Minggu berlalu, dan Aiden merasa semakin baik. Dia mulai menjalani rutinitasnya dengan lebih positif, berusaha sekuat tenaga untuk tetap sehat. Dia menghabiskan lebih banyak waktu bersama Asyala, belajar bersama, dan membahas impian mereka. Setiap pertemuan semakin memperkuat ikatan di antara mereka.
Suatu sore, saat mereka duduk di kafe kecil di dekat kampus, Aiden mengamati Asyala yang sedang menulis di laptopnya. Cahaya matahari yang lembut menyoroti wajahnya, membuat Aiden merasa nyaman dan tenang.
“Sepertinya kamu sedang fokus banget,” ucap Aiden, tersenyum.
Asyala menatapnya dan mengerutkan kening. “Ya, ini tugas akhir semester. Tapi aku akan selesai sebentar lagi. Bagaimana denganmu? Sudah merencanakan sesuatu untuk semester depan?”
Aiden mengangguk. “Aku berpikir untuk mengambil kursus tentang manajemen kesehatan. Dengan semua yang terjadi, aku ingin memahami lebih dalam tentang kesehatan dan cara menjaga keseimbangan hidup.”
“Oh, itu ide yang bagus! Kamu akan mendapatkan banyak pengetahuan baru,” balas Asyala antusias.
Ketika pembicaraan berlanjut, Aiden merasa lega bisa berbagi rencananya. Dia ingin menjadikan pengalaman yang sulit ini sebagai pelajaran berharga, bukan sebagai beban yang harus dia tanggung sendirian.
Tiba-tiba, Asyala menatapnya serius. “Aiden, ada yang ingin aku bicarakan. Aku sudah berpikir tentang kita dan hubungan ini.”
Jantung Aiden berdegup kencang. “Apa yang ingin kamu katakan?”
“Aku tahu kita sudah melalui banyak hal, dan aku menghargai semua waktu yang kita habiskan bersama. Aku hanya ingin memastikan bahwa kita sama-sama memiliki tujuan yang jelas ke depan,” jelas Asyala, matanya penuh harap.
Aiden merasakan ketegangan di udara. “Aku setuju, Asyala. Aku ingin kita berkomitmen untuk saling mendukung satu sama lain. Terlepas dari apa yang terjadi di masa lalu, aku ingin kita bisa membangun masa depan yang lebih baik bersama.”
Asyala tersenyum lebar, seolah beban di pundaknya terangkat. “Aku juga ingin seperti itu. Kita harus selalu saling mendukung, tidak peduli apa pun yang terjadi.”
Aiden mengulurkan tangannya, dan Asyala menyambutnya. Mereka berpegangan tangan, merasakan kekuatan dalam kebersamaan mereka. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Aiden merasa benar-benar optimis tentang masa depannya.
Setelah selesai dengan tugasnya, mereka berdua memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kampus. Suasana di luar sangat indah, dengan pepohonan berdaun hijau dan bunga yang bermekaran.
Ketika mereka berkeliling, Aiden tiba-tiba berhenti dan berbalik ke Asyala. “Kamu tahu, aku sangat berterima kasih padamu. Kamu selalu ada saat-saat sulit, dan aku merasa sangat beruntung memilikimu di sampingku.”
Asyala menatapnya, matanya berbinar. “Aiden, kita adalah tim. Aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi.”
Mereka melanjutkan langkah, berbincang tentang hal-hal kecil dan tertawa bersama. Saat hari mulai gelap, Aiden merasa hatinya penuh dengan harapan dan kebahagiaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Malam itu, saat mereka pulang ke apartemen, Aiden memikirkan masa depan mereka. Dia bertekad untuk menghadapi semua tantangan yang ada, baik dalam hal kesehatan maupun hubungan. Bersama Asyala, dia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Dengan keyakinan baru dan rasa syukur, Aiden menatap ke depan, percaya bahwa perjalanan ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Dia tahu bahwa, terlepas dari segala cobaan yang akan datang, dia tidak akan pernah menghadapi semuanya sendirian lagi.
Malam semakin larut, dan bintang-bintang mulai menghiasi langit gelap. Aiden dan Asyala duduk di balkon apartemen, menikmati angin malam yang sejuk. Suara bising kota di bawah mereka menjadi latar belakang yang tenang, memberi mereka kesempatan untuk merenungkan semua yang telah mereka lalui.
“Aku suka momen seperti ini,” kata Asyala sambil mengamati langit. “Rasanya dunia ini hanya milik kita.”
Aiden menoleh, merasakan kehangatan dari kata-kata Asyala. “Ya, momen seperti ini membuatku merasa lebih hidup. Aku merasa semua yang terjadi—baik yang sulit maupun yang menyenangkan—menjadikanku lebih kuat.”
Asyala tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya ke Aiden. “Kau tahu, aku ingin kita merencanakan sesuatu yang lebih besar. Mungkin liburan ke tempat yang kita impikan. Apa kamu punya tempat tertentu yang ingin kamu kunjungi?”
Aiden memikirkan beberapa saat. “Aku ingin sekali pergi ke Bali. Kita bisa bersantai di pantai, menikmati alam, dan melupakan semua stres yang ada.”
Asyala mengangguk setuju. “Itu ide yang bagus! Kita bisa merencanakannya setelah ujian semester ini. Sepertinya kita berdua butuh waktu untuk bersantai.”
“Ya, dan mungkin saat itu kita bisa menjelajahi lebih banyak hal bersama. Aku ingin mengenal lebih banyak tentangmu,” balas Aiden, matanya berbinar.
“Mengenal lebih banyak tentangku? Seperti apa?” tanya Asyala dengan penasaran.
“Misalnya, hobi atau impian yang belum pernah kau ceritakan. Aku tahu kita sudah berbicara banyak, tapi aku merasa masih ada banyak yang perlu kita eksplorasi,” jawab Aiden.
Asyala tersenyum, merasa senang. “Sebenarnya, aku suka melukis. Ini adalah hal yang sangat pribadi bagiku, dan aku biasanya hanya melakukannya sendiri.”
“Aku tidak tahu kamu melukis! Kenapa tidak pernah bilang?” Aiden terkejut, wajahnya tampak penuh rasa ingin tahu.
“Aku lebih suka menjaga itu untuk diriku sendiri. Tapi aku bisa menunjukkan beberapa lukisanku padamu,” tawar Asyala.
“Lihatlah! Aku akan sangat senang untuk melihat karya-karyamu. Apakah kamu pernah berpikir untuk memamerkannya?” Aiden bertanya, bersemangat.
“Belum pernah. Mungkin itu ide yang menarik. Tapi aku merasa kurang percaya diri,” jawab Asyala, sedikit ragu.
“Jangan merasa seperti itu. Aku yakin karyamu luar biasa, dan kamu pantas mendapatkan pengakuan. Kita bisa merencanakan pameran kecil untukmu di Bali,” usul Aiden dengan serius.
Asyala terdiam sejenak, terharu dengan dukungan Aiden. “Kamu benar-benar percaya padaku, ya? Terima kasih, Aiden. Itu sangat berarti bagiku.”
“Selalu, Asyala. Kita saling mendukung, ingat? Kita adalah tim,” jawab Aiden, menggenggam tangan Asyala.
Saat malam semakin larut, mereka terus berbincang tentang impian dan harapan masing-masing, saling mendukung dan memotivasi. Di dalam hati mereka, ada keyakinan bahwa masa depan akan lebih cerah jika mereka melaluinya bersama.
Tak terasa, waktu berlalu dengan cepat. Aiden dan Asyala akhirnya memutuskan untuk tidur, tetapi sebelum itu, Aiden berbisik, “Aku percaya kita bisa melewati semua ini, Asyala. Bersamamu, aku merasa kuat.”
Asyala tersenyum. “Dan aku bersamamu, Aiden. Kita akan mengatasi semua tantangan ini, apapun yang terjadi.”
Dengan pikiran penuh harapan dan cinta, mereka menutup malam itu dengan tidur yang nyenyak, bersiap untuk menghadapi hari-hari baru yang penuh kemungkinan. Hari-hari yang akan membawa mereka lebih dekat satu sama lain, sekaligus menguatkan ikatan yang telah mereka bangun selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
Ficção AdolescenteAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...