Subendra memang harus mendapatkan banyak luka untuk bisa mendapatkan kesempatan memperjuangkan hubungannya dan Zira lagi. Dia yakin bahwa setiap hal yang memang sangat berarti memang harus diperjuangkan dengan cara yang tidak akan bisa dibayangkan. Meski ayah Zira mendukungnya tetap saja pukulan yang diberikan oleh pria itu tetap dari hati. Terasa, kok, pukulan pura-pura yang memang hanya sebatas untuk memenuhi skenario, dengan pukulan yang dijadikan alibi saja padahal ayah Zira mungkin memang ada sisi kesalnya setelah mendengar banyak informasi dari Subendra sendiri.
Sekarang, sudah saatnya Subendra berjuang dengan lebih jelas dan keras untuk Zira. Dia mengambil waktu untuk mengajak bicara Zira serta Shanira. Bertiga mereka akan bicara mengenai perasaan apa yang mereka punya.
"Ngapain kamu ajak bicara kakak aku?" protes Zira. "Bener, kan, ternyata? Kamu itu belum bisa move on dari kakakku?! Ngapain kamu bilang kalo kamu beneran cinta aku karena aku, bukan karena inget Shanira! Aku nggak mau ikut—"
Subendra mau tidak mau menggunakan cara yang sebelumnya tidak pernah dia lakukan untuk membuat Zira diam. Perempuan itu diam dalam hitungan detik dengan Subendra mencium bibir sang kekasih. Memang hanya itu yang bisa membuat Zira diam. Karena jika Subendra menggunakan tangannya untuk membekap mulut Zira, maka perempuan itu akan mengamuk sekuat tenaga.
"Dengerin dulu, jangan langsung marah-marah."
Zira membalas dengan nada yang pelan, "Yaudah jelasin."
"Aku ajak kamu untuk bicara bertiga untuk membuat kamu sepenuhnya yakin mengenai perasaanku dan Shanira udah nggak ada untuk satu sama lain. Kami nggak punya rasa semacam itu lagi, Zira. Jadi, kita harus bicara bertiga, enam mata. Supaya kamu bisa lihat sendiri apakah yang aku bilang itu beneran atau nggak menurut kamu. Karena biasanya orang bisa dilihat kejujurannya dari tatapan mata dan gestur tubuhnya. Supaya kamu bisa dengar sendiri apa aja yang aku bicarakan juga dengan Shanira. Aku nggak mau mengulang kesalahan yang sama. Aku ingin membuka segalanya tanpa ada yang perlu ditutupi. Aku dan kamu saling percaya, itu yang ingin aku bangun untuk hubungan kita ini."
Zira masih tampak terdiam. Subendra tidak tahu apa yang sekarang ada di dalam kepala perempuan itu. Apakah ada hal yang masih mengganggu sampai Subendra akan dipandang salah lagi ketika hendak melakukan hal terbaik dengan buka-bukaan mengenai perasaannya yang sudah tidak ada untuk Shanira.
"Zira? Apa aku salah lagi mengambil langkah ini?"
Zira menggelengkan kepala pelan.
"Terus? Kenapa kamu keliatan nggak siap?"
"Karena aku udah bersikap kekanakan kalo mikir kalian masih saling menginginkan. Padahal jelas-jelas kak Shanira cinta banget sama suaminya. Aku ... sejujurnya malu dengan ngomong bertiga."
Subendra menggenggam tangan sang kekasih untuk memberikan dukungan pada Zira. Meski seharusnya yang mendapatkan dukungan adalah pria itu sendiri. Sebab mengumpulkan nyali untuk bicara dengan mantan kekasih dan kekasihnya bukan hal yang mudah.
"Bukan kamu yang harusnya malu, tapi aku. Aku malu karena aku bodoh banget nggak bisa tegas dengan perasaanku sejak awal. Padahal aku tahu, yang aku inginkan adalah kamu. Bukan Shanira. Harusnya dari awal kamu minta kejelasan soal celana itu, aku udah bisa langsung jawab bahwa aku memang menginginkan kamu. Kalo aku menginginkan Shanira, dari awal aku udah pasti ngejar Shanira sampai keluarga kalian tahu aku adalah penggemar Shanira."
"Bayangin itu sekarang malah bikin aku pengen patahin leher kamu, Mas."
Sontak saja Subendra langsung memegangi lehernya. "Jangan, Sayang. Nanti kalo kita ciuman—"
Zira langsung berdiri dan berjalan menuju mobil Subendra. Dia masuk ke dalam tanpa mau mendengarkan celotehan kekasihnya lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Dibalik Celana Mas Bentot
RomanceSubendra Wiyahya, atau yang sering disapa Bentot, adalah pria low profile yang memiliki sepaket titel; mapan, tampan, dan memenuhi harapan. Setidaknya paket titel itu berlaku dan diinginkan para perempuan. Tidak terkecuali Shazira Mafasa. Zira, si...