7. Olahraga

23 16 0
                                    

Pagi itu, Aiden memutuskan untuk mengajak Asyala berolahraga bersama. Dia tahu betapa pentingnya aktivitas fisik, tidak hanya untuk kesehatan secara umum tetapi juga untuk menjaga mood dan energi. Meskipun tubuhnya merasa lelah dan nyeri, Aiden mencoba untuk tetap aktif dan tidak membiarkan kondisi kesehatannya mengganggu rencananya.

Dia mengirim pesan singkat kepada Asyala.

_"Asyala, mau gak ikut aku jogging pagi ini? Aku butuh teman dan rasanya bakal lebih menyenangkan kalau ada yang menemani."_

Tak lama kemudian, Asyala membalas dengan antusias.

_"Tentu saja! Tapi aku baru ingat kalau pacarku, Bima, juga bilang mau olahraga pagi ini. Gimana kalau kita barengan aja? Aku bisa ajak dia ikut juga."_

Aiden merasa agak ragu, tetapi dia mengangguk pada dirinya sendiri. Bima mungkin saja dapat bergabung, dan itu bisa menjadi kesempatan baik untuk saling mengenal lebih dekat. Lagipula, meskipun dia dan Asyala dijodohkan, mereka berdua sudah memiliki dinamika yang cukup dekat, jadi kehadiran Bima mungkin tidak akan menjadi masalah besar.

Ketika waktu olahraga tiba, Asyala muncul dengan Bima yang tampak segar dan penuh semangat. Mereka berdua menyapa Aiden dengan ceria.

"Selamat pagi, Aiden! Ini Bima," kata Asyala sambil menunjuk ke arah pacarnya.

Bima melambaikan tangan dengan senyum lebar. "Halo, Aiden. Senang akhirnya bisa ketemu."

Aiden tersenyum dan menjabat tangan Bima. "Halo, Bima. Terima kasih sudah bergabung. Ayo, kita mulai."

Mereka mulai jogging di sekitar taman kota yang sepi. Selama latihan, Aiden merasa sedikit cemas, mencoba untuk tidak terlalu menonjolkan rasa lelah yang dia rasakan. Namun, saat mereka berhenti untuk beristirahat sejenak, Asyala memperhatikan perubahan wajah Aiden.

"Kamu oke, Aiden? Kamu keliatan agak pucat," tanya Asyala dengan nada khawatir.

Aiden cepat-cepat mengalihkan perhatian. "Oh, cuma sedikit kelelahan. Lagipula, pagi ini agak dingin, mungkin itu penyebabnya."

Bima ikut berkomentar, "Kalau kamu merasa tidak enak badan, sebaiknya jangan dipaksakan. Kita bisa istirahat sebentar."

Aiden mengangguk. "Iya, sepertinya aku hanya butuh sedikit waktu untuk pulih. Terima kasih atas perhatiannya."

Setelah beberapa waktu beristirahat, mereka melanjutkan olahraga dengan tempo yang lebih ringan. Saat jogging selesai, Asyala mengajak Aiden untuk makan bubur di kafe terdekat. Aiden, yang merasa lapar dan lelah, setuju dengan ide itu.

Di kafe, suasananya terasa hangat dan nyaman. Mereka duduk di meja yang menghadap jendela, dengan sinar matahari pagi yang lembut menyinari mereka. Aiden memesan bubur dan mencoba untuk makan dengan lahap, tetapi saat sendok pertama kali menyentuh bibirnya, dia merasa pusing dan wajahnya menjadi pucat.

Asyala yang duduk di seberangnya langsung memperhatikan perubahan itu. "Aiden, kamu keliatan tidak enak badan. Kamu yakin bisa makan bubur ini?"

Aiden berusaha tersenyum dan mengangguk. "Iya, aku cuma butuh istirahat sebentar. Mungkin aku terlalu capek pagi ini."

Asyala tetap terlihat khawatir, namun tidak ingin memaksa lebih lanjut. "Kalau gitu, kita bisa pulang lebih awal, ya. Jangan paksa diri kalau memang tidak nyaman."

Bima yang duduk di sampingnya juga menyarankan, "Kita bisa bantu kalau butuh sesuatu, Aiden."

Aiden berusaha membalikkan perhatian mereka. "Tidak apa-apa, terima kasih. Aku merasa lebih baik setelah makan. Kalian jangan khawatir."

Dia mencoba untuk tetap tenang dan menyelesaikan makanannya, walau setiap sendok terasa semakin sulit. Sambil makan, dia menyembunyikan rasa sakit yang dia rasakan, berusaha menjaga agar Asyala dan Bima tidak mengetahui tentang kondisinya yang sebenarnya.

Selesai makan, mereka meninggalkan kafe dan berjalan pulang. Aiden merasa sangat lelah dan tubuhnya semakin terasa berat. Dia tidak tahu berapa lama dia bisa terus berbohong atau menahan rasa sakit ini. Yang jelas, untuk saat ini, dia harus tetap tampil kuat dan tidak membebani orang-orang di sekelilingnya, terutama Asyala.

"Terima kasih sudah menemani pagi ini," kata Aiden saat mereka berpisah di depan rumahnya. "Aku merasa lebih baik setelah olahraga dan makan."

Asyala tersenyum dan menjawab, "Kapan-kapan kita bisa jalan bareng lagi. Semoga kamu lebih baik besok."

Aiden mengangguk dan melambaikan tangan sebelum memasuki rumah. Setelah pintu tertutup di belakangnya, dia langsung berjalan menuju kamarnya dan merebahkan tubuh di tempat tidur.

Dia menatap langit-langit kamar, berpikir tentang hari-hari yang akan datang. Dengan penyakit yang semakin parah dan rahasia yang dia sembunyikan, hidupnya terasa semakin rumit. Namun, dia tahu satu hal: dia harus tetap kuat-untuk dirinya sendiri, dan untuk Asyala yang masih belum tahu kebenarannya.

Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang