Setelah melewati masa-masa yang berat bersama Aiden, Asyala merasa mereka butuh sedikit udara segar. