"Apa yang lo rasain sewaktu lo pake celana dari gue selama bertahun-tahun?"
Zira mengamati sesi tanya jawab antara Subendra dan Shanira. Dia tetap diam, meski mengutuk kakaknya yang malah iseng menggali ingatan Subendra mengenai masa lalu mereka. Zira tidak marah atau protes karena secara tidak langsung, dirinya juga penasaran dengan jawaban yang akan Subendra berikan. Dari sanalah dia bisa tahu kejujuran dan potensi move on sang kekasih sebenarnya.
"Ya, nyamanlah. Makanya aku pakai itu celana selama bertahun-tahun."
Ih! Kok, jawabnya begitu, sih, Bentot!
"Lo bayangin muka gue waktu pake celana itu? Atau lo bayangin kemaluan lo diselimuti sama mulut gue—"
"Itu berlebihan, Shanira. Nyaman yang aku rasakan nggak begitu. Otak kamu terlalu berlarian kemana-mana."
"Ya, jawab aja! Lo bayangin yang kayak gitu atau nggak?"
"Ya, nggaklah. Kita aja nggak pernah sampai gimana-gimana waktu pacaran dulu."
Shanira mencibir dengan bibirnya. "Ya, itu karena lo adalah mahasiswa cupu yang takut ambil resiko. Bahkan lo nggak protes waktu gue kasih celana cutbray. Padahal lo tahu pake celana itu emang nggak pantes buat lo. Untung aja ketolong sama muka."
Zira bergantian menatap kakaknya dan Subendra ketika bicara. Dia menjadi tahu bahwa keduanya tidak memiliki hubungan yang begitu jauh dari ucapan tersebut.
"Kalian nggak pernah ngapa-ngapain dulu?" tanya Zira tidak bisa menahan dirinya.
"Nggak. Makanya gue putusin dia setelah tiga bulan pacaran yang nggak ada kemajuan."
Zira melirik kekasihnya itu untuk menyampaikan tatapan penuh tanya. Meminta penjelasan dari sudut pandang Subendra.
"Kenapa? Aku harus ngomong apa? Seperti yang Shanira bilang, kami nggak gimana-gimana karena emang aku nggak suka macem-macem." Subendra berucap dengan apa adanya.
"Oke, lanjut!" sela Shanira.
"Lo inget kapan terakhir kali gue bilang sayang sama lo?"
Pertanyaan ini penting. Zira dan Shanira kompak mengarahkan tatapan pada Subendra yang berusaha mengingat.
"Seingetku kamu nggak pernah bilang sayang. Yang dulu selalu bilang sayang itu aku. Kamu cuma bilang ke aku kalo aku ngegemesin. Dan setelah kupikirkan begitu putus. Ternyata memang kamu bilang aku ngegemesin untuk bilang kalo aku nyebelin. Begonya dulu aku nggak tahu."
Zira meringis dengan jawaban kelewat jujur itu. Rupanya kakaknya memang pemain ulung hati laki-laki. Sudah jelas bahwa Subendra hanya dijadikan mainan oleh Shanira semasa kuliah.
"Yaudah, sih, nggak usah dijelasin begitu juga. Kesannya gue jahat banget sama lo. Padahal kita putus baik-baik, loh."
"Itu, kan, versi kamu. Sengaja nggak pernah hubungin atau ngajak ketemuan, kamu mendeklarasikan kalo udah putus sama aku ke anak kampus. Jadinya kalo ada temenku yang tanya, ketimbang malu, yaudah kujawab iya aja."
"Nah. Kamu udah disakitin kakak aku sebegitunya, kenapa kamu susah move on dari dia?!" ucap Zira dengan kesal.
"Siapa yang sudah move on? Aku itu keinget Shanira dalam diri kamu karena kalian sama-sama apa adanya. Bukan tipe cewek-cewek penuh drama yang menye-menye. Kalian juga bukan tipe yang ganjen. Kalo suka ya kejar, kalo nggak suka langsung ninggalin. Itu uniknya kamu dan Shanira. Intinya aku suka cewek-cewek yang kayak gitu. Kan, selera orang beda-beda, Zira. Kebetulan seleraku adanya di kamu dan kakakmu. Tapi kalian tetep ada bedanya. Banyak. Shanira nggak bisa masak yang enak, kamu bisa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Dibalik Celana Mas Bentot
RomanceSubendra Wiyahya, atau yang sering disapa Bentot, adalah pria low profile yang memiliki sepaket titel; mapan, tampan, dan memenuhi harapan. Setidaknya paket titel itu berlaku dan diinginkan para perempuan. Tidak terkecuali Shazira Mafasa. Zira, si...