"Nak Bendra?"
Subendra tidak tahu bahwa dia akan mendapatkan kejutan dari ayah Zira yang tiba-tiba saja muncul di depan pintu belakang rumahnya. Semula Subendra mengira bahwa yang datang adalah orang dari laundry untuk mengirimkan pakaian pria itu yang memang sengaja tidak dicucinya sendiri. Subendra belakangan ini jadi malas untuk berada di rumah dan lebih sering berada di toko sampai malam. Dia tidak bersemangat karena ketika kembali ke rumah dia ingat bahwa Zira tidak berada di sana. Semangatnya kacau sekali dengan ketiadaan Zira.
"Om? Ya ampun, masuk-masuk!"
Ayah Zira lebih dulu mengangguk, dan Subendra membukakan pintu garasinya agar pria tua itu memarkirkan motor bebeknya lebih dulu.
"Kenapa malah Om yang ke sini? Padahal kalo ada yang mau disampaikan, bisa langsung telepon saja."
"Ish! Masalah beginian kalo dibahas di telepon nggak akan bisa dipahami gitu aja. Lebih nyaman kalo dibahas langsung."
Subendra tahu bahwa dia akan menghadapi situasi semacam ini. Ayah Zira pasti mengetahui sesuatu melalui gelagat Zira yang tidak pernah kembali ke kos. Orangtua seperti ayah Zira ini pasti akan memiliki kecurigaan yang berlebihan mengenai nasib hubungan putrinya.
"Om duduk dulu, saya siapkan sesuatu dulu."
"Eh, nggak usah. Kamu bisa apa di dapur?"
Subendra tidak merasa bahwa itu adalah kalimat merendahkan. Justru itu adalah pertanyaan yang Subendra harus jawab agar calon mertuanya tidak meragukan kemampuannya sebagai seorang pria yang masih saja dinilai tidak perlu menguasai urusan dapur. Padahal, semua itu penting untuk dipelajari. Agar apa-apa tidak menyuruh istri.
"Saya bisa masak, walaupun nggak jago, Om. Saya udah terbiasa mengurus kebutuhan rumah sendiri. Masak adalah hal yang sering saya pelajari untuk bisa bertahan dan nggak kebanyakan jajan diluar. Masak sendiri lebih irit."
"Ya, bener juga. Masak memang lebih irit. Tapi itu nggak berarti kamu nggak mau mengeluarkan uang lebih untuk anak saya kalo udah jadi suami, kan?"
Subendra menggelengkan kepala dan tertawa pelan. "Nggak, Om. Saya kerja keras dari sekarang memang untuk anak istri saya."
Ayah Zira tampak menghela napas lega. Dia tidak melarang Subendra lagi untuk berkutat di dapur. Pria tua itu menunggu secangkir kopi datang dan cemilan yang memang selalu ada di meja, serta brownies yang dibawa pulang Subendra semalam dari hasil percobaan pastry yang akan dipasarkan di tokonya.
"Dicicip, Om."
Ayah Zira menghormati suguhan yang Subendra berikan dengan menikmatinya. Pria itu mengangguk-angguk seolah mengakui kemampuan Subendra membuat kopi.
"Enak ini. Pantes kamu jualan kopi."
Subendra tersenyum kecil. "Itu kopi yang saya pelajari dari ibu saya kalo bikinin buat bapak saya. Ternyata laku juga. Tapi yang saya jual menu utamanya bukan kopi, loh, Om. Lebih ke jus sehat. Yang beli kopi pun juga nggak terlalu banyak. Karena perempuan biasanya nggak banyak yang mau ngopi."
"Oh, iya itu. Saya punya tiga perempuan di rumah, tiga-tiganya nggak ada yang ngopi. Nggak ada temennya saya. Punya mantu satu juga nggak suka kopi. Anak orang kaya, dari kecil, belinya teh. Apa, ya? Teh yang mahal itu. Yang sekali pesan hampir satu juta."
Pria itu menepuk jidatnya seolah dunia akan berakhir ketika menantunya membeli teh yang bisa membeli emas satu gram.
"Ya, saya tahu sih saya bukannya saya orang miskin. Tapi saya nggak sekaya itu. Perbedaanya terlalu mencolok. Tapi, ya ... anak saya cinta. Mau diapakan lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Dibalik Celana Mas Bentot
RomanceSubendra Wiyahya, atau yang sering disapa Bentot, adalah pria low profile yang memiliki sepaket titel; mapan, tampan, dan memenuhi harapan. Setidaknya paket titel itu berlaku dan diinginkan para perempuan. Tidak terkecuali Shazira Mafasa. Zira, si...