Bab 42: Sadar dan Sedikit Ucapan dari Aiden

18 9 0
                                    

Keesokan harinya, harapan yang sempat bersinar redup kembali. Saat Asyala datang ke rumah sakit, dia merasakan kehadiran sesuatu yang berbeda. Dengan penuh harap, dia mengambil tangan Aiden. Tiba-tiba, jari-jari Aiden bergerak, dan matanya perlahan terbuka.

“Selamat pagi, Aiden,” ucap Asyala dengan suara lembut, hampir tak percaya apa yang dia lihat. Dia memanggil keluarganya untuk berkumpul di samping ranjang Aiden. Ayah, Bunda, Zara, dan Dira segera berlari ke sisi Aiden, wajah mereka dipenuhi harapan dan kecemasan.

Aiden menatap mereka satu per satu, kemudian mengeluarkan suara lembut. “Ayah… Bunda… Zara… Dira… Asyala… Fauzan…,” suaranya serak, namun penuh rasa syukur. “Makasih sudah menjagaku. Aku senang ada kalian di sini.”

Setiap kata Aiden membuat hati mereka bergetar. Mereka saling berpelukan, tidak ada yang ingin kehilangan momen berharga ini. Tapi saat mereka merasakan kebahagiaan, di sisi lain, Aiden terlihat lemah. “Tapi…,” Aiden melanjutkan, “Aku udah nggak kuat. Jika suatu saat nanti, aku tidak ada… terutama untuk Fauzan, tolong jaga Asyala.”

Fauzan yang berdiri di sisi Aiden dengan penuh emosi, mengangguk, berjanji. “Iya, Aiden. Aku akan menjaganya.”

Aiden mencoba tersenyum, meskipun terlihat sakit. “Turuti kemauannya,” katanya pelan sebelum menutup matanya seolah ingin beristirahat sejenak.

Keluarga dan Asyala menahan napas, berharap Aiden akan terus berbicara, namun tiba-tiba, wajahnya berubah. Dalam sekejap, Aiden menutup matanya dan tidak sadarkan diri lagi. Keheningan menyelimuti ruangan, dan suasana hati keluarga berubah menjadi tegang.

Bunda merasakan ketidakberdayaan. Dia mulai panik dan memanggil dokter. “Dokter! Aiden, dia—” suaranya bergetar, tidak mampu menyelesaikan kalimatnya.

Dokter berlari ke arah mereka, melakukan pemeriksaan cepat. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, dia mengangkat kepala dan menatap Bunda dengan wajah penuh kesedihan. “Maaf sebelumnya, saya sudah berusaha sebaik mungkin, tapi Aiden…,” ucapnya dengan nada penuh penyesalan.

Bunda merasakan hatinya hancur. “Aiden, kenapa????” Dia berteriak, air mata mengalir di pipinya, tidak percaya apa yang baru saja dia dengar.

Dokter menatap Bunda dengan hati yang berat. “Aiden sudah tiada,” katanya pelan.

Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Tangisan pecah di antara mereka, air mata bercampur dengan kesedihan yang mendalam. Zara dan Dira memeluk satu sama lain, sementara Asyala merasa seolah seluruh dunia runtuh di sekitarnya. Dia berlutut di samping ranjang Aiden, menggenggam tangannya dengan erat, berharap jika dia memegangnya cukup lama, Aiden mungkin akan kembali.

Bunda terjatuh ke lutut, hatinya remuk. “Aiden… anakku…,” ucapnya di antara isak tangis. “Kenapa kau pergi begitu cepat?”

Semua anggota keluarga merasakan kesedihan yang luar biasa, kehilangan yang mendalam. Mereka saling berpelukan, menguatkan satu sama lain dalam kesedihan yang tak terlukiskan. Aiden yang telah berjuang sekuat tenaga, kini telah pergi, meninggalkan mereka dalam duka yang mendalam.

Di saat yang penuh kesedihan ini, mereka bertekad untuk menjaga kenangan Aiden dan menghargai setiap momen yang telah mereka habiskan bersama. Dalam hati mereka, Aiden akan selalu hidup, mengingat semua cinta dan dukungan yang telah mengelilinginya selama ini.

Asyala menangis di dekat ranjang Aiden Bhayangkara, hatinya terasa hancur. Air matanya mengalir tanpa henti saat dia menggenggam tangan Aiden yang telah dingin. Kehilangan ini begitu mendalam, seolah seluruh dunianya runtuh dalam sekejap.

Keluarga Aiden berkumpul di sekitar Asyala, berusaha memberikan dukungan. “Kami terima kasih sekali padamu, Asyala,” ucap Bunda Aiden sambil menepuk lembut punggung Asyala. “Kau telah menjaga dan mendukung Aiden dengan luar biasa. Dia sangat menghargai kehadiranmu.”

Asyala mengangguk, meskipun tangisnya masih tersisa. “Saya hanya ingin dia baik-baik saja…,” jawabnya dengan suara penuh kesedihan. “Saya tidak ingin kehilangan dia.”

