Chapter 1: Anak kos baru

1.9K 202 15
                                    

Ini adalah cerita yang u ikut sertakan dalam event Merdeka @Karospublisher bersama beberapa penulis lainnya. Cerita ini diunggah mulai tanggal 17 Agustus sampai selesai. Akan diunggah setiap hari dan tamat di Wattpad, ya. Jadi, untuk kalian yang udah kangen baca tulisanku utuh di Wattpad. Silakan simpan cerita ini di Library. Jangan lupa kasih vote dan komentar untuk bisa memompa semangatku menulis. Happy reading.


Selfi meletakkan kunci kamar kosnya yang belum sempat dikembalikan kepada Shazira Mafasa. Tanpa merasa bersalah sama sekali Selfi berkata, "Ini gue titipin ke lo, ya. Sorry banget karena nitipinnya langsung ke lo yang baru mau pindah. Kalo bukan karena urusan nikahan gue, pasti gue sisain waktu, deh. Gue lebih rela ketemu langsung sama Mas Bentot yang ganteng soalnya."

Sesungguhnya Zira tidak tahu seganteng apa Bapak kos yang Selfi katakan berulang kali itu. Dia hanya sedang ingin mendapatkan kamar kos baru dan kebetulan Selfi yang mau menikah secara otomatis tidak memerlukan kamar kosnya lagi.

"Anyway, ini nggak apa-apa? Masalahnya gue belum ketemu sama bapak kosnya."

"Udah santai aja. Langsung kesana kalo lo beneran seniat itu sama kamarnya. Soalnya gue yakin itu kamar nggak akan bertahan lama kalo lo nggak buru-buru."

"Seganteng itu? Sampe kamar kosnya buat rebutan cuma karena bapak kosnya?"

Selfi tanpa ragu menganggukan kepalanya dan membuat Zira makin penasaran. Ganteng menurut gue sama Selfi dan perempuan lainnya bukannya beda-beda, ya?

***

"Permisi!"

Zira sudah menekan bel si pemilik kos sesuai dengan tulisan yang tertera di sana. Namun, masih belum ada yang keluar juga. Lebih menyebalkannya lagi, Zira juga sudah berteriak supaya bisa membuat si pemilik kos keluar. Karena tidak kunjung mendapatkan respon, Zira akhirnya memencet tombol yang berada di atasnya. Zira bisa melihat ada orang yang muncul dari pintu pembatas besi di atas dan menatap Zira.

"Cari siapa, Mbak?" tanya pria tidak dikenalnya itu.

"Mas yang punya kos?"

"Bukan. Bapak kosnya bukan saya."

"Boleh panggilan yang punya kos, Mas? Saya butuh kamar kos ."

"Pencet bel yang bawah aja, Mbak. Itu nyambung sama rumah yang punya kos."

"Udah, Mas. Tapi nggak ada yang keluar."

"Oh. Mungkin lagi ke gerainya."

Zira kesal karena penghuni kos itu tidak memberikan solusi sama sekali. Akhirnya Zira hanya bisa mengangguk sopan saja. "Oh, yaudah, Mas. Makasih, ya."

Zira rasa dia tidak bisa bersabar untuk mendapatkan kamar kos yang dulu dipakai Selfi. Jika menurut temannya itu kamar kosong akan segera dicari, maka bukankah dia wajar untuk memanfaatkan orang dalam? Kunci cadangan yang tadi Selfi titipkan ketika di kantor masih ada di dalam tasnya. Terlintas dalam pikiran Zira untuk menggunakannya sebagai fasilitas orang dalam yang memang ditakdirkan untuknya.

"Selfi bilang ini kunci gerbang depan. Berarti nggak bisa dipake buka pintu ini. Gue harus muter ke depan berarti."

Ini sudah malam, Zira tidak bisa menunggu lebih lama tanpa kepastian yang diberikan si Bapak kos. Satu-satunya kepastian yang bisa dirinya lakukan adalah menggunakan motor matic-nya untuk berputar ke gerbang depan dan menggunakan kunci cadangan milik Selfi untuk bisa memasukkan beberapa barang untuk istirahat malam ini. Iya, Zira nekat langsung masuk karena dia tidak memiliki uang untuk menyewa hotel lagi. Meski jika dia menelepon ayahnya atau sang kakak akan langsung dikirimkan uang, tapi dia sudah dewasa. Please lah, gue udah 27 tahun. Masa minta kiriman ortu terus? Yang ada malah makin dicerewetin kayak anak kecil.

Tanpa pikir panjang, Zira membuka gerbang depan khusus kamar kos putri dengan kunci tersebut. Lalu, dia memarkirkan motornya di dalam agar aman. Setelahnya, Zira mengambil tas mudik berisi pakaiannya dari bagian depan motor untuk dibawa ke kamar nomor 7 bekas Selfi. Diam-diam Zira meminta maaf pada si pemilik kos dan berterima kasih pada Selfi yang menitipkan kunci cadangan hingga dia bisa membuat keputusan dadakan yang tidak bisa dikatakan baik.

