27. Detektif cilik.

6K 770 57
                                    

Holaa!

Untuk menghargai penulis tekan bintang dulu sebelum membaca!

Terimakasih!⚘❤

.
.
.
.
.

Mentari bersinar dengan hangat, bunyi kicauan burung membuat suasana pagi di hari itu tampak menyenangkan.

Emilo si bayi gendut terlihat sedang sarapan di meja makan sembari menggigit roti selai nanas, tangannya lagi-lagi sibuk menulis sesuatu pada buku catatan miliknya. Pagi-pagi sekali ia sudah rapi.

"Pangeran anda akhir-akhir ini gemar sekali menulis, apa ada sesuatu yang menarik?" Jack bertanya sembari menaruh segelas susu coklat di samping Emilo.

"Hehe, Milo hanna ingin menulic caja uncle." Emilo memberi alasan, tak mungkin si gembul itu bercerita bahwa ia sedang menulis dan mencatat hal-hal yang ia temukan tentang kejanggalan dan mistery tentang kehidupan keduanya ini.

"Pangeran memang pintar," puji Jack sambil sedikit mengintip buku catatan Emilo. Keningnya kemudian mengeryit tidak bisa memahami tulisan balita itu.

"Milo mau pelgi ke pelpuctakaan hali ni uncle," Emilo berkata setelah mengabiskan 20 lembar roti selainya, balita itu sudah selesai sarapan. Si gembul Emilo kemudian turun dari kursi.

"Perlukah saya mememani anda pangeran?"

Emilo menggeleng, "Tidak, Milo mau kepelpuctakaan cendili. Uncle Jack celecaikan pekeljaan caja, Milo tidak mau melepotkan."

"Baiklah hati-hati di jalan yah pangeran. Ngomong-ngomong apa anda tau letak perpustakaan kekaisaran?"

"Um, Milo tau, Milo kan anak pintal!" Milo kemudian bergaya sambil memuji dirinya sendiri. Si gendut itu terlalu percaya diri.

"Yah bayi pintar yang suka tantrum," gumam Alopex sambil merotasikan matanya malas.

Emilo memukul kepala Alopex dengan keras tatapanya berubah cemberut.

"Aduuh!" raung Alopex.

"Tuan kenapa memukul meja?" heran Jack.

"Ada namuk uncle." Tanpa rasa bersalah balita itu nyengir kemudian lekas turun dari kursi dan berlari menuju pintu.

Alopex seraya menggerutu juga turun dari meja makan dan mengikuti tuannya pergi. Rubah dewa sepertinya dikira nyamuk yang benar saja!
.
.
.
.
.
Emilo berjalan di lorong, balita itu melangkahkan kaki gendutnya dengan riang di sertai lompatan-lompatan kecil. Sepanjang lorong banyak prajurit ataupun pelayan yang menyapanya walaupun mereka menyapa pangeran ke lima damaskus dengan sedikit berjauhan, tidak di pungkiri bahwa mereka sedikit takut dengan Emilo si balita yang sangat kuat.

Emilo terus melangkahkan kaki gendutnya hinga melewati sebuah lapangan. Ia pun berhenti sejenak untuk melihat jalannya latihan.

Prang!

Prang!

Trak!

Bunyi tabrakan pedang mengalihkan perhatian Emilo, di lapangan istana para ksatria dan prajurit sedang sibuk berlatih ada kakaknya Vanderson juga di sana.

"Kak Pandel liat cini!" Panggil Emilo seraya melambai-lambai kecil.

Vanderson menoleh ketika mendengar seseorang memanggilnya. Pemuda tampan itu tersenyum saat melihat wajah adik bulatnya yang sedang menonton mereka di pinggir lapangan. Vanderson pun berlari ke pinggir lapangan untuk menghampiri adiknya.

"Roti mentega!" Hup! dengan cepat Vandersom menggendong tubuh berlemak itu dan membubuhkan banyak kecupan pada badan bulat adiknya yang berbau harum khas bayi. "Hei ada apa? apa kau ingin berlatih dengan kakak?"

Baby TitanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang