Hari-hari berlalu, dan Aiden mulai merasakan dampak dari keputusan untuk terbuka mengenai kondisi kesehatannya. Setiap kali ia bertemu dengan teman-teman, mereka mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda tentang Aiden. Melihat senyumannya yang lebih tulus dan perbincangan yang lebih terbuka membuat mereka merasa dekat kembali.
Suatu sore, Aiden memutuskan untuk mengundang teman-teman dekatnya, termasuk Fauzan dan Asyala, untuk berkumpul di apartemennya. Dia merasa sudah saatnya berbagi cerita dan menjelaskan kondisinya secara langsung.
“Hey, guys,” Aiden mulai dengan suara tenang saat semua berkumpul di ruang tamunya. “Aku pengen ngomong tentang sesuatu yang mungkin kalian udah curiga.”
Mereka semua saling pandang, antusias dan sedikit cemas. “Apa itu, Den?” tanya Fauzan, memberikan dukungan.
Aiden menghela napas dalam-dalam, merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya. “Aku sakit. Penyakit autoimun ini udah sampai ke ginjal. Dan aku tahu selama ini aku berusaha menyembunyikannya, tapi aku nggak mau lagi terus-terusan bohong.”
Asyala menggenggam tangan Aiden, memberikan semangat tanpa perlu berkata-kata. Teman-teman lain terdiam sejenak, mencerna apa yang baru saja mereka dengar.
“Kenapa kamu nggak bilang dari awal, Aiden?” tanya salah satu temannya dengan nada khawatir. “Kami semua khawatir tentang kamu.”
“Aku hanya ingin terlihat kuat,” jawab Aiden dengan jujur. “Aku nggak mau bikin kalian khawatir. Tapi sekarang aku sadar, kalau kalian semua adalah orang yang penting buatku. Jadi, aku perlu kalian tahu.”
“Biar kami bisa bantu,” Fauzan menambahkan. “Kamu tidak sendiri dalam ini. Kita semua ada di sini buat kamu.”
Setelah percakapan itu, suasana di ruang tamu terasa lebih hangat. Aiden merasa lega bahwa beban emosionalnya mulai terangkat. Teman-teman mulai membicarakan rencana untuk membantu Aiden dan mendukungnya selama masa perawatan.
Asyala berinisiatif, “Bagaimana kalau kita buat jadwal bergiliran untuk menemani Aiden ke rumah sakit? Supaya dia nggak sendirian.”
“Dan kita bisa bawa makanan kesukaannya!” seru Fauzan dengan semangat.
“Aku setuju,” tambah yang lainnya. “Kita akan bikin jadwal. Aiden, kamu harus fokus untuk sembuh.”
Aiden tersenyum, merasakan betapa berartinya dukungan dari teman-temannya. Dia tidak menyangka bisa mendapat begitu banyak kasih sayang dan perhatian. “Terima kasih, guys. Ini sangat berarti buatku.”
Sejak saat itu, Aiden merasakan kekuatan baru untuk menghadapi penyakitnya. Dengan dukungan dari Asyala, Fauzan, dan teman-teman lainnya, dia merasa tidak sendirian lagi. Setiap kunjungan ke rumah sakit menjadi lebih ringan, dan Aiden merasa semangatnya semakin tumbuh.
Suatu malam, saat mereka semua berkumpul di apartemen Aiden untuk menonton film, Aiden merasa sangat bersyukur. Asyala duduk di sampingnya, merangkulnya erat.
“Kamu merasa lebih baik?” tanya Asyala.
“Ya, lebih baik dari sebelumnya. Mungkin karena aku bisa terbuka sekarang,” jawab Aiden.
Mereka melanjutkan menonton film sambil tertawa dan bersenang-senang. Aiden tahu bahwa meskipun jalan ke depan mungkin masih panjang, dia memiliki orang-orang yang siap menemani setiap langkahnya. Dan itu membuatnya merasa lebih kuat dari sebelumnya.
Hari-hari ke depan akan menjadi tantangan, tapi bersama dengan Asyala dan teman-teman, dia yakin bisa menghadapi apapun yang datang.
Setelah beberapa minggu berlalu, kondisi Aiden perlahan mulai stabil. Dia menjalani perawatan dengan baik dan tetap dikelilingi oleh teman-temannya yang setia, terutama Asyala yang selalu ada untuknya. Setiap kali Aiden merasa lelah, Asyala selalu mengingatkannya untuk tidak menyerah dan tetap berfokus pada tujuan pemulihan.
Suatu malam, Aiden dan Asyala sedang duduk di teras apartemen Aiden, menikmati angin malam yang sejuk. Bintang-bintang berkelap-kelip di langit, menciptakan suasana yang damai. Aiden merasa nyaman di samping Asyala, yang selalu memberikan energi positif.
“Asyala,” panggil Aiden, memecah keheningan. “Terima kasih sudah selalu ada untukku. Aku merasa beruntung punya kamu di sisiku.”
Asyala tersenyum, wajahnya bercahaya di bawah sinar bulan. “Aku hanya melakukan apa yang seharusnya teman lakukan. Aku nggak akan membiarkanmu berjuang sendirian.”
Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati momen kebersamaan. Aiden merasakan kehangatan yang lebih dari sekadar persahabatan. Dia mulai berpikir tentang perasaannya terhadap Asyala dan bagaimana mereka berdua telah melewati banyak hal bersama.
“Aku ingin kamu tahu,” Aiden melanjutkan, “selain terima kasih, aku juga ingin bilang bahwa aku menghargai semua yang kamu lakukan. Kamu membuatku merasa lebih kuat. Kamu membuatku ingin berjuang lebih keras.”
Asyala menatap Aiden, merasakan ketulusan dalam kata-katanya. “Aiden, aku percaya kamu bisa melewati ini. Kamu orang yang kuat dan pantang menyerah.”
“Kadang, aku merasa lemah,” Aiden mengaku. “Tapi ketika aku bersamamu, aku merasa ada harapan.”
Mendengar hal itu, Asyala merasa hatinya bergetar. Dia telah mengagumi Aiden, bukan hanya karena ketahanan dan keberaniannya, tetapi juga karena kebaikan hatinya. “Jadi, kita akan terus berjuang bersama, kan?” tanyanya.
“Ya, tentu saja,” jawab Aiden dengan tegas. “Aku tidak akan pernah menyerah selama ada kamu di sisiku.”
Setelah pembicaraan yang mendalam itu, mereka berdua merasakan ikatan yang semakin kuat. Mereka tahu bahwa apapun yang terjadi ke depan, mereka akan saling mendukung.
Beberapa hari kemudian, Aiden menjalani sesi perawatan terakhirnya yang diharapkan bisa memberikan dampak besar pada kesehatannya. Asyala, bersama Fauzan dan teman-teman lainnya, datang untuk memberi dukungan. Mereka semua berencana untuk merayakan jika Aiden berhasil melewati proses ini dengan baik.
“Jangan khawatir, Aiden. Kami akan ada di sini untuk merayakan kesuksesanmu,” kata Fauzan, memberi semangat.
“Aku akan memberikan yang terbaik,” jawab Aiden sambil tersenyum, meski ada sedikit keraguan di matanya.
Sesi perawatan berjalan lancar, dan Aiden merasa optimis. Dia tahu bahwa setelah semua usaha dan dukungan yang dia terima, sudah saatnya untuk memulai babak baru dalam hidupnya.
Saat Aiden keluar dari rumah sakit, Asyala dan teman-teman menyambutnya dengan penuh semangat. Mereka membawakan makanan kesukaannya dan merayakan kepulangannya.
“Selamat datang kembali di dunia nyata, Aiden!” seru salah satu temannya, membuat semua orang tertawa.
Mereka semua berkumpul dan menghabiskan waktu bersama, merayakan bukan hanya kesembuhan Aiden, tetapi juga persahabatan yang telah terjalin lebih kuat. Di tengah kebahagiaan itu, Aiden merasa bahwa setiap tantangan yang dia hadapi kini membawa harapan baru.
Asyala berdiri di samping Aiden, menyadari betapa pentingnya momen ini. Mereka saling bertukar pandang, dan Aiden tahu bahwa hidupnya kini tidak hanya tentang perjuangan melawan penyakit, tetapi juga tentang cinta dan dukungan yang membuat segalanya lebih berarti.
Hari-hari ke depan adalah tentang harapan dan kebangkitan, dan Aiden bertekad untuk menjalani setiap hari dengan semangat baru—bersama Asyala, sahabat-sahabatnya, dan harapan yang terus menyala di dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
Teen FictionAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...