Hari-hari berlalu dengan cepat setelah malam di café itu. Aiden dan Asyala semakin dekat, berbagi kebahagiaan dan kesedihan, mengatasi setiap tantangan yang datang. Aiden merasa ada sesuatu yang berharga dalam hubungan mereka, dan dia semakin yakin bahwa Asyala adalah orang yang tepat untuk mendampinginya.
Suatu sore, Aiden memutuskan untuk mengajak Asyala belajar bersama di taman kampus. Dia ingin menjadikan suasana belajar lebih santai, jauh dari tekanan kelas yang kaku. “Asyala, bagaimana kalau kita belajar di taman hari ini? Suasana di luar terasa lebih segar,” usul Aiden.
“Setuju! Kita bisa bawa makanan ringan dan belajar sambil menikmati udara segar,” jawab Asyala dengan antusias.
Mereka pun pergi ke taman dengan membawa buku-buku dan camilan. Saat duduk di bangku taman, Aiden mulai menjelaskan konsep yang sulit dalam pelajaran IPA. Asyala mendengarkan dengan seksama, berusaha memahami setiap kata yang diucapkan Aiden.
“Tapi Kak, kenapa harus rumus ini? Kenapa tidak ada cara lain yang lebih mudah?” Asyala bertanya, merasa frustrasi dengan materi yang harus mereka pelajari.
Aiden tersenyum. “Hidup ini penuh dengan tantangan, Asyala. Kadang kita harus menghadapi hal-hal yang sulit untuk mencapai apa yang kita inginkan. Tapi jika kita terus berusaha, kita akan menemukan cara yang lebih baik.”
Asyala merenung sejenak. “Kamu benar. Aku hanya merasa tertekan kadang-kadang. Sepertinya semua orang berharap aku sempurna.”
“Aku tahu perasaan itu. Tapi ingat, tidak ada yang sempurna. Yang terpenting adalah bagaimana kita bangkit dari kegagalan,” Aiden menjawab dengan lembut.
Setelah belajar cukup lama, mereka beristirahat sejenak. Asyala membuka bekal camilan yang mereka bawa, lalu menawarkan kepada Aiden. “Mau coba ini? Aku bikin sendiri, lho!”
Aiden mencoba dan memberi pujian, “Wow, ini enak sekali! Kamu pasti bisa jadi chef yang hebat suatu hari nanti.”
Asyala tersenyum bangga. “Terima kasih, Kak! Mungkin kita bisa masak bersama lagi di apartemenmu suatu waktu?”
“Deal! Tapi kita harus membuat sesuatu yang lebih kompleks kali ini,” jawab Aiden, menyusun rencana yang menyenangkan.
Setelah istirahat, mereka kembali melanjutkan belajar. Saat Asyala menjelaskan beberapa hal yang sudah dipelajarinya, Aiden terpesona melihat betapa semangatnya Asyala saat berbicara. Dia menyadari bahwa Asyala bukan hanya seorang siswi yang malas, tetapi juga seseorang yang punya potensi besar jika diberi dorongan yang tepat.
“Ternyata kamu bisa menjelaskan dengan baik, Asyala. Aku bangga padamu!” Aiden memujinya.
Asyala tersipu. “Terima kasih, Kak. Semua ini berkat bimbinganmu.”
Mereka melanjutkan belajar hingga matahari terbenam, menandakan akhir dari sesi belajar mereka. Sebelum pulang, Aiden dan Asyala duduk sejenak, menikmati pemandangan langit yang berubah warna.
“Aku suka saat-saat seperti ini. Rasanya tenang dan menyenangkan,” ujar Aiden, menatap Asyala.
“Begitu juga. Aku merasa beruntung bisa menghabiskan waktu bersamamu,” jawab Asyala dengan tulus.
Ketika mereka berjalan kembali ke kampus, Aiden merasakan sebuah keyakinan baru. Dia semakin mantap untuk membuka hatinya pada Asyala. Meski ada banyak rintangan di depan, dia tahu bahwa mereka bisa menghadapinya bersama.
Saat tiba di depan asrama Asyala, dia menatapnya dengan serius. “Asyala, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
Asyala melihatnya dengan penuh perhatian. “Apa itu, Kak?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
Novela JuvenilAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...