Hari-hari berlalu, dan Aiden menjalani pengobatan dengan ketekunan. Setiap sesi terapi dan cek kesehatan membawanya lebih dekat pada harapan untuk sembuh. Namun, meskipun Aiden berusaha optimis, ada saat-saat ketika rasa cemas dan ketakutan merayapi pikirannya. Ia tidak ingin Asyala melihatnya lemah atau merasa terbebani.
Suatu pagi, ketika Aiden duduk di balkon apartemennya sambil menikmati secangkir teh, Asyala tiba-tiba muncul. "Hai, Kak! Aku bawa makanan sehat untuk sarapan," katanya ceria, membawa kantong belanja berisi buah-buahan dan roti gandum.
Aiden tersenyum, merasa beruntung memiliki Asyala di sampingnya. "Terima kasih, Asyala. Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik."
Setelah sarapan, Asyala melihat Aiden sedikit termenung. "Ada yang mengganggu pikiranmu, ya? Kamu kelihatan tidak fokus," tanyanya, duduk di sampingnya.
Aiden menghela napas, sulit untuk memulai. "Asyala, aku... aku khawatir. Meskipun aku berusaha keras untuk sembuh, aku merasa ada sesuatu yang lebih besar di depan. Apa jika hasil tes berikutnya tidak baik?"
Asyala menatap Aiden dengan serius. "Kita tidak bisa memprediksi masa depan, Aiden. Tapi yang bisa kita lakukan adalah fokus pada saat ini. Kamu sudah melakukan yang terbaik dan itu yang terpenting."
Aiden mengangguk, tetapi rasa cemasnya belum sepenuhnya sirna. "Aku tidak ingin mengecewakanmu, Asyala. Kamu sudah berkorban banyak untukku."
Asyala meraih tangan Aiden. "Kak, aku tidak pernah merasa terpaksa melakukan semua ini. Aku ingin membantu, dan lebih dari itu, aku ingin ada di sisimu. Kita bersama dalam ini."
Perkataan Asyala sedikit meredakan ketakutan Aiden. Namun, saat ia memikirkan tentang kesehatan dan masa depan, bayangan akan rasa sakit dan kehilangan kembali muncul dalam pikirannya.
---
Hari tes lanjutan tiba, dan Aiden merasa jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Sebelum pergi ke rumah sakit, Asyala memberikan dukungan moral. "Ingat, Kak. Apa pun hasilnya, kita akan menghadapi ini bersama. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam pikiran negatif."
Di ruang tunggu rumah sakit, Aiden duduk dengan gelisah, sementara Asyala menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. "Ayo, kita bisa lakukan ini," katanya dengan semangat.
Ketika nama Aiden dipanggil, perasaannya semakin campur aduk. Dia berdiri dan melangkah mengikuti perawat ke ruang pemeriksaan. Di dalam, dokter menunggu dengan berkas-berkas hasil tes di tangannya.
"Saya ingin kita membahas hasil tes Aiden," kata dokter dengan nada serius.
Jantung Aiden berdebar kencang. Dia merasa seolah seluruh dunia terhenti. Asyala di sampingnya menggenggam tangannya lebih erat, memberikan kekuatan saat mereka menunggu berita yang akan menentukan masa depan mereka.
Dokter mulai berbicara. "Hasil tes menunjukkan bahwa ada perbaikan pada kondisi ginjal Aiden. Namun, kita perlu tetap waspada dan melanjutkan pengobatan secara teratur."
Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Asyala. "Jadi, ada harapan?" tanyanya dengan suara bergetar.
Dokter tersenyum. "Ya, tentu saja. Kami perlu menjadwalkan sesi perawatan lebih lanjut, tetapi saya yakin dengan dedikasi Aiden dan dukungan dari Anda, dia bisa melalui ini."
Aiden merasa beban berat di pundaknya mulai menghilang. "Terima kasih, Dok. Aku akan melakukan yang terbaik."
Setelah pertemuan itu, Aiden dan Asyala keluar dari rumah sakit dengan perasaan lega dan bahagia. Asyala melompat kegirangan. "Kak, ini adalah berita terbaik! Kita harus merayakannya!"
Aiden tertawa, merasa hidup kembali. "Ya, kita harus! Ini semua karena kamu, Asyala. Kamu sudah berjuang bersamaku."
"Dan akan terus begitu," jawab Asyala, menyenggol bahu Aiden dengan manja. "Sekarang, bagaimana kalau kita pergi makan es krim?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
Teen FictionAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...