Bab 44: Menyusun Kembali Kenangan

12 7 0
                                    

Bunda Aiden duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Suasana rumah terasa sepi setelah kepergian Aiden, anaknya yang penuh semangat dan harapan. Setiap sudut rumah itu masih menyimpan banyak kenangan indah, namun juga rasa kehilangan yang begitu dalam. Hari-hari berlalu, dan kini saatnya untuk mengambil langkah baru.

Dengan tekad yang bulat, Bunda Aiden mengangkat teleponnya dan menghubungi Asyala, siswi yang pernah menjadi mentor Aiden. Ia tahu betapa dekatnya Aiden dengan Asyala dan bagaimana pengaruh positif yang dibawanya ke dalam hidup anaknya. Suara Asyala terdengar di seberang sana, penuh keheranan saat mendengar panggilan itu.

"Asyala, ini Bunda Aiden. Aku ingin mengajakmu untuk datang ke rumah ini," Bunda Aiden mulai berbicara dengan nada lembut. "Aku rasa sudah saatnya kamu dan Fauzan menempati rumah Aiden."

Asyala terdiam sejenak. Dalam pikirannya, ia membayangkan rumah itu—tempat di mana banyak kenangan manis tercipta. "Bunda, apakah... apakah itu keputusan yang tepat? Ini semua masih terasa terlalu cepat," jawabnya dengan suara bergetar.

Bunda Aiden merasakan keraguan dalam suara Asyala. "Aku mengerti, Sayang. Tapi rumah ini bisa menjadi tempat baru bagi kalian. Bukan hanya untuk tinggal, tetapi juga untuk memulai sesuatu yang baru. Aiden selalu berharap yang terbaik untukmu."

"Saya tidak ingin mengubah kenangan indah tentang Aiden," kata Asyala, menahan air mata. "Setiap sudut rumah ini adalah bagian dari dirinya."

"Aku tahu. Namun, kita juga harus melanjutkan hidup. Aiden tidak ingin kita terjebak dalam kesedihan. Dia ingin kita terus berkarya dan meraih impian masing-masing. Rumah ini bisa menjadi tempat untuk melakukan itu," Bunda Aiden menjelaskan.

Asyala menarik napas panjang. "Baiklah, Bunda. Saya dan Fauzan akan berpikir tentang itu. Mungkin ada baiknya juga bagi kami untuk mencoba memulai yang baru."

Bunda Aiden tersenyum, meski hatinya masih berat. "Terima kasih, Asyala. Aku akan menghubungi Fauzan dan kita bisa merencanakan semuanya bersama."

Setelah menutup telepon, Bunda Aiden merasa sedikit lega. Meskipun kesedihan masih menyelimuti hatinya, ia tahu bahwa ini adalah langkah yang tepat. Rumah itu, yang dulunya menjadi saksi perjalanan Aiden, kini harus dibuka untuk dua jiwa yang penuh harapan.

Dalam beberapa hari ke depan, Bunda Aiden dan Asyala bertemu dengan Fauzan untuk membahas persiapan pindah ke rumah Aiden. Meskipun rumah itu memiliki kenangan yang menyakitkan, mereka sepakat untuk mengubahnya menjadi tempat yang penuh dengan cinta dan harapan.

Mereka membersihkan ruangan, mengecat ulang dinding yang memudar, dan menghias rumah dengan benda-benda yang mengingatkan mereka pada Aiden. Momen-momen tersebut menjadi pengingat bahwa meski Aiden telah pergi, warisannya akan terus hidup dalam setiap langkah yang mereka ambil.

Setiap malam, mereka berkumpul di ruang tamu, berbagi cerita tentang Aiden, tertawa dan menangis bersama. Secara perlahan, rumah yang dulunya terasa berat kini mulai dipenuhi dengan tawa dan kebersamaan. Bunda Aiden, Asyala, dan Fauzan menyadari bahwa meskipun kehilangan adalah bagian dari hidup, saling mendukung dan mencintai satu sama lain adalah cara terbaik untuk menghormati kenangan Aiden.

Dengan penuh harapan, mereka melangkah ke masa depan, bertekad untuk menjadikan rumah itu bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga tempat di mana mimpi-mimpi baru akan tercipta, meskipun tak akan pernah ada yang menggantikan sosok Aiden Bhayangkara.

Satu sore yang cerah, Bunda Aiden memutuskan untuk merapikan lemari di kamar Aiden. Ia ingin mengubah suasana dengan menyingkirkan barang-barang yang sudah tidak diperlukan dan merapikan kenangan-kenangan berharga yang tersisa. Ketika membuka salah satu kotak yang terletak di pojok lemari, ia menemukan tumpukan foto-foto yang selama ini tersimpan rapi.

Dengan penuh rasa ingin tahu, Bunda Aiden mulai menyortir foto-foto tersebut. Tiba-tiba, ia terhenti pada satu foto yang membuatnya terharu. Dalam foto tersebut, Aiden berdiri bersebelahan dengan Asyala, tersenyum lebar di balik panggung konser. Mereka dikelilingi oleh sejumlah artis terkenal: Juicy Lucy, Rizky Febian, Mahalini, Tonewaves, Tiara Andini, Devano Danendra, Bernadya, Keysa, Lyodra, dan Naura Ayu. Semua wajah dalam foto itu tampak ceria, menandakan momen bahagia yang dihabiskan bersama.

Mata Bunda Aiden berkaca-kaca saat mengenang bagaimana Aiden selalu bermimpi untuk bisa menjadi bagian dari dunia musik dan memiliki pengalaman seperti ini. Ia tahu bahwa foto ini adalah salah satu kenangan terindah bagi Asyala. Dalam pikirannya, Bunda Aiden merasa perlu untuk menyimpan foto itu sebagai kenang-kenangan spesial.

Dengan lembut, Bunda Aiden membawa foto itu ke ruang tamu di mana Asyala dan Fauzan sedang berbincang. "Asyala, ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu," katanya sambil melangkah masuk.

Asyala melihat Bunda Aiden dengan rasa penasaran. "Ada apa, Bunda?"

Bunda Aiden mengulurkan foto itu kepada Asyala. "Lihat ini. Aku menemukannya di lemari Aiden. Ini saat konser yang kau ikuti bersamanya. Aku rasa ini adalah momen yang sangat spesial."

Asyala mengambil foto tersebut dan menatapnya dengan penuh rasa haru. "Bunda, ini luar biasa. Aku tidak pernah menyangka bisa berfoto dengan mereka," katanya, suaranya bergetar. "Momen ini sangat berarti bagi kita."

"Aku ingin kau menyimpan foto ini di lemari pribadimu, sebagai pengingat tentang Aiden dan semua kebahagiaan yang pernah kalian bagi," Bunda Aiden menyarankan dengan lembut.

Asyala mengangguk, air mata menggenang di matanya. "Terima kasih, Bunda. Ini akan aku simpan dengan baik. Aku ingin selalu mengenang Aiden dan semua yang dia ajarkan padaku."

Fauzan, yang duduk di samping Asyala, juga ikut menatap foto itu dengan rasa hormat. "Aiden memang orang yang luar biasa. Dia telah memberikan banyak inspirasi kepada kita semua."

"Ya, dia selalu percaya pada kita," tambah Bunda Aiden, merasakan getaran emosi dalam suara mereka. "Sekarang, saatnya kita melanjutkan hidup, tetapi kita bisa melakukannya sambil membawa kenangan dan semangat Aiden bersama kita."

Asyala tersenyum, mengusap air mata yang mengalir di pipinya. "Aku akan berusaha untuk terus membuatnya bangga, Bunda."

Dengan hati yang penuh harapan, mereka merencanakan untuk menyiapkan tempat khusus di lemari Asyala untuk menyimpan foto-foto dan kenangan-kenangan lain bersama Aiden. Mereka menyadari bahwa meskipun Aiden telah pergi, semangatnya akan selalu hidup dalam setiap langkah yang mereka ambil, dan foto-foto itu akan menjadi pengingat yang kuat tentang kebahagiaan dan pelajaran berharga yang telah dibagikannya.

Malam itu, ketika mereka berkumpul untuk berbagi cerita, rumah yang dulunya terasa sepi kini dipenuhi tawa dan kenangan manis. Momen-momen ini, meskipun dipenuhi rasa rindu, adalah bukti bahwa cinta dan persahabatan dapat bertahan meskipun ada kehilangan.

Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang