Chapter 14: Agak gila

898 135 17
                                    


"Bitchhh!"

Shanira menyerukan kata-kata kasar di dalam rumah orangtuanya ketika sedang berkunjung.

"Nira! Stop kamu teriak-teriak begitu di dalam rumah."

Shanira hanya mengangguk-angguk pada mamanya yang tidak akan pernah berhenti memperingatkan Shanira dalam melakukan segala hal. Karena Shanira adalah anak pertama yang memang nyeleneh.

"Iya, Mama."

Shanira mendekati mamanya dan mencium pipi wanita itu. Tidak peduli dengan gerakan cepat mamanya yang langsung mencubit bokongnya. Sudah setua itu pun Shanira masih diperlakukan selayaknya anak kecil. Uniknya, bukannya mengelak diperlakukan demikian, Shanira malah suka. Kata kakaknya itu, jika masih diperlakukan seperti anak kecil ketika di rumah, itu adalah surga. Sebab ketika sudah mengurus rumah sendiri, Shanira mau tidak mau harus menjadi pribadi dewasa yang segala kesulitannya dimakan sendiri.

"Udah nikah aja kamu masih begini. Gimana nanti suamimu, Nira?"

"Yaelah. Aku nikah sama Varaz udah empat tahun, loh, Ma. Dia bukan lagi cuma kenal aku yang begini. Tanya aja sama orangnya kalo nanti jemput, pasti dia bilang aku nggak begini kalo jadi istri di rumah."

"Nggak ngerti, deh! Mama nggak paham sama anak-anak perempuan kayak kalian. Nggak tahu anak perempuan Mama aja yang kayak kalian atau di luar sana memang begini."

Shanira membiarkan mamanya untuk mengerjakan tugasnya lagi. Lalu, tatapannya terarah pada sang adik yang makan dengan televisi yang menyala. Jika sudah begini, tidak lengkap rasanya jika tidak mengganggu kegiatan apa pun yang adiknya lakukan.

"Lo gue panggil dari tadi nggak nyaut, sih, Bitch?"

Zira melirik kakaknya dengan kesal. "Sialan! Emang gue apaan lo panggil batch bitch batch bitch? Kakak nggak tahu normal berkeluarga emang lo, ya!"

Shanira tertawa dengan balasan sang adik yang sewot. Perempuan itu mengambil sendok milik Zira dan menyendokkan makanan yang ada di piring adiknya untuk dicoba.

"Kok, enak?"

"Emang kalo makan mie bikinan orang lain itu lebih enak, bego. Giliran bikin sendiri lo nggak mau."

Shanira kembali tertawa, tidak terpantik untuk marah-marah pada adiknya yang sewot sekali hari ini.

"Demen banget gue kalo lo marah-marah begini. Ditambah lagi kata Mama lo nggak ke kosan, milih pulang pergi dari kantor ke rumah. Gue yakin ada sesuatu. Mama nggak mau cerita sesuatunya apa. Dia cuma bilang lo kepo sama masa jahiliyah gue. Bener, Dek?"

"Nggak kepo. Cuma mau tau aja. Pengalaman lo soalnya lebih banyak dari gue."

"Jadi, ini soal pacar, ya? Perdana banget, loh ini. Setelah 27 tahun dilahirkan ke dunia yang fana ini, setelah di usia gue yang kelima tahun Mama membuat gue kesel setengah mampus karena ketakutan bakalan nggak disayang lagi. Setelah banyaknya drama gue pacaran dari jaman sekolah dan lo kadang suka ngintilin ikut gue pacaran jadi obat nyamuk. Akhirnya ada fase juga lo punya pacar sendiri, Dek."

"Demi apa pun, Kak, lo manusia yang agak gila tahu nggak? Bisa nggak, sih, gue tukeran kakak sama Kak Ros aja? Kayaknya Kak Ros lebih mending."

Shanira memanjangkan telunjuknya dan mendorong bibir Zira hingga kepalanya menjadi ke belakang saat akan menyuapkan mienya ke dalam mulut.

"Bangsat, ah, Shanira!"

"Dengerin gue, Dek. Lo jangan berharap Kak Ros lebih baik daripada gue. Upin sama Ipin aja sebel punya kakak kayak Kak Ros. Mereka pengennya punya kakak kayak Bang Iz. Padahal ujungnya tuh dua bocah pala tuyul nyesel karena nggak bersyukur punya kakak kayak Kak Ros. Lo! Sebagai adik yang mulai-mulai membandingkan gue dan sosok kakak dua dimensi, lo bakal nyesel karena nggak bersyukur punya kakak kayak gue."

Zira sungguh bingung bagaimana menghadapi kakaknya ini. Memanglah Shanira agak gila. Cocoklah. Kakaknya agak gila, adeknya murahan. Nah, kan, gue jadi kepikiran kecewanya gue ke Mas Bentot!

"Lo beneran berantem, ya?" ucap Shanira yang mendapati adiknya tidak lagi bersemangat.

"Dikatain murahan sama pacar sendiri ... pantes nggak, sih, gue bertahan?"

Mata Shanira membelalak dengan ucapan sang adik.

"Lo ngelakuin apa sampe dikatain murahan?"

Zira lebih dulu menjelajah pandangan, memastikan mamanya tidak ada di sekitar mereka. Meski sepi, tapi Zira tetap tidak tenang jika membicarakan hal ini di ruang tengah. Dengan cepat Zira membawa piringnya dan menarik tangan kakaknya untuk ke kamar. Begitu sampai di kamar, Shanira mengamati gerak gerik adiknya itu.

"Kenapa, sih? Separah apa sampe nggak mau Mama denger?"

Zira duduk lebih dulu di pinggir ranjang. Menatap kakaknya dan memulai ceritanya secara rinci kepada kakaknya. Shanira tidak menyela, meski agak gila, kakak Zira itu tahu bagaimana menjadi pendengar yang baik. Makanya Zira menyayangi kakaknya itu dengan sangat.

"Hm ... ini kasusnya agak berat, ya. Masalahnya, kalo gue yang jadi lo, Dek, gue nggak bakal mau balik, sih. Putus aja udah. Tapi gue, kan, tipe yang punya banyak cadangan. Tapi kalo diliat dari kasus lo, ini kalian dua-duanya anak baik, nih. Anak mama banget. Yang laki nahan diri buat nggak kebablasan, tapi ucapannya nyakitin. Yang cewek agak tolol, karena nawarin diri padahal harusnya jual mahal."

"Shanira!" protes Zira.

"Gue serius. Lo bego. Itu laki lo alim, Nyet! Tapi, ya, agak naif juga sih. Gue nggak mewajarkan pacaran harus have sex, tapi masalahnya yang namanya pacaran pasti ada geli-gelinya kalo udah sekali sentuh satu sama lain. Gue tahu, kok, rasanya jadi cewek yang berusaha nggak jaim. Tapi kalo lakinya responnya nggak sesuai ekspektasi, mendingan nggak usah nekat, Dek. Kan, jadi lo yang keliatan murahan beneran. Duh, susah, bocil baru ngerasain pacaran pas dewasa!" Shanira menepuk jidatnya ketika mengatakan hal tersebut.

"Terus gue harus gimana, Kak? Masa gue harus putus?"

"Ih, kalo itu, sih gue nggak bisa komen. Keputusan balik lagi ke lo. Lo cinta nggak sama dia? Kalo dipikir lagi, itu laki jarang juga yang kayak gitu. Dia ngejaga lo banget. Eh, tapi dia ada hubungin nggak? Kalo abis ngatain lo murahan, dianya nggak nyesel atau minta maaf. Berarti dia nggak secinta itu sama lo. Kalo nggak cinta dan nggak mau nyentuh lo lebih jauh, kemungkinan besar homo, sih."

Zira tidak tahu apa-apa mengenai itu. Dia mematikan ponselnya sendiri selama beberapa hari ini. Zira juga selalu pulang di jam-jam yang bisa dikatakan lebih awal karena tak mau kemungkinan bertemu dengan Subendra. Ada rasa malu dan marah yang menjadi satu. Yang membingungkan adalah Zira tidak tahu bagaimana cara menghadapi Subendra jika mereka bertemu.

"Zira! Malah bengong, sih? Ditelepon nggak?"

"Nggak tau. Gue nggak pake hape itu. Gue pake hape kantor buat kontakan sama temen kerja aja. Gue beneran menghindar. Rasanya nggak siap aja ketemu sama dia, malu gue. Tapi gue juga kesel sama omongannya malem itu."

Zira mengusap wajahnya dengan frustrasi.

"Kasih balasan lah. Lo balik ke kosan, tapi mulai sekarang jangan pake gaya pacaran kayak gue. Pake gaya pacaran paling sopan. Tapi kalo Lo nggak nyaman dan nggak bisa jadi diri sendiri, mending bubaran aja. Cari yang lain. Jangan kayak nggak ada stok lain."

Ditatapnya sang kakak yang begitu santai mengucapkan hal tersebut. Meski tidak setuju dengan ide putus itu, tapi ucapan Shanira ada benarnya. Untuk apa pacaran dengan seseorang yang tidak bisa membuat Zira menjadi diri sendiri? Pura-pura tidak akan membuat segalanya lebih baik. Namun, Zira tahu dia dan Mas Bentot memang memiliki magnet tersendiri yang tidak bisa ditolak begitu saja. Masa iya, putus karena hal sepele begitu? Kalo dipikir lagi, gue juga yang salah karena kegatelan pengen disentuh.

"Anyway, lo dari tadi cerita tapi nggak ada sebut namanya. Siapa, sih, pacar lo yang green screen itu?"

"Nanti aja gue kenalinnya kalo emang serius. Kalo ternyata bukan jodoh gue, malah males. Nanti lo bakalan tahu juga. Tapi, itu istilah apaan green screen?"

"Ya, kalo cowok baik sekarang ini kan disebutnya green flag. Baik bangeeett, green forest. Nah, kalo cowok lo kita belum tahu, nih. Beneran baik sedalem-dalemnya atau cuma di depan layar doang."

Zira hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa menandingi kakaknya yang memang luar biasa itu. Yang harus dia pikirkan adalah bagaimana menghadapi Subendra mulai besok, karena Zira tidak bisa diam-diam terus begini. 

Rahasia Dibalik Celana Mas BentotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang