Chapter 8: A date?

468 113 15
                                    


"Ini apa, Mas?" tanya Zira.

"Martabak manis."

Zira menatap Subendra untuk beberapa saat. Dia tidak ingin martabak manis. Siapa yang memintanya dari pria itu?

"Saya nggak ada minta martabak manis, deh, kayaknya."

"Iya, memang nggak. Saya yang mau belikan aja. Karena kamu udah nemuin celana saya."

Zira mengangguk-angguk seraya berkata, "Ooohhh. Tapi tadi Mas Subendra nggak tanya saya mau dibeliin apa sebagai ucapan terima kasih waktu di chat."

Ekspresi Subendra langsung pias dengan balasan yang Zira berikan. Ekspresi gugup itu tidak bisa membuat Zira menahan tawanya.

"Saya nggak tahu kamu maunya apa. Kamu nggak suka sama martabak manis, ya?"

"Saya harus jujur, saya memang nggak terlalu suka martabak manis, Mas. Bukan nggak suka sama sekali, tapi kalo harus makan sendirian, saya nggak sanggup."

Sekali lagi Zira bisa melihat raut sedih yang Subendra tunjukkan. Tak mau membuat pria itu berpikiran negatif mengenai hal tersebut, Zira tetap mengambil martabaknya dan mengajak pria itu untuk menghabiskannya bersama.

"Kita makan barengan, supaya habis."

Subendra tidak memerlukan banyak pikiran untuk menolak, dia duduk di lantai kamar Zira dengan pintu terbuka supaya tidak ada yang berpikir macam-macam pada perempuan itu. Membuka bungkus martabaknya, Zira juga menyiapkan minum untuk Subendra.

"Tapi ini nggak apa-apa, kan, Mas? Ini makin malem, Mas Subendra juga baru pulang, pasti capek banget."

"Nggak masalah. Justru saya yang harusnya tanya sama kamu begitu. Saya nggak tahu kalo kamu nggak suka martabak manis. Padahal biasanya cewek sukanya martabak manis yang topping nya banyak."

Zira tidak mengambil pusing dengan tebakan asal dari Subendra itu. Dia memilih untuk tertawa pelan sembari menggigit martabak manisnya. "Itu cewek lain yang pernah Mas Subendra kenal kali. Kalo saya, sih, nggak."

Wajah Subendra langsung kembali tegang dengan ucapan Zira tersebut. "Bukan maksud saya membandingkan kamu dengan perempuan yang pernah saya kenal, Zira. Maaf. Saya cuma terlalu minim pengalaman."

"Santai, Mas. Lagi pula, saya juga bukan pacar Mas Subendra, loh. Kenapa takut kalo saya cemburu begitu?"

Setiap pertanyaan perempuan yang semacam ini, perlu sekali diketahui bahwa itu adalah bentuk pancingan untuk mendapatkan jawaban atau kepastian dari suatu kedekatan yang membuat si perempuan berharap. Jika Subendra memang tidak begitu berpengalaman, mungkin pertanyaan tersebut memang tidak akan berpengaruh banyak.

"Ya, saya tahu. Tapi kamu sendiri juga nggak keliatan tertarik untuk punya hubungan."

Kini, Zira-lah yang menjadi terkejut dengan balasan Subendra. "Gimana, Mas?"

"Kamu santai banget waktu bahas saya di depan Kartika sebagai mas Bentot kesayangannya, kamu juga santai banget waktu bahas kalo Kartika cocok sama saya. Kamu nggak keliatan gimana-gimana kalo saya punya pacar. Giliran saya jelasin sesuatu kamu, alasannya kita bukan apa-apa."

Zira tidak mau terpancing untuk bereaksi berlebihan. Dia belum tahu yang sebenarnya akan dikatakan oleh Subendra. Kemana pria itu akan mengatakan mengenai pacar pacaran ini.

"Ya, gimana? Saya harus bereaksi kayak apa memangnya? Kan, saya memang cuma penghuni kos disini. Saya tahu Mas Subendra ganteng. Saya nggak pernah mengelak itu, tapi saingan saya banyak banget. Makanya saya sadar diri aja."

"Sadar diri untuk apa?"

"Untuk nggak berharap bisa jadi pacar Mas Subendra-lah!"

Terkadang, Zira ingin mengutuk mulutnya yang suka bicara dengan ceplas-ceplos. Namun, dia tidak bisa menjadi orang yang seperti itu. Dia mengungkapkan apa yang ada di pikiran dengan cepat. Cenderung tidak suka basa-basi. Hal itu juga menguntungkannya, tidak membuatnya menjadi orang yang tidak enakkan.

"Memang kamu ada keinginan semacam itu?"

"Semacam itu? Ya, saya maulah ke arah serius dengan lawan jenis. Umur saya ini udah 27, Mas. Kalo kata mama dan papa saya, udah pantes didandani jadi pengantin."

Menurut Zira, orang yang dewasa cenderung tidak akan tarik ulur mengenai hubungan serius. Sama seperti kakaknya yang pada akhirnya menikah dengan teman kampusnya dulu. Mereka tidak memilih banyak waktu untuk pacaran. Kata kakaknya juga tidak ada ajakan berpacaran yang romantis. Semuanya berdasarkan keinginan untuk tidak memperumit hidup mereka dengan drama ini itu. Jika Subendra juga demikian, harusnya, sih, tidak pakai basa basi seperti anak muda lagi.

"Kamu mau makan malam dengan saya, Zira?" tanya Subendra.

"Hm? Kan, kita udah pernah makan malam."

"Yang lebih proper. Makan malam yang tujuannya untuk saling mengenal, sebagai lawan jenis yang saling tertarik untuk lebih dekat."

"Kencan maksudnya, Mas?"

Subendra mengangguk. "Mau?"

"Yaiyalah, Mas, mau."

***

Dekat dengan pria yang sudah matang tidak menjamin bahwa segalanya akan mulus-mulus saja. Zira tahu, ketika dia sedang membungkus celana Subendra ke paper bag dan akan menuju rumah pria itu di hari libur kerja, jalannya tidak akan semulus itu.

"Itu celana Mas Bentot yang hilang, kan?" ucap Kartika.

"Iya. Kenapa Mbak?"

"Kamu yang simpan selama ini?"

Ucapan Kartika itu tidaklah salah. Memang Zira menyimpannya dan memberikannya pada laundry untuk dicuci bersih dan wangi. Namun, nada menuduh Kartika itulah yang salah karena dilayangkan pada Zira yang tidak mencuri atau menyimpan celana tersebut dengan sengaja.

"Kamu ini pinter bikin taktik. Kamu melakukan banyak hal untuk bisa dekat sama Mas Bentot dari awal. Kamu membuat Mas Bentot berpikir bahwa saya adalah orang yang selalu mengganggu kamu!"

Memang kenyataannya begitu. Zira memang merasa selalu diganggu oleh Kartika yang tidak bisa menahan dirinya sendiri. Tidak ada yang melarang Kartika untuk suka pada Subendra, siapa pula yang tidak akan suka dengan paras tampan Subendra? Namun, suka pada seseorang normalnya tidak memaksakan kehendak. Jika orang yang disuka ternyata tidak suka, apakah akan dipaksakan begitu saja? Kan, tidak sebegitunya!

"Saya nggak nyuri celana ini hanya untuk membuat Mas Subendra dekat dengan saya."

"Berbohong terus! Saya udah lebih lama kenal Mas Bentot, dia nggak akan langsung bisa dekat dengan seseorang kalo nggak sering berinteraksi. Kamu sengaja mencari cara untuk bisa berinteraksi sama Mas Bentot. Kamu juga mempengaruhi dia untuk melihat saya menjadi perempuan jahat."

"Saya nggak melakukan itu. Saya dekat dengan Mas Subendra karena memang takdirnya saja yang begitu, Mbak. Celana ini saya temukan—"

Kartika langsung merebut celana milik Subendra itu dan membuat Zira kesal.

"Biar saya yang kasih ini. Kamu nggak perlu kasih sendiri."

"Lihat? Siapa disini yang cari perhatian."

Kartika tampak tidak suka dengan ucapan Zira. Hampir saja dia menampar Zira, jika saja Subendra tidak datang dan mengambil celananya sendiri.

"Saya perhatikan kamu ternyata punya kecenderungan kasar, Kar. Sepertinya saya salah menilai kamu selama ini. Saya tegaskan sekali lagi, saya nggak memiliki perasaan romantis dengan kamu. Saya nggak melarang kamu suka saya, tapi tolong jangan bersikap abnormal kepada orang lain yang menarik perhatian saya. Kalo kamu masih mau tetap berada di sini, tolong kembali menjadi Kartika yang berpendidikan dalam bersikap. Kita masih bisa jadi teman, jangan paksa menjadikan kamu sebagai musuh." 

Rahasia Dibalik Celana Mas BentotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang