnya.

Tentu saja ciuman itu bukan jenis yang menggebu dan bergerak di atas bibir Zira. Itu hanya bibir yang saling menempel saja. Tapi memang membuat Zira cukup kaget. Apalagi terjadi di hari kedua mereka berpacaran.

Ketika terlepas, Zira masih mematung di tempatnya.

"Lain kali, kalo kamu nantangin aku terus seperti tadi. Aku nggak yakin bisa nahan diri lebih dari ini. Jangan nantangin kalo nggak mau kaget dengan apa yang bisa aku lakukan sebagai pria dewasa."

Zira masih tidak tahu harus berkata apa, karena ini kemajuan yang pesat di hubungan mereka. Jadi, ketika Subendra mengemudikan mobilnya menuju kos tanpa ada satupun yang bicara, membuat keduanya menyimpulkan bahwa mereka tidak boleh saling melepaskan lagi jika tak mau canggung seperti ini. Tapi apa gue bisa nahan diri gue sendiri? Soalnya gue pikir cium bibir bakalan biasa aja, ternyata gue yang malah lebih penasaran dari Mas Bentot! 

Rahasia Dibalik Celana Mas BentotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang