Asyala duduk di taman dekat rumah Aiden, menghirup udara segar sambil melihat ke arah langit. Hatinya terasa berat setelah kepergian Aiden. Dia merindukan sahabatnya dan semua kenangan manis yang mereka bagi. Dengan penuh rasa ingin berbagi, dia memanggil Fauzan yang sedang duduk di sebelahnya.
“Fauzan, aku mau curhat,” kata Asyala pelan.
“Ya, Asyala. Apa yang ingin kau bicarakan?” jawab Fauzan, menatapnya dengan penuh perhatian.
“Jadi, aku kira Aiden Bhayangkara itu orang Islam,” lanjut Asyala. “Saat aku shalat, dia selalu menemani. Aku pikir dia juga shalat, tapi ternyata tidak. Dia juga pernah minta diantarkan ibadah di hari Minggu.”
Fauzan mengernyitkan dahi, tampak bingung. “Benar, aku juga mengira dia orang Islam. Bahkan, aku sempat ajak dia shalat. Tapi dia bilang, ‘Sorry, aku nggak bisa.’”
Asyala mengangguk, merasa lega bisa berbagi. “Aku bilang padanya tidak apa-apa, bisa mulai dari awal. Tapi Aiden menjelaskan setelah aku shalat, ‘Maaf, Fauzan, bukannya aku nggak mau shalat, sorry, sebenarnya aku bukan orang Islam, tapi aku Kristen.’ Aku langsung kaget, Fauzan!”
Fauzan terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Asyala. “Jadi, selama ini dia berpura-pura?” tanyanya.
“Tidak, bukan itu maksudnya,” Asyala cepat menjawab. “Dia tidak pernah berpura-pura. Aiden selalu menghargai keyakinan kita. Dia hanya ingin menunjukkan rasa hormatnya, dan menghabiskan waktu bersamaku.”
“Memang, kadang sulit memahami orang lain ketika kita terlalu terfokus pada asumsi kita sendiri,” kata Fauzan. “Tapi Aiden sangat baik. Dia selalu mendukungmu.”
“Ya, aku sangat merindukannya. Aiden membuatku merasa nyaman dengan perbedaan kita,” ungkap Asyala, air mata menggenang di pelupuk matanya. “Dia memberi arti baru tentang toleransi.”
Fauzan mengusap punggung Asyala dengan lembut, memberikan dukungan. “Dia pasti bangga padamu, Asyala. Meskipun dia pergi, pelajaran yang dia ajarkan akan selalu ada bersamamu.”
Asyala mengangguk, mencoba menahan emosinya. “Aku ingin menjaga kenangan itu, Fauzan. Aku ingin meneruskan apa yang dia ajarkan tentang saling menghargai. Mungkin kita bisa melanjutkan ibadah dan saling mendukung, terlepas dari perbedaan.”
“Setuju,” jawab Fauzan. “Mari kita jaga kenangan Aiden. Dia ingin kita semua bahagia, terlepas dari latar belakang kita.”
Asyala tersenyum, merasakan dukungan dari Fauzan yang membuatnya lebih kuat. Bersama-sama, mereka berjanji untuk terus menghormati Aiden dan mengingat semua yang telah dia ajarkan, meskipun dia tidak lagi ada di dunia ini.
Asyala menarik napas dalam-dalam, berusaha mengontrol emosi yang meluap. “Tapi kadang aku merasa bersalah, Fauzan. Kenapa aku tidak menyadari lebih awal? Seharusnya aku bisa lebih memahami Aiden,” ucapnya dengan nada sedih.
Fauzan menggelengkan kepala. “Jangan merasa bersalah, Asyala. Kita semua kadang terjebak dalam asumsi kita sendiri. Yang penting, sekarang kita bisa mengenang dan menghargai Aiden dengan cara yang baik.”
“Ya, tapi aku merasa seharusnya aku bisa melakukannya lebih baik,” balas Asyala, suaranya bergetar. “Aku ingin melakukan yang terbaik untuk mengenangnya.”
Fauzan tersenyum lembut. “Aiden tahu seberapa besar kau peduli padanya. Ia pasti merasa beruntung memiliki sahabat sepertimu. Tidak ada yang bisa mengubah kenangan-kenangan indah yang kalian bagi. Justru, itulah yang membuat hubungan kalian begitu istimewa.”
Asyala terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Fauzan. “Kau benar. Aku harus lebih menghargai kenangan-kenangan itu. Dan aku ingin terus melanjutkan apa yang Aiden ajarkan padaku tentang keterbukaan dan toleransi.”
“Mari kita lakukan itu bersama-sama,” ajak Fauzan. “Kita bisa mengadakan acara mengenang Aiden, mengundang teman-teman dan keluarganya. Kita bisa berbagi cerita dan mengenang momen-momen indah bersamanya.”
“Ide yang bagus!” jawab Asyala, semangatnya mulai tumbuh. “Kita bisa mengajak mereka untuk berbagi tentang Aiden dan bagaimana ia menginspirasi hidup mereka.”
“Betul,” kata Fauzan. “Dengan begitu, kita bisa membuat sesuatu yang positif dari kehilangan ini. Aiden akan selalu hidup dalam kenangan kita.”
Asyala mengangguk, merasa sedikit lebih ringan setelah berbicara dengan Fauzan. Dia merasakan dukungan yang tulus dari sahabatnya, dan itu memberikan kekuatan baru untuk menghadapi kenyataan yang menyakitkan.
“Terima kasih, Fauzan. Aku tahu kau selalu ada untukku,” ucapnya tulus. “Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa dukunganmu.”
Fauzan tersenyum. “Selalu, Asyala. Kita harus saling mendukung di saat-saat sulit ini. Dan aku janji akan selalu ada di sampingmu.”
Mereka berdua duduk dalam keheningan, menikmati momen kebersamaan sambil mengenang Aiden. Asyala menyadari bahwa meskipun Aiden sudah tiada, semangat dan pelajaran yang ia tinggalkan akan terus hidup di dalam dirinya dan orang-orang yang menyayanginya.
Dengan harapan baru, Asyala bersiap untuk melangkah ke depan, bertekad untuk merayakan kehidupan Aiden dengan cara yang membuatnya bangga.
Asyala menghela napas, merasa lega setelah curhat kepada Fauzan. “Aku masih sulit percaya Aiden sudah pergi. Kadang, aku berharap semua ini hanya mimpi buruk. Tapi kenyataannya, dia tidak akan kembali lagi.”
Fauzan mengangguk, memahami betapa beratnya kehilangan itu. “Rasa kehilangan memang menyakitkan. Tapi kita bisa menjaga kenangan Aiden hidup dengan cara kita mengenangnya, seperti yang sudah kita bicarakan.”
“Ya, itu benar,” balas Asyala. “Dan aku ingin memastikan bahwa semua orang tahu siapa Aiden sebenarnya. Dia bukan hanya seorang teman, tapi juga seorang yang selalu mendukung dan menginspirasi kami.”
Fauzan tersenyum. “Bagus! Mungkin kita bisa membuat video atau buku kenangan tentang Aiden. Kita bisa mengumpulkan cerita dari orang-orang yang mengenalnya, seperti keluarganya, teman-temannya, dan orang-orang yang pernah dia bantu.”
Itu adalah ide yang menarik bagi Asyala. “Aku suka itu! Dengan cara itu, kita bisa merayakan hidupnya dan memberi tahu orang lain seberapa besar dampak yang dia buat di kehidupan kita.”
“Mari kita mulai mengumpulkan cerita-cerita itu,” kata Fauzan. “Kita bisa mengundang teman-teman dan keluarganya untuk berbagi di acara mengenang Aiden. Ini bisa menjadi kesempatan bagi semua orang untuk merasakan kedekatan dan kebersamaan.”
“Setuju! Aku akan menghubungi orang-orang yang dekat dengan Aiden,” Asyala menjawab dengan semangat. “Kita bisa membuat ini menjadi sesuatu yang istimewa.”
Sambil merencanakan acara tersebut, Asyala tidak bisa menahan air mata. “Fauzan, aku sangat merindukan Aiden. Tidak hanya karena kepergiannya, tapi juga karena semua kenangan indah yang kami bagikan. Rasanya, dunia ini terasa lebih sepi tanpanya.”
Fauzan meraih tangan Asyala, memberikan dukungan. “Aku tahu. Kita semua merindukannya. Tetapi ingatlah, Asyala, Aiden akan selalu hidup dalam kenangan kita. Kita tidak akan membiarkan ingatannya hilang.”
Asyala mengangguk, bertekad untuk tidak melupakan Aiden. “Aku ingin menjadikan kenangan itu sebagai motivasi untuk terus berbuat baik, seperti yang selalu Aiden lakukan. Dia mengajarkanku untuk menjadi lebih baik setiap hari.”
Fauzan tersenyum bangga. “Itu semangat yang luar biasa. Mari kita lakukan ini untuk Aiden, dan untuk diri kita sendiri. Kita akan menjalani hidup ini dengan sepenuh hati, seperti yang dia ajarkan kepada kita.”
Mereka berdua saling mendukung, merencanakan acara mengenang Aiden dengan harapan untuk menjadikan kenangan tersebut sebagai bagian dari perjalanan mereka. Sambil berbicara, Asyala merasa semangatnya kembali, dan dia tahu bahwa dia tidak sendirian dalam menghadapi rasa kehilangan ini.
Dengan dukungan Fauzan, Asyala merasa lebih siap untuk melangkah maju. Dia mengerti bahwa meskipun Aiden tidak lagi ada di dunia ini, cintanya dan pelajaran yang ia tinggalkan akan terus hidup dalam diri mereka dan memberi makna pada setiap langkah yang mereka ambil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
Teen FictionAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...