Bagi Subendra dia sudah banyak menyesali apa yang dilakukannya malam itu. Dia sudah berkata dengan berlebihan pada Zira, mengatakan bahwa perempuan itu bersikap seperti wanita murahan. Dia tidak bermaksud untuk menyatakan demikian. Subendra hanya tidak bisa membiarkan dirinya menyentuh Zira lebih jauh. Dia sedang berusaha saat itu. Menahan segala hal gila di kepalanya untuk dilakukan bersama Zira. Namun, output yang muncul malah seperti itu. Dia benar-benar tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena apa yang dikatakannya pada Zira.
Sudah hampir satu minggu dan Zira belum juga kembali ke kos. Dia sudah bolak balik mencari tahu apakah kekasihnya itu sudah kembali atau belum. Dia mau tak mau berjalan ke deretan kamar kos putri yang tidak biasanya dia lakukan. Karena Subendra tak mau para penghuni tidak nyaman dengan apa yang dilakukannya. Semenjak dia dan Zira menjadi sepasang kekasih, jarang sekali Subendra berpatroli begini. Sebab biasanya Zira juga langsung masuk ke rumah pria itu.
"Mas Bentot?"
Subendra menoleh ketika dia sedang mengambil plastik sampah yang sebenarnya belum terisi penuh, tapi pria itu menjadikannya alasan supaya gerak geriknya tidak dibaca aneh oleh penghuni kos.
"Baru pulang, Kar?" balas Subendra pada Kartika.
Mereka kembali menjadi teman seperti biasanya. Seperti sebelum ada Zira yang menjadi sumber kecemburuan Kartika. Cemburu yang sebenarnya tidak mendapatkan balasan yang sama dari Subendra.
"Iya. Mas Bentot ngapain?"
"Bersihin sampah ini. Mau aku buang ke depan."
"Loh? Bukannya setiap pagi diganti sama tukang bersih-bersih yang biasanya itu, ya?"
Disaat begini, Subendra rasanya ingin membekap mulut Kartika karena banyak bertanya. Bisa nggak kamu langsung masuk ke kamarmu sendiri? Ingin sekali Subendra bisa dengan sesuka hati berkata demikian pada Kartika. Namun, dia masih memiliki nurani. Setelah dia salah berkata pada Zira, Subendra tidak mau gegabah dalam bicara lagi.
''Ini udah penuh, sih. Jadi, mending aku langsung buang aja."
Subendra langsung mengikat kantong sampah tersebut dan berusaha untuk tidak terlibat pembicaraan dengan Kartika lebih jauh.
"Kayaknya Zira nggak pernah pulang ke kos, ya, Mas? Aku nggak pernah lihat dia keluar masuk ke kamarnya lagi. Bahkan nggak pernah lihat dia di dapur lagi masak."
Pertanyaan Kartika itu sudah pasti tidak ingin Subendra jawab. Dia tidak ingin membuat sesi ini sebagai sesi curahan hati pada Kartika mengenai hubungannya dan Zira yang agak goyang karena pertengkaran mereka. Sebenarnya bukan pertengkaran, lebih kepada Zira yang merajuk dan enggan melihat Subendra. Orang lain tidak perlu mengetahuinya, kan? Toh, jika ada sesi curhat, besar kemungkinan hanya akan membuat hubungan Subendra dan Zira semakin parah. Tidak patut juga seorang pria dewasa menjadikan teman wanita sebagai tempat curhat. Bisa kemana-mana semua pemikiran mengenai dirinya dan Kartika nantinya.
"Kangen keluarganya. Aku nggak bisa ngelarang kalo dia mau pulang ke rumah."
White lies. Meskipun sebuah kebohongan, setidaknya lebih baik ketimbang membuat keadaan makin kacau.
"Oh, gitu. Kirain karena berantem atau apa. Aku nggak bermaksud untuk sok tahu, tapi biasanya kalo orang pacaran memang wajar untuk bertengkar, Mas. Nggak aneh, kok. Malah justru bisa membuat hubungan makin erat nantinya."
Subendra tidak mengatakan apa pun. Dia hanya berusaha menghargai Kartika yang bicara saja.
"Apalagi Zira itu lebih muda dari kita. Nggak heran emosinya masih meledak-ledak. Dia nggak akan bisa diatur karena masih muda. Nggak akan paham dengan pemikiran kita yang terlalu jauh dewasa untuk memikirkan keadaan jauh ke depan ..." Kartika bisa melihat bahwa tatapan Subendra tidak lagi fokus padanya. Pria itu melihat ke arah belakang Kartika. "Mas Bentot?"
Mau tak mau Kartika menoleh ke belakang dan mendapati keberadaan Zira yang melepas helmnya dan melirik sekilas kepada Subendra dan Kartika.
"Oh, panjang umur! Kamu baru kita bahas, Zira."
Subendra melihat cara Zira melihat Kartika. Satu pemahaman kembali hadir, bahwa Zira menjadi salah paham dengan apa yang Subendra dan Kartika bicara. Kalo begini kapan masalah kami selesai?
***
"Zira."
Zira bad mood. Niatnya pulang ke kos adalah untuk segera bertemu Subendra dan bicara. Namun, mendapati kekasihnya dengan bicara dengan Kartika untuk kesekian kalinya, seluruh suasana hati Zira mempengaruhinya untuk sekalian saja berhenti untuk bicara pada Subendra.
Tapi kalo gue begini terus yang ada masalah kita nggak kelar-kelar.
"Mas, aku udah merenungkan semua yang terjadi belakangan. Aku mengakui kalo aku yang salah. Aku nggak seharusnya bersikap memaksa-maksa kamu begitu. Wajar kalo kamu bilang aku murahan—"
"No. Nggak begitu yang aku maksud. Aku nggak mau kamu menyesal sendiri dengan bersikap begitu, oke? Aku juga salah karena nggak bicara dengan baik ke kamu. Padahal nggak seharusnya aku begitu. Kita bisa bicara baik-baik perihal kontak fisik satu sama lain."
Zira mengangguk, tidak ingin menambah drama dalam percintaannya.
"Kamu mau membicarakannya sekarang? Atau besok?"
"Sekarang aja. Aku nggak mau ditunda-tunda."
"Oke. Jadi, untuk kontak fisik paling jauh adalah making out—"
"Revisi."
"Gimana, Zira?"
"Aku mau semuanya direvisi. Cukup pegangan tangan aja, Mas yang paling jauh."
"Hah??"
Zira mengangguk dan melanjutkan. "Aku udah komit ke diri sendiri, aku akan menahan diriku sendiri perihal kontak fisik dengan kamu. Sebelum kita pacaran aja aku bisa, kok, nggak sentuh menyentuh laki-laki. Jadi, harusnya itu nggak jadi masalah."
Zira ingin melihat seberapa jauh kekasihnya itu memberikan reaksi. Terkejut sudah pasti. Namun, Zira tidak ingin berhenti disana. Dia memang akan membatasi diri sendiri untuk tidak mempengaruhi Subendra macam-macam. Tapi itu juga harus menjadi salah satu pembalasan bagi Subendra. Zira tidak suka dengan respon pria itu, sekalipun sudah memaafkan dan memaklumi ucapannya. Tapi tidak akan membuat Zira lupa begitu saja. Lagi pula, dari pada dia nantinya terkena ucapan yang tidak mengenakkan hati, lebih baik tidak melakukan apa-apa sekalian.
"Zira, aku nggak mau membuat kamu trauma untuk kamu. Aku memang keterlaluan, tolong bales dengan ucapkan apa aja supaya kita impas."
Zira terkejut ketika Subendra bersimpuh dan meletakkan kepalanya di paha perempuan itu. Ingin sekali rasanya Zira mengelus helaian rambut Subendra yang dirindukannya. Namun, Zira kembali mengingat apa yang kakaknya katakan, "Inget, Dek, jangan terlalu baik dengan hal sekecil apa pun. Biarin dia sendiri yang mohon-mohon buat lo sentuh. Kalo pun mohon-mohon, pura-pura aja nggak tau apa yang harus lo lakuin. Pokoknya pacaran aja kayak anak SD. Eh, tapi anak SD sekarang nyeremin, sih, pacarannya. Udahlah, pokoknya ikutin aja cara cowok green flag kalo lagi manjain lo sebagai pasangan."
"Mas, nggak gitu. Aku mau menghargai usaha kamu. Setelah pulang kemarin, aku tahu kamu cuma berniat untuk melindungi aku. Aku paham, kok. Jadi nggak perlu begini. Berdiri, Mas Ben.
"Tapi aku tahu kamu masih agak marah, terutama karena liat aku ngobrol sama Kartika juga tadi. Iya, kan?"
"Hm, iya. Agak kesel, sih. Tapi aku nggak apa-apa. Aku tahu kamu cintanya sama aku, Mas."
Subendra akhirnya bisa tersenyum begitu Zira mengusap sisi wajah pria itu. Subendra mengambil tangan Zira dan mengecup telapak tangannya. Merasakan getaran aneh, Zira langsung menariknya dan mengalihkan pembicaraan. "Kamu masak nggak, Mas? Aku laper."
Untungnya Subendra tidak mempertanyakan sikap Zira dan langsung mengangguk semangat. "Aku masak. Tapi cuma sayur sop, ikan goreng, sama sambel. Mau?"
Zira mengangguk senang. Setidaknya dia bisa menikmati momen kebersamaan dengan Subendra, mencurahkan rasa rindu bersama sang kekasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Dibalik Celana Mas Bentot
Roman d'amourSubendra Wiyahya, atau yang sering disapa Bentot, adalah pria low profile yang memiliki sepaket titel; mapan, tampan, dan memenuhi harapan. Setidaknya paket titel itu berlaku dan diinginkan para perempuan. Tidak terkecuali Shazira Mafasa. Zira, si...