Ayah Aiden kemudian melanjutkan, “Jika kalian ingin datang ke rumah kami, silakan. Tapi… Asyala, apakah kau bersedia tinggal di apartemen Aiden? Dia selalu menyebutnya kost. Itu adalah rumah kami dulu, sebelum kami membeli rumah baru.”

Asyala terdiam sejenak, merenungkan tawaran tersebut. “Tapi… bagaimana dengan Fauzan? Apakah dia juga akan tinggal di sana?” tanyanya, masih bingung.

“Fauzan juga bisa tinggal di sana,” jawab Tante Aiden, memberikan senyuman yang lembut. “Kami akan menempatkan kalian berdua di sana. Bagaimana? Apakah tidak masalah bagi kalian berdua?”

Fauzan menanggapi dengan tegas, “Tidak masalah, Tante. Saya akan menjaga Asyala. Kami siap untuk melanjutkan hidup, meskipun tanpa Aiden.”

“Ya sudah, kami akan mengurus jenazah Aiden Bhayangkara,” kata Ayah Aiden, menahan air mata. “Kami harus melakukan yang terbaik untuk memberikan penghormatan terakhir yang layak untuknya.”

Asyala dan Fauzan saling berpandangan, menyadari bahwa mereka harus saling mendukung di saat-saat sulit ini. “Kami siap membantu,” jawab Asyala, menguatkan diri meskipun hatinya masih terasa nyeri. “Kami akan melakukan apa yang bisa kami lakukan untuk Aiden.”

Dengan semangat yang baru, mereka semua berusaha untuk melakukan yang terbaik bagi Aiden. Momen-momen indah yang mereka habiskan bersama, meskipun singkat, akan selalu menjadi kenangan berharga dalam hidup mereka. Asyala tahu bahwa dia harus tetap kuat, tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk Aiden dan keluarganya.

Dalam hati, Asyala berjanji untuk menjaga kenangan Aiden hidup selamanya. Meskipun jalan di depan mungkin akan sulit, dia tahu bahwa cinta yang mereka miliki akan selalu memberikan kekuatan untuk melanjutkan hidup.

Proses pemakaman Aiden Bhayangkara berlangsung dengan penuh emosi. Jenazahnya diarak dengan penuh rasa hormat, dibawa oleh keluarga dan sahabat menuju tempat peristirahatan terakhir. Mereka mengenakan pakaian hitam sebagai tanda berkabung, sementara Asyala merasakan hati yang sangat berat saat melihat peti mati yang dihias indah, seolah Aiden masih hidup di dalamnya.

Di tengah kesedihan, Asyala teringat momen-momen kecil yang mereka lewati bersama. Momen ketika Aiden mengajaknya ke gereja untuk beribadah di hari Minggu, meskipun dia sendiri adalah seorang Muslim. “Aku ingin kau merasakan kedamaian yang aku rasakan saat beribadah,” kata Aiden saat itu. Kata-katanya selalu membekas di ingatannya, mencerminkan betapa Aiden menghargai perbedaan mereka dan selalu berusaha menjaga hubungan tersebut.

Sementara itu, di sekitar peti mati, keluarga dan teman-teman Aiden berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir. Pelayanan ibadah berlangsung dengan khidmat, diiringi lagu-lagu pujian yang menggetarkan hati. Setiap ucapan doa mengalir penuh harapan agar Aiden mendapatkan tempat terbaik di sisi Tuhan.

Asyala berdiri di barisan depan, tak kuasa menahan air mata. Dia mengingat semua kenangan indah dan dukungan yang telah mereka berikan satu sama lain. Di sisi lain, Fauzan juga terlihat tak bisa menahan kesedihannya, berusaha memberi semangat kepada Asyala yang tampak sangat terpukul.

Ketika saatnya tiba untuk meletakkan jenazah Aiden ke dalam liang lahat, suasana semakin haru. Aiden yang selalu ceria dan penuh semangat kini terbaring diam. “Kau selalu mengajarkan aku arti kehidupan dan kasih sayang, Aiden,” ucap Asyala lirih, berbisik seolah Aiden bisa mendengarnya.

Setelah prosesi pemakaman, keluarga Aiden mengundang para tamu untuk berkumpul di rumah. Di sana, mereka berbagi kenangan indah tentang Aiden, tertawa dan menangis dalam satu waktu. Asyala merasa sangat diterima oleh keluarga Aiden, seolah dia juga bagian dari mereka meskipun perpisahan ini begitu menyakitkan.

“Terima kasih telah menjaga Aiden hingga detik terakhir,” ucap Bunda Aiden, memeluk Asyala dengan erat. “Kau adalah cahaya dalam hidupnya, bahkan ketika kami tidak selalu ada untuknya.”

Asyala hanya bisa tersenyum sambil mengusap air mata yang masih tersisa. Dia tahu bahwa meskipun Aiden telah pergi, cinta dan kenangan mereka akan selamanya ada, menjadi kekuatan baginya untuk terus melangkah maju. Dan di dalam hatinya, dia berjanji untuk menjaga kenangan Aiden, merawat cinta itu dengan sepenuh hati, dan menghormati keinginan Aiden agar dia bahagia.

Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang