Chapter 2: Bentot itu apa?

1.4K 155 6
                                    

Bebs, boleh follow akun instagram freelancerauthor aku untuk tahu tulisan-tulisan yang aku update setiap harinya, loh. Apalagi bagi kalian yang baru tahu lapak aku ini. 😁


Rasanya sudah puas bagi Zira untuk mendapatkan omelan dari si bapak kos. Dia sungguh tidak ingin adanya insiden semacam itu. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa diubah dari kejadian yang sudah berlalu. Yang kini bisa diubah menjadi lebih baik adalah citranya di depan bapak kosnya yang tidak mengizinkannya memanggil dengan sebutan Bentot itu.

Pagi ini, dia membuat nasi goreng untuk sarapannya sendiri. Sarapan yang juga menjadi salah satu cara bagi Zira untuk menyogok Subendra. Ya, harus cari muka. Kalo nggak, yang ada gue makin buruk dipandang sebagai anak baru di sini. Meski kemungkinan untuk bisa mengubah pandangan Subendra padanya tidak akan langsung membaik, tapi Zira harus berusaha! Mana ada perubahan yang akan terjadi jika tidak ada usaha yang kuat dari manusia itu sendiri?

Di pagi hari, dia bisa melihat bapak kosnya yang sedang olahraga sembari merawat tanamannya. Zira belum pernah melihat pria tampan semacam itu melakukan kegiatan menyiram tanaman sebelumnya. Dari jendela dapur kosnya, Zira bisa melihat si bapak kos yang terpaku sendiri. Ada untungnya kos ini menyatu dengan rumah si pemilik, sebab Zira jadi bisa memantau secara dekat apa saja yang dilakukan Subendra. Namun, tidak enaknya memang apa-apa langsung dilihat oleh si pemilik kos sendiri.

Pagi ini dia harus berhasil untuk mengambil sedikit atensi Subendra. Dia berharap dengan aroma nasi goreng buatannya yang menyerbak ini, maka bapak kosnya bisa tertarik untuk mengubah pandangannya pada Zira. Walau sebenarnya jika ditanyakan ulang di dalam kepala, kenapa dia harus susah payah melakukannya? Kalau pun Subendra mau menilai Zira dengan buruk, itu haknya masing-masing. Tidak ada yang bisa mengatur opini seseorang terhadap diri kita sendiri. Termasuk Subendra yang mungkin tidak akan mempan disogok dengan kebaikan apa pun karena memang Zira sudah melakukan kesalahan.

Zira yang sedang berperang di dalam dirinya sendiri mengenai optimisme untuk membuat Subendra menilainya baik, dan sisi pesimisnya mengatakan percuma saja, terkejut ketika sebuah suara cukup dekat bicara padanya.

"Mbaknya bisa masak juga ternyata."

Apa katanya? Mbaknya bisa masak juga ternyata? Dia pikir aku ini perempuan manja yang nggak bisa tugas rumah?

Zira secara perlahan menoleh, dia yang tadi kesal dengan pertanyaan menyulut emosi itu langsung merasakan kepalanya mendingin karena ketampanan yang Subendra miliki. Tentu saja bagian wajah pria itu dan tubuhnya yang sukses dipahat dengan otot-otot lah yang membuat Zira langsung tenang. Sebab jika melihat kaus putih dan celana khas Babeh-Babeh di serial sinetron Si Doel, Zira langsung sakit kepala melihatnya.

Ini orang emang cuma menang ganteng sama otot. Selera fashionnya ngaco bener!

"Eh ... Mas Subendra. Habis olahraga, ya?" Basa basi Zira.

"Kenapa pagi-pagi sibuk bikin sarapan? Anak kos yang lain langsung beli sarapan di depan komplek perumahan."

"Oh, lebih suka masak, Mas. Lebih irit soalnya."

Subendra tampak mengangguk-angguk. "Bahan masakannya disimpen di kulkas?" tanya pria itu.

"Iya, Mas."

"Disimpen yang rapi dan kasih nama. Tahu sendiri kadang ada aja anak kos yang nggak bisa jaga sikap karena udah tabiatnya. Mbaknya harus yang mawas diri aja kalo merasa lebih waras."

"Iya, Mas."

Sekali lagi, Zira secara otomatis bereaksi untuk menunduk seperti anak anjing ketika dimarahi oleh majikannya karena berbuat salah. Tapi kan gue nggak ngelakuin kesalahan dengan bikin sarapan pagi-pagi. Eh? Apa dia nggak suka gue pake gas? Kalo beneran, nih orang ganteng tapi problematik!

"Oh, iya. Nama mbaknya siapa? Dari semalam lupa nanya."

Meski terhitung terlambat, Zira menjawab dengan cepat saja. "Shazira Mafasa, panggil Zira, Mas."