Zira merapikan tas miliknya dan mengeluarkan beberapa kebutuhan pribadi dari pouch, yang harus dilakukannya lebih dulu adalah membersihkan diri. Setelah itu dia akan mencari si pemilik kos untuk bicara baik-baik.

Namun, rencana tinggalah rencana, sebab ketika dia mandi dan mencari keberadaan celana dalamnya, justru kain penutup krusial itu sudah terjatuh di lantai kamar mandi yang basah.

"Sial!" makinya.

Kejadian seperti ini memang akan sering terjadi pada orang-orang yang lebih suka berganti pakaian di kamar mandi dan menggantungkan baju bersih mereka begitu saja. Tragedi begini memang tidak mengherankan akan terjadi.

Maka dengan segala rasa kesal, dia membelikan handuk untuk keluar dan mengambil celana dalam yang baru. Meski tak suka, Zira harus tetap melakukannya jika tak mau merasa tidak nyaman.

Kakinya baru saja menginjak lantai dan dia tidak sempat membuka tas ketika seorang pria sudah membuka pintu kamar kos Selfi dan mendapati Zira yang tidak dalam kondisi pantas untuk dilihat.

Kata sialan untuk kedua kalinya muncul dari Zira, tapi kali ini bedanya dia mengatakannya di dalam hati yang tidak bisa didengar siapa pun selain dirinya sendiri. Namun, dia tahu bahwa sekarang bukan lagi saatnya dia mengumpat di dalam hati, melainkan dia harus mengumpet supaya tidak memperlihatkan tubuhnya yang hanya dibalut handuk saja!

"Pake dulu bajunya, Mbak. Saya tunggu di luar, gimana caranya Mbak bisa masuk ke kos saya sembarangan." Pria itu berucap tanpa menoleh lagi pada Zira.

***

Bego, bego, bego! Zira senantiasa untuk memaki dirinya sendiri yang melakukan cara seperti ini. Memang, ya, setiap tindakan itu selalu ada risiko yang menanti, apalagi tindakan Zira yang termasuk perbuatan buruk dan bahkan bisa saja menjadi kriminal jika si pemilik kos memperkarakan ini ke pihak yang berwajib.

"Jadi, Mbaknya ini dapet kunci cadangan dari Mbak Selfi? Terus main masuk ke kamar kos karena punya kuncinya?"

Zira mengangguk dengan pasrah dan hanya bisa lebih sering menunduk ketibang mengamati penampilan pemilik kos yang dapat Zira katakan norak. Sekali melirik, Zira bisa mendapati bahwa selera fashion is Bapak kos itu tidak bisa ditolong kecuali dengan tampilan wajahnya saja. Iya, sesuai dengan apa yang Selfi katakan, Bapak kos ini memang tampan. Jika tidak tampan, tampilannya yang menggunakan celana jeans cutbray dan kemeja lengan pendek sampai siku dan dimasukkan ke dalam pinggangnya sudah sangat memalukan.

"Mbak? Kenapa malah bengong?"

Gimana nggak bengong mikirin penampilan bapak kos yang GGS alias ganteng ganteng sangat norak.

"Mbak!" seru si pemilik kos.

"Eh? Iya, maaf, Pak—eh Mas?"

Pria itu hanya menghela napasnya dan memilih untuk membahas hal lain ketimbang mempermasalahkan panggilan dari Zira.

"Jadi, ini gimana? Mbak ini mau pakai kamar kos seenaknya saja?"

"Nggak, dong, Mas. Saya ini memang mau gantiin Mbak Selfi. Makanya saya udah bawa beberapa barang pribadi. Barang untuk kebutuhan mandi, sih. Kalo tadi Mas nggak asal masuk, saya pasti ganti baju dulu dan dateng ke Masnya untuk bicara baik-baik duluan. Tapi udah keburu—"

"Intinya Mbaknya mau ngekos disini, kan?"

"Eh, iya. Itu intinya."

"Yaudah. Saya nggak mau ada drama berkepanjangan malam-malam begini. Saya kasih tahu syarat dan ketentuannya besok saja. Jadi silakan istirahat, Mbak."

"Oh, iya-iya. Saya balik ke kamar kalo begitu, Mas Bentot."

Zira baru saja merasa suasana tenang, tapi rupanya dia mendapatkan tatapan tajam dari bapak kosnya itu.

"Subendra. Nama saya Subendra. Nggak semua orang bisa panggil saya Bentot."

Eh? Galak kali laki-laki ini. Untung mukanya ganteng. 

Rahasia Dibalik Celana Mas BentotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang