Hari itu, Aiden baru saja selesai dengan kelas manajemennya dan sedang bersantai di kantin kampus ketika ponselnya bergetar. Pesan dari Asyala muncul di layar.
"Aiden, bisakah kita bertemu lagi nanti sore? Aku merasa agak tertekan dengan tugas sekolahku yang lain, dan aku ingin minta saran."
Aiden membaca pesan itu dengan sedikit keheranan. Asyala jarang menghubunginya dua kali dalam waktu dekat untuk masalah yang sama. Terlepas dari itu, dia menyetujui pertemuan di sebuah kafe dekat kampus.
Sore itu, Asyala tiba lebih awal dari biasanya, wajahnya tampak kusut dan lelah. Saat Aiden duduk di seberangnya, dia langsung bisa merasakan ada yang berbeda dari Asyala. Bukan sekadar masalah pelajaran IPA kali ini-ada hal lain yang lebih dalam.
"Kau baik-baik saja, Asyala?" tanya Aiden hati-hati, mencoba menangkap rasa tidak nyaman yang jelas di wajah gadis itu.
Asyala menghela napas panjang, menundukkan kepalanya sebentar sebelum memulai. "Aiden, aku merasa seperti aku... tersesat. Aku selalu merasa terbebani oleh harapan orang lain. Tugas-tugas, ujian, bahkan kegiatan di luar sekolah-semuanya terasa seperti beban yang terlalu berat untukku."
Aiden mengerutkan kening. Dia tahu bahwa sekolah memang bisa menjadi tekanan besar, tetapi mendengar Asyala berbicara seperti ini membuatnya khawatir.
"Kau merasa tersesat bagaimana?" tanyanya dengan nada yang lebih lembut.
Asyala menatap ke arah luar jendela, melihat hiruk pikuk jalanan, seolah mencari jawaban di sana. "Aku tidak tahu apakah semua ini benar-benar yang aku inginkan. Maksudku, aku tidak tahu apa yang aku inginkan untuk masa depanku. Aku bahkan tidak yakin apakah jalur IPA ini tepat untukku. Setiap kali aku berpikir tentang ujian, nilai, atau masa depan, semuanya terasa sangat menakutkan."
Aiden terdiam. Dia pernah mendengar cerita-cerita serupa dari teman-temannya di kampus, bahkan dia sendiri pernah merasa ragu pada satu titik. Tapi mendengar Asyala berbicara tentang kebingungannya dengan cara seperti ini membuat Aiden menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih serius yang sedang dihadapi oleh Asyala.
"Kau tidak sendiri dalam perasaan itu, Asyala," kata Aiden setelah beberapa saat. "Aku juga pernah merasakan hal yang sama ketika aku harus memilih jurusan di kampus. Bahkan saat SMA, aku merasa tertekan karena harus masuk ke jurusan IPA, padahal minatku berbeda. Tapi seiring waktu, aku belajar bahwa perasaan ragu itu adalah bagian dari proses menemukan apa yang benar-benar kita inginkan."
Asyala menatap Aiden dengan ragu, seolah tak percaya bahwa seseorang seperti Aiden, yang tampak begitu tegas dan mantap dalam hidupnya, pernah merasakan hal yang sama.
"Apa yang kamu lakukan waktu itu?" tanya Asyala, nada suaranya penuh harap.
Aiden tersenyum kecil, mengenang masa-masa penuh ketidakpastian itu. "Aku mulai dengan menerima bahwa tidak apa-apa merasa ragu. Aku bicara dengan orang-orang di sekitarku, mencari saran, dan aku mencoba banyak hal yang berbeda. Kadang-kadang, kita tidak bisa tahu apa yang kita inginkan sampai kita mencobanya sendiri. Itu bukan perjalanan yang instan, tapi perlahan aku mulai menemukan apa yang cocok untukku."
Asyala tampak berpikir sejenak. "Jadi, kamu tidak merasa yakin sejak awal?"
"Tidak," Aiden menggeleng. "Aku butuh waktu. Tapi kau tahu, itu tidak apa-apa. Karena proses itu adalah bagian dari menemukan diri sendiri. Kadang kita harus memberi diri kita ruang untuk membuat kesalahan, mencoba lagi, dan akhirnya menemukan apa yang benar-benar kita inginkan."
Asyala mengangguk pelan, seolah mulai memahami sesuatu. "Aku takut gagal, Aiden. Aku takut mengecewakan semua orang."
Aiden menarik napas dalam-dalam, menyadari betapa besar beban yang dirasakan Asyala. "Kita semua pernah merasa takut gagal. Tapi ingatlah, sukses bukanlah tentang tidak pernah gagal-itu tentang bagaimana kita bangkit setiap kali kita jatuh. Dan kau punya potensi besar, Asyala. Jangan biarkan ketakutanmu menghalangi dirimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
Teen FictionAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...