"Mbak Zira, jadi itu salah satu informasi dengan kos disini. Terus bagi kos perempuan ada aturan jam malam, Mbak. Jam 12 itu mentok nggak boleh ada aktivitas keluar kos atau baru datang. Kalo baru datang, gerbang saya kunci pakai gembok tersendiri. Terus ada aturan nggak boleh bawa lawan jenis seenaknya, kecuali saudara. Itu pun harus dengan pembuktian KK dan KTP. Harusnya tindakan seperti yang Mbak Zira lakukan semalam itu saya kenakan sanksi, tapi karena Mbaknya masih baru, jadi saya nggak perpanjang."

Zira mengangguk dan mematikan kompor setelah nasi gorengnya matang. Subendra masih senantiasa bicara panjang mengenai aturan di kos tersebut. Zira tahu banyak mengenai aturan di kos itu, kok. Karena Selfi selalu mengatakan tanpa disadari. Zira membagi nasi gorengnya di dunia piring dan menyedihkan kopi untuk Subendra.

"Nih, Mas Subendra. Sebagai permintaan maaf saya yang udah sembarangan melanggar aturan semalam. Tolong diterima. Ini bukan sogokan, ini permintaan maaf. Oke? Saya mau bawa sarapan saya ke kamar nunggu adem dan akan saya makan setelah saya mandi. Makasih bantuannya untuk nggak memperpanjang yang semalam, Mas. Saya permisi. Selamat makan."

Zira meninggalkan Subendra dengan hati yang lebih lega. Dinilai lebih baik atau tidak, Zira tidak mau ambil pusing, itu urusan masing-masing. Yang penting dia ada niatan meminta maaf atas tindakannya semalam.

***

"Mas Bentot itu sebenernya singkatan dari apa, sih, Sel?"

Hal pertama yang Zira tanyakan pada temannya itu adalah mengenai asal-usul panggilan Bentot yang tampaknya cukup sensitif untuk didengar oleh Subendra.

"Mas Bendra berotot. Kenapa gitu nanyain artinya?" balas Selfi yang sudah sibuk membuka permen cokelatnya.

"Cuma boleh dipake orang yang deket sama dia doang, ya?"

Selfi mengangguk sambil membuka komputernya dengan mulut yang dipenuhi sensasi manis dari permennya. "Cuma boleh orang deket soalnya dia pernah nggak sengaja denger lawakan anak kos soal nama panggilannya itu."

"Lawakan namanya? Apaan?"

Selfi menoleh pada Zira dengan mata menyipit. Dia menatap ke sekitar lebih dulu dan ketika sudah menyadari suasana masih begitu lowong karena belum banyak pegawai yang datang, Selfi menarik kursi Zira mendekat untuk membisikkan kalimat yang sejujurnya lebih baik tidak Zira ketahui sekalian. Sebab sekali tahu, pasti akan terngiang-ngiang.

"Mas Bentot dipelesetin sama anak kos jadi singkatan dari Bendra enak dient*t."

Sontak saja Zira langsung mendorong kursinya menjauh dari Selfi. Seakan jijik sendiri dengan temannya itu.

"Apaan, sih, Zir? Gue nyampein apa yang pernah anak kos omongin aja. Bukan gue yang bikin julukan pelesetan itu. Kenapa lo pasang muka seolah nuduh gue yang kasih julukan begitu?"

Zira menggelengkan kepala berusaha untuk menghilangkan julukan yang bukan sebenarnya itu dari kepalanya. Namun, bayangan wajah tampan dan otot lengan Subendra berkelebatan begitu cepat. Bego! Kenapa kebayang?

"Nah, nah, kan! Habis begitu lo kepikiran mau tahu beneran Mas Bentot enak buat di—"

Zira membekap mulut Selfi dan mendorongnya untuk menghentikan ucapan temannya yang brutal jika dibiarkan itu.

"Udahlah, gue nggak main dipandang makin buruk sama Mas Subendra. Lo mendingan nggak usah bahas punya Mas Bentot—eh Mas Subendra! Udah ada lakik lo itu, Sel!"

"Hm ... gue sih udah menikmati punya lakik gue sendiri, ya. Jadi nggak penasaran. Sama-sama batangan ini. Kan, lo tuh yang masih jomblo plus nggak pernah pacaran. Suci bener lo, Zir. Pasti lo yang bertanya-tanya soal Mas Bentot."

"Sialan, Selfi! Mulut lo nggak ada filternya gila!"

Bukannya merasa bersalah, Selfi malah tertawa terpingkal dengan respon Zira yang malah resah sendiri.

"Santai, Zir. Ini baru pembahasan aja, kok. Bukan menentukan tanggal praktek sama Mas Bentot."

Memang sialan temannya yang kelewat jujur itu. Kalau begini, pikiran Zira sudah terkontaminasi oleh vulgarnya pikiran Selfi. 

Rahasia Dibalik Celana Mas BentotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang