Chapter 21: Keraguan

728 122 7
                                    


Tidak semua orang bisa mengatakan dengan jujur apa yang mereka miliki di dalam pikiran. Tidak semua orang bisa menyatakan apa yang mereka suka dan yang tidak mereka suka tanpa peduli apakah orang lain akan tersinggung atau tidak. Tidak semua orang juga suka untuk langsung menanyakan masa lalu seseorang. Untuk Zira sendiri, dia memang suka mempertanyakan hal secara langsung—terkesan blak blakan. Namun, untuk masa lalu yang dimiliki Subendra ... itu pengecualian.

Dikecualikan karena memang sifatnya sangat sensitif. Selain itu, dari sudut pandang Zira, jika seseorang belum bisa dan tidak mampu membicarakan masa lalunya itu tandanya memang belum bisa move on dari segala kenangan. Apalagi bukti kuat juga sudah mengarah tepat sasaran; celana kesayangan Subendra. Pria itu terus menggunakannya dan tidak bersedia menggantinya. Sebab celana itu memiliki kenangan yang tidak bisa digantikan dengan apa pun.

"Lokasinya nggak sesuai perkiraan? Atau kamu akan punya masalah kalo kita mengiyakan lokasi ini?"

Zira terkejut dengan pipinya yang ditempeli dengan kaleng minuman dingin. Pandangannya naik dan mendapati Tiago, yang notabenenya memang atasannya.

"Kenapa, Pak?"

"Lokasinya. Ada yang bikin kamu nggak sreg sama lokasinya?"

Zira menerima lebih dulu kaleng minuman dingin dari Tiago. Lalu, membiarkan pria itu duduk di sampingnya, menunggu salah seorang penanggung jawab dalam projek iklan perusahaan mereka.

"Kenapa saya harus nggak sreg, Pak? Ini juga udah dibicarakan waktu rapat divisi barengan sama Pak Bos."

"Ya, siapa tahu kamu mikirin masalah budget yang naik karena pajak yang tiba-tiba dikenakan ke kru iklan di sini. Padahal kita udah mulai deal dari beberapa bulan lalu."

Zira mendengkus dengan pembicaraan tersebut. "Pemerintah nggak akan puas untuk bikin kejutan untuk rakyatnya. Perusahaan yang bikin iklan aja kena pungli sama negara, apalagi kru film? Gimana perfilman negara kita bisa maju kalo gini? Padahal, proses syutingnya aja udah nggak gampang. Pake teknik ini itu, peralatan yang nggak murah, masih juga harus ngeluarin duit untuk lokasi."

Tiago meneguk minuman kalengnya dan Zira melakukan hal yang sama. Dia memberikan banyak atensi pada Zira yang ketika bicara sangat mengerti arah pembicaraannya.

"Menurut saya kamu cerdas sekali. Kalo kamu punya ambisi untuk naik jabatan, yang seperti kamu nggak akan butuh waktu lama untuk bisa gantiin posisi saya."

Zira menggelengkan kepalanya sembari mengunyah bulir-bulir cincau dari minumannya sebelum membalas. "Nggak, Pak. Saya nggak pengen dituntut lebih di pekerjaan. Saya pengennya itu jadi ibu rumah tangga setelah menikah. Fokus ngurusin rumah, suami, dan anak saya kelak. Bukan cita-cita saya jadi wanita karir. Saya lebih suka suami saya yang nantinya memberikan segala fasilitas ekonomi untuk saya dan anak kami kelak."

"Wow. Saya salut sama kamu. Masih banyak perempuan yang maunya aktif kerja. Tapi kamu punya cita-cita jadi ibu rumah tangga. Temen kamu, Selfi, saja nggak berhenti bekerja setelah menikah."

"Itu, kan, perempuan lain. Lagi pula, Selfi suaminya masih belum bisa mandiri. Mereka masih tinggal dengan orangtua Selfi sendiri. Mungkin kalo mereka udah mandiri dan suaminya bisa dapat jabatan dan gaji yang lebih tinggi, Selfi juga nggak mau ikut banting tulang begini."

Tiago menganggukan kepalanya. "Setiap orang memang beda-beda, ya. Tapi yang pasti setiap orang maunya pilihan yang paling enak pastinya."

"Iyalah, Pak. Saya juga maunya jalan yang enak, nyaman, mulus. Nggak ada kerikilnya. Tapi namanya hidup, pasti ada yang bagian nggak terduganya."

"Memangnya bagian tidak terduga apa yang bisa orang pacaran dapetin?"

Zira menoleh pada Tiago yang tampaknya mengerti arah pembicaraan tersebut. Padahal Zira hanya memancing sedikit, tapi pria itu memberikan respon yang begitu peka.

"Pak, perasaan tadi kita bahasnya soal Selfi?"

"Iya. Kan, kamu yang bahas soal diri kamu sendiri. Kamu lagi menceritakan diri kamu sendiri yang mengalami masalah sama pacar kamu, kan? Lagi ada kerikil di hubungan kalian."

Zira meneguk minumannya dengan cepat dan dia mendapati bahwa dirinya menjadi malu sendiri karena sudah dibaca dengan tepat oleh Tiago.

"Pacar kamu keliatan lebih dewasa dari kamu."

"Hah? Kok, Bapak bisa menyimpulkan begitu? Padahal kata orang-orang Mas Ben itu awet muda."

"Iya, mukanya memang awet muda. Tapi celana dan kemeja yang dipakainya itu keliatan jauh dari jenis celana yang biasa dipakai orang-orang di generasi sekarang."

Tuh, kan! Lagi-lagi soal celananya!

Zira menghela napasnya karena dia kembali mengingat bagaimana pembicaraan kakaknya dan Subendra berjalan. Dia tidak bisa memberikan banyak reaksi pada Tiago karena tidak ingin semakin ketahuan.

"Keraguan kamu ke pasanganmu bisa terlihat jelas, Zira. Dengan keraguan kamu yang seperti ini, orang lain pasti mudah sekali masuk dalam hubungan kalian."

"Orang lain itu udah jadi masa lalunya, Pak. Nggak bisa masuk lagi juga, soalnya udah nikah."

"Kamu tahu banget soal orang lain itu?"

Yaiyalah tahu banget, orang saya adeknya!

"Ya, tahu aja. Jangan tanya-tanya saya lagi soal masalah pribadi saya, Pak."

Tiago mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Dari tadi, kan, kamu yang curhat tipis-tipis. Saya cuma berusaha menjadi teman yang memposisikan diri sebagai laki-laki. Saya cuma bilang supaya kamu nggak menaruh keraguan apa pun sama pacar kamu, karena sebagai sesama laki-laki, diragukan sama pacar sendiri itu nggak enak."

Sekali lagi, Zira hanya bisa membuang tatapan dan meneguk minuman kalengnya hingga seorang penanggung jawab lapangan dari kru datang dan mereka kembali membicarakan hal yang berkaitan dengan urusan pekerjaan saja.

***

Zira pulang dari kantor agak malam hari ini. Dia berharap tidak perlu menemui Subendra yang hingga detik ini masih menyembunyikan mengenai masa lalunya dengan Shanira. Dengan segera, Zira memarkirkan motornya dan berusaha berjalan cepat untuk bisa segera membuka pintu kamarnya yang terkunci. Entah kenapa dia terlalu terburu-buru hingga kunci kamarnya terus tergelincir dari pegangannya.

"Sial!" makinya dengan kesal.

"Kamu nggak ke rumah, Zira?"

Zira baru saja bangun dari posisi menunduk untuk mengambil kuncinya. Dan dia mendapati pertanyaan tersebut yang datangnya dari suara sang kekasih. Zira yang lelah tidak langsung mengatakan apa-apa. Dia memilih untuk tetap fokus membuka pintunya.

"Zira? Kamu nggak dengerin aku?"

"Mas, aku baru banget pulang kerja. Aku beneran capek hari ini. Aku minta maaf karena nggak bisa ke rumah kamu karena aku beneran nggak ada tenaga untuk ngeladenin kamu."

Kening Subendra berkerut karena ucapan sang kekasih. "Meladeni aku? Apa maksudnya? Aku bikin salah apa lagi sampai kamu keliatan badmood begini ke aku?"

Zira tidak tahu kenapa dia ingin menangis karena mendapati pertanyaan yang menunjukkan Subendra tidak tahu apa pun. Kenapa, sih, dia harus nanya apa salahnya?! Bikin orang makin kesel aja!

"Aku nggak mau bertengkar disini, kamu balik ke rumah kamu aja. Jangan bikin aku tambah kesel."

Zira langsung membanting pintunya di depan wajah sang kekasih dan memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan. Meski tidak melanjutkan perdebatan sama dengan menumpuk masalah. 

Rahasia Dibalik Celana Mas BentotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang