Kembali dari perjalanan kemah, suasana di kampus kembali seperti biasa. Aiden mencoba menjalani hari-harinya dengan tenang, meskipun kesehatannya semakin memburuk. Sementara itu, Asyala terus mendukungnya dengan cara yang tidak terlihat oleh banyak orang, selalu ada di setiap kesempatan Aiden membutuhkan bantuan, meski mereka berdua tahu bahwa waktu tidak selalu berpihak kepada mereka.
Di kampus, Aiden semakin jarang mengikuti kegiatan, dan hal ini mulai memicu rasa penasaran teman-teman di sekitarnya. Fauzan, yang sudah lama mengetahui kondisi Aiden, terus menyimpan rahasia itu dengan setia, meskipun dia merasa bahwa semakin lama Aiden harus menyembunyikan penyakitnya, semakin berbahaya situasinya.
"Asyala, kamu yakin Kak Aiden baik-baik saja?" tanya Fauzan suatu hari saat mereka sedang makan siang di kantin kampus. Asyala terdiam, memandangi makanannya yang sudah dingin.
"Aku nggak yakin, Zan. Aku lihat dia makin lemah, tapi dia tetap nggak mau terbuka ke yang lain. Dia cuma bilang kalau dia butuh waktu sendiri," jawab Asyala dengan nada penuh kekhawatiran.
Fauzan mengangguk. "Dia nggak bisa terus-terusan kayak gini. Aku ngerti dia nggak mau bikin kita khawatir, tapi kesehatan dia makin buruk. Aku nggak bisa diam aja lihat dia gitu."
"Asal kamu tahu, aku juga ngerasa sama, Zan. Aku takut, tapi aku nggak bisa memaksa dia kalau dia belum siap," balas Asyala sambil menghela napas panjang. "Aku cuma bisa ada di sisinya."
Waktu terus berlalu, dan semakin sulit bagi Aiden untuk menyembunyikan kondisinya. Suatu pagi, saat sedang berada di kampus, Aiden tiba-tiba merasa pusing dan hampir pingsan saat berdiri dari kursinya. Asyala yang kebetulan ada di dekatnya langsung menangkap Aiden sebelum tubuhnya terjatuh ke lantai.
"Aiden! Kak, kamu nggak apa-apa?" seru Asyala panik, sambil berusaha menahan tubuhnya agar tetap tegak. Beberapa mahasiswa lain yang melihat kejadian itu segera membantu Asyala membawa Aiden ke ruang kesehatan.
Fauzan datang berlari setelah mendengar kabar itu, wajahnya tampak tegang. "Aiden, kamu harus ke dokter. Ini nggak bisa dibiarkan lagi!" katanya dengan nada tegas, sementara Aiden hanya tersenyum lemah.
"Fauzan, aku baik-baik aja. Aku cuma... kecapekan sedikit," jawab Aiden sambil menahan rasa sakit yang semakin terasa di tubuhnya.
Asyala menatap Aiden dengan tatapan penuh harapan dan kekhawatiran. "Kak, kamu nggak bisa terus-terusan kayak gini. Kamu butuh istirahat, dan kita perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Aiden terdiam beberapa saat, lalu mengangguk pelan. "Oke, aku akan jujur. Kalian berdua memang berhak tahu."
Mereka bertiga kemudian duduk di ruang kesehatan, dan untuk pertama kalinya, Aiden menceritakan semuanya. Tentang penyakit autoimun yang semakin parah, tentang ginjalnya yang mulai rusak, dan tentang ketakutannya jika orang-orang yang dia sayangi akan terlalu khawatir jika mereka tahu.
"Aku nggak mau kalian khawatir, terutama kamu, Asyala," ujar Aiden sambil menatap Asyala dengan mata yang penuh perasaan. "Aku tahu kita sudah dijodohkan, tapi aku nggak mau kamu merasa terpaksa karena situasi ini."
Asyala menggeleng, air matanya mulai mengalir. "Kak, aku nggak peduli soal perjodohan itu. Aku di sini karena aku peduli sama kamu. Kamu nggak bisa jalanin ini sendirian."
Fauzan menepuk bahu Aiden dengan penuh perhatian. "Bro, kamu nggak perlu jadi pahlawan sendirian. Kita ada di sini buat kamu. Jangan anggap kita cuma teman saat senang, tapi kita juga ada saat susah."
Malam itu, Aiden merasa beban yang selama ini dipikulnya sedikit terangkat. Meski dia tahu penyakitnya tidak akan sembuh dengan mudah, setidaknya dia tidak lagi harus menyembunyikan rasa sakit itu dari orang-orang yang paling peduli padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
أدب المراهقينAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...