Setelah keluar dari rumah sakit, Aiden merasa seolah-olah telah diberikan kesempatan kedua. Sinar matahari yang hangat menyambutnya saat ia melangkah keluar, dan napas segar memberikan harapan baru. Asyala berada di sampingnya, wajahnya bersinar penuh kebahagiaan.
"Kau sudah kembali!" seru Asyala, bersemangat. "Mari kita lakukan rencana kita ke pantai secepatnya!"
Aiden tersenyum, merasa semangat Asyala menular padanya. "Ya, mari kita pergi. Aku sudah merindukan angin laut dan suasana pantai."
Mereka berdua mempersiapkan perjalanan ke pantai dengan penuh semangat. Asyala mengemas tas dengan makanan ringan dan minuman, sementara Aiden memastikan untuk membawa obat-obatan yang diperlukan. Ketika semua siap, mereka berangkat menuju pantai.
Di perjalanan, Aiden merasakan kegembiraan yang sudah lama tidak dia rasakan. Suara gelombang laut yang terdengar semakin dekat membuat hatinya berdebar. "Kau tahu, aku tidak sabar untuk merasakan pasir di bawah kakiku lagi," katanya kepada Asyala.
"Dan aku tidak sabar untuk melihat senyummu saat kau bermain di laut," balas Asyala, matanya berbinar.
Setibanya di pantai, Aiden terpesona oleh keindahan panorama di depan matanya. Laut biru yang membentang, langit cerah, dan pasir putih yang lembut membuatnya merasa hidup kembali. "Wow, ini luar biasa," serunya.
"Mari kita pergi ke tepi laut!" Asyala menarik tangan Aiden, membawanya berlari menuju air.
Mereka bermain di air, tertawa dan bercanda. Asyala mengumpulkan kerang, sementara Aiden mencoba membangun istana pasir. Dalam momen-momen sederhana ini, Aiden merasa semua rasa sakit dan kesedihannya menghilang, digantikan oleh kebahagiaan.
Setelah beberapa saat bermain, mereka beristirahat di bawah payung. "Kau tahu, aku merasa seperti diri sendiri lagi," Aiden berkata, memandang Asyala.
"Asyala, terima kasih telah bersamaku melalui semua ini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi tanpamu," tambahnya, dengan nada serius.
Asyala tersenyum lembut. "Kau tidak perlu berterima kasih. Kita adalah tim. Aku akan selalu ada untukmu, tidak peduli apa yang terjadi."
Percakapan mereka terhenti sejenak saat mereka menikmati pemandangan laut yang indah. Namun, di dalam hati Aiden, ada satu hal yang masih mengganggunya. Dia merasa harus berbicara dengan Asyala tentang penyakitnya, tetapi dia ingin melindungi gadis itu dari kekhawatiran lebih lanjut.
“Aku… sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” Aiden akhirnya mengumpulkan keberanian.
Asyala menatapnya, sedikit khawatir. “Apa itu? Kau tahu kau bisa bercerita padaku.”
“Aku tahu kau khawatir tentang aku, dan aku tidak ingin menambah beban pikiranmu. Tapi aku merasa harus jujur,” Aiden berkata, suaranya bergetar.
“Apa pun itu, kita bisa menghadapinya bersama,” Asyala membalas dengan penuh perhatian.
“Penyakitku... ini lebih serius dari yang kubayangkan. Dokter memberitahuku bahwa aku harus lebih berhati-hati, dan mungkin ada kemungkinan aku akan menjalani perawatan yang lebih intensif,” Aiden akhirnya mengungkapkan.
Asyala terdiam sejenak, mengolah informasi itu. “Aiden, kenapa kau tidak memberitahuku lebih awal? Aku ingin membantu.”
“Aku tidak ingin kau merasa terbebani. Aku ingin kau menikmati waktu kita di sini, tanpa khawatir tentangku,” jawab Aiden.
Asyala menggenggam tangan Aiden. “Tapi aku peduli padamu. Kita tidak bisa menghadapi semua ini sendirian. Kita akan mencari cara untuk menghadapinya bersama. Jangan ragu untuk berbagi apa pun.”
Aiden merasakan ketenangan saat melihat ketulusan di mata Asyala. “Terima kasih, Asyala. Kau selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik.”
Setelah percakapan itu, mereka kembali bermain di pantai, tetapi kali ini dengan hati yang lebih ringan. Aiden tahu bahwa meskipun ada tantangan di depan, mereka akan menghadapinya bersama. Hari itu di pantai menjadi pengingat bahwa di balik setiap kesulitan, selalu ada harapan dan cinta yang bisa memberi kekuatan.
Saat matahari mulai terbenam, Aiden dan Asyala duduk berdampingan, menatap laut yang berkilauan. Dalam momen tenang itu, Aiden merasa bersyukur memiliki Asyala di sisinya. Kebangkitan baru telah dimulai, dan dia tahu bahwa dengan dukungan Asyala, dia bisa menghadapi segala rintangan yang akan datang.
Setelah menghabiskan waktu yang menyenangkan di pantai, Aiden dan Asyala pulang dengan perasaan yang lebih ringan. Suasana hangat dan kebahagiaan yang mereka bagi di sana terasa begitu menguatkan. Aiden merasakan bahwa dia tidak lagi berjuang sendirian.
Sesampainya di kosan, mereka memutuskan untuk memasak malam itu. "Kita harus merayakan hari yang luar biasa ini!" seru Asyala dengan semangat.
“Aku setuju. Tapi kau yang harus masak,” Aiden menggoda, membuat Asyala mencibir.
“Duh, masa aku yang selalu masak? Sekali-sekali biarkan aku jadi raja malam ini!” Asyala bersikeras.
Aiden tertawa. “Baiklah, raja. Apa yang ingin kau masak? Pastikan itu tidak rumit!”
Setelah beberapa saat berdiskusi, mereka memutuskan untuk membuat pasta dan salad. Asyala sibuk di dapur, sedangkan Aiden membantu sebisa mungkin, meskipun kadang ia harus duduk sejenak untuk beristirahat.
“Bagaimana dengan kita berdua tinggal di sini untuk waktu yang lebih lama? Mungkin kita bisa mengontrak tempat ini lebih lama,” Aiden mengusulkan saat mereka menunggu air mendidih.
Asyala menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Apa kau serius? Aku pikir kau akan segera kembali ke rutinitasmu setelah semua ini selesai.”
“Aku ingin tetap dekat denganmu. Kau membuat setiap hari terasa berarti,” jawab Aiden dengan tulus.
Asyala tersenyum lebar, wajahnya bersemu merah. “Kau bikin aku baper, Aiden.”
Setelah memasak dan menyantap makanan, mereka duduk di sofa, menikmati film sambil menikmati sisa pasta. Asyala menyandarkan kepalanya di bahu Aiden, dan mereka merasa nyaman dalam kebersamaan itu.
“Tapi aku juga ingin berbicara tentang masa depan,” kata Aiden, mengubah topik dengan serius.
“Maksudmu tentang apa?” Asyala bertanya, mendongak.
“Aku ingin berbagi lebih banyak tentang rencanaku untuk ke depan. Setelah semua yang terjadi, aku merasa perlu untuk lebih fokus pada hal-hal yang penting,” Aiden menjelaskan.
Asyala mengangguk. “Apa pun yang kau putuskan, aku ada di sini untuk mendukungmu. Tapi kau harus jujur tentang apa yang kau rasakan.”
“Aku ingin terus berjuang untuk kesehatanku dan menghabiskan waktu yang lebih baik dengan orang-orang yang kucintai, termasuk kau. Aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama lagi,” jawab Aiden, matanya penuh tekad.
Malam itu, Aiden dan Asyala membahas impian dan harapan mereka, saling berbagi dengan terbuka tentang ketakutan dan kekhawatiran masing-masing. Asyala menceritakan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan dan mengejar karier impiannya. Aiden mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan dukungan yang dia butuhkan.
Ketika film selesai, Aiden merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Dia merasa lebih kuat, lebih berani menghadapi apa pun yang akan datang, terutama setelah berbagi momen berharga dengan Asyala.
“Terima kasih sudah menemani aku melewati hari yang indah ini,” kata Aiden dengan tulus.
“Terima kasih sudah membiarkan aku ada di sisimu. Aku senang bisa mendukungmu,” balas Asyala, menatap mata Aiden dengan penuh kehangatan.
Mereka berdua tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir, tetapi setiap langkah yang mereka ambil bersama semakin memperkuat ikatan di antara mereka. Aiden tidak bisa menahan senyumnya, dan dia berjanji dalam hati untuk menjaga hubungan ini sebaik mungkin, karena dia tahu, Asyala adalah sosok yang sangat berarti dalam hidupnya.
Malam itu, mereka tertidur dengan perasaan damai, saling menggenggam tangan, siap menghadapi hari esok yang lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
Teen FictionAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...