9. Pusat perhatian.

8K 977 37
                                    

Haloo!

Tekan bintang sebelum membaca
.
.
.
.
.
Emilo ada di gendongan Alaric bocah berpipi lumer layaknya susu mentega itu memandang ke sekeliling dengan tatapannya yang berbinar sekaligus penasaran.

"Ayah meleka teluc liat kecini?!" Emilo berbisik.

"Abaikan saja," ucap Alaric.

"Meleka cemua moctel yah ayah. Kalau meleka moctel Milo belalti boleh tendang bokongna," Emilo lagi-lagi bertanya kali ini dengan tampangnya yang polos dan suara yang sedikit agak keras hingga seluruh yang ada di ruangan itu mendengar apa yang mereka bicarakan.

"Um, tendang saja siapapun yang membuatmu kesal ayah tidak masalah," Alaric berucap cukup santai dan tanpa beban.

"Benelan boleh? Apa Milo tidak akan dihukum?"

"Tentu saja, jangan hawatir." Mata birunya yang menawan beralih melihat ke sekumpulan manusia yang sedang berada tepat di sekelilingnya.

"Kalian dengar itu putra bungsuku Emilo Alaric de damaskus ingin menendang kalian, apa ada yang suka di tendang secara cuma-cuma." Alaric berucap sembari menatap satu persatu orang di dalam aula itu. Ia sengaja menekankan nama putra bungsunya agar semua orang tau bahwa bayi bulat yang berada di gendongannya ini adalah bayi bungsunya yang memang sengaja ia sembunyikan dulu.

Semua orang yang ada di aula mau tidak mau sedikit kaget namun tak dapat berucap karena aura Alaric yang begitu menyeramkan. Ngomong-ngomong sepertinya masalah tentang putra bungsu Alaric yang sengaja di sembunyikan akan menjadi topik hangat di kalangan bangsawan dan seantero damaskus.

"Ayahh!" seseorang memanggil.
Alaric dari kejauhan. Anak laki-laki berambut putih seperti Alaric datang menghampiri. "Ayah datang?" Tanya si anak rambut putih pada Alaric.

Alaric tersenyum kemudian mengusap pipi putra keempatnya. "Selamat ulang tahun."

'Ayah dia ciapa?' Emilo berbisik kepada Alaric. Mata ungu permatanya melihat seorang anak laki-laki yang begitu mirip dengan sang ayah.

"Dia saudaramu Jonathan..." Emilo membelalakan matanya. 'Uwah jadi dia plin Jonathan mukana milip cekali dengan ayah tapi kan dia bukan putla ayah.'

"Salam adik..." Jonathan mengucapkan salam dengan gaya sopan dan anggun khas seorang keturunan kerajaan. Sepertinya ia terdidik dengan baik.

Namun Emilo hanya mengangguk "calam kakak." Bocah bulat itu lantas mengulurkan tangannya yang berbalut kaus tangan bersulam kepala beruang. Emilo mengajak Jonathan bersalaman.

Jonathan tersenyum lembut namun jika di perhatikan lebih teliti maka kau akan melihat ada sedikit raut meremehkan dalam senyum itu.

"Adik bukannya jika ingin bersamalaman dengan yang lebih tua kau harus turun dan memberi hormat padanya terlebih dahulu? Itu yang di ajarkan guru etiketku. Apa adik tak pernah menerima pembelajaran dari guru etiket?" Jonatnan bertanya dengan raut heran.

Emilo merenung, 'gulu etiket? mahluk apa tu? apa moctel juga,' batinnya bertanya-tanya. Selama ini Emilo hanya bertindak sesuka hati sesuai dengan kemauan dirinya sendiri selama tidak membuat ayahnya marah, Emilo pikir semua akan baik-baik saja.

"Sayang adikmu tak ayah beri guru etiket karena ia masih kecil. Adikmu ini masih balita." Melihat putra imutnya Emilo yang sedikit kebingungan, Alaric akhirnya memberi pengertian pada Jonathan.

"Tapi Nathan belajar etiket sejak usia 3 tahun ayah. Bukankah itu usia balita kenapa adik tak belajar di usia itu juga."

Alaric meringis, bukannya Alaric tak mengijinkan sang putra belajar etiket, tetapi Emilo itu sangat kuat rata-rata guru etiket berasal dari kalangan yang tak pandai ahli sihir karena hanya mengajari tentang hal kesopanan yang jelas tidak ada sangkut pautnya dengan sihir.

Baby TitanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang