Hari-hari di kampus berlalu dengan cepat. Ujian semester semakin dekat, dan semua mahasiswa, termasuk Aiden dan Asyala, sibuk mempersiapkan diri. Aiden berusaha sekuat tenaga untuk tetap fokus meski sakitnya kian terasa. Dia bertekad untuk tidak membiarkan penyakitnya mengganggu studinya dan hubungan mereka.
Suatu pagi, Asyala datang lebih awal ke kampus untuk belajar bersama Aiden. Dia membawa banyak catatan dan buku. “Ayo, kita harus mempersiapkan diri dengan baik untuk ujian ini,” ujarnya dengan semangat.
Aiden tersenyum, merasakan dukungan dari Asyala. “Kau datang lebih awal dari biasanya. Apakah kau siap untuk belajar berjam-jam?”
“Siap! Kita harus memastikan semua materi terserap dengan baik. Dan aku juga ingin melihat bagaimana kondisimu,” kata Asyala, menyadari Aiden terlihat sedikit lelah.
Mereka duduk di sudut ruang belajar, dikelilingi buku dan catatan. Asyala menjelaskan beberapa konsep sulit dalam pelajaran IPA, sementara Aiden berusaha keras mengikuti. Dia merasa lelah, tetapi tidak ingin menunjukkan pada Asyala.
Setelah beberapa jam belajar, Aiden merasa pusing dan ingin beristirahat. “Aku butuh istirahat sebentar,” ujarnya, mencoba terdengar santai.
Asyala menatapnya khawatir. “Aiden, apakah kau baik-baik saja? Kau terlihat pucat.”
“Aku hanya sedikit lelah. Mungkin aku terlalu banyak belajar,” jawab Aiden sambil tersenyum. Namun, dia tahu tubuhnya tidak dalam keadaan baik.
Saat mereka beristirahat, Aiden menerima pesan dari Fauzan. “Aiden, bagaimana kabarmu? Kapan kita bisa main basket lagi?”
Aiden membalas dengan cepat, berusaha tetap positif. “Semuanya baik-baik saja. Kita bisa main lagi setelah ujian.”
Asyala yang melihat percakapan itu, merasa cemas. “Aiden, kau tidak perlu memaksakan diri. Jika kau merasa tidak enak badan, lebih baik kita istirahat. Kita bisa belajar lagi nanti.”
Aiden tersenyum dan menggelengkan kepala. “Aku baik-baik saja, Asyala. Kita sudah hampir sampai. Mari kita selesaikan ini.”
Tapi saat mereka melanjutkan belajar, Aiden merasakan gejala yang lebih buruk. Dia mulai kesulitan berkonsentrasi dan merasa pusing. Meskipun Asyala tidak menyadari sepenuhnya, instingnya sebagai sahabat membuatnya merasa ada yang tidak beres.
Setelah beberapa saat, Aiden tidak bisa menahan diri lagi. “Asyala, aku harus pergi ke toilet sebentar,” ujarnya, berusaha berdiri meskipun tubuhnya terasa lemas.
Asyala melihatnya pergi dengan raut cemas. Tak lama kemudian, Aiden tidak kembali. Asyala menunggu, tetapi rasa khawatirnya semakin membesar. Dia memutuskan untuk mengecek ke toilet.
Saat dia tiba, Aiden terlihat duduk di lantai, berusaha mengatur napasnya. “Aiden! Apa yang terjadi?” Asyala berlari menghampirinya.
“Aku hanya merasa pusing, tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawab Aiden, berusaha tersenyum meskipun jelas terlihat kesakitan.
“Ini bukan hanya pusing biasa, Aiden. Kita perlu membawamu ke rumah sakit,” kata Asyala dengan tegas.
Aiden tidak ingin membuat Asyala khawatir, tetapi dia tahu bahwa dia tidak dapat bertahan lebih lama. “Oke, mungkin itu ide yang baik.”
Asyala segera menghubungi Fauzan dan meminta bantuan. Dalam beberapa menit, Fauzan datang dan membantu mereka menuju mobil. Selama perjalanan ke rumah sakit, Aiden berusaha berbicara ringan, tetapi Asyala bisa merasakan ketegangan di udara.
Setibanya di rumah sakit, Aiden langsung diperiksa. Asyala menunggu di luar ruangan pemeriksaan, cemas dan tidak bisa duduk diam. “Aku harap semuanya baik-baik saja,” bisiknya kepada dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
Novela JuvenilAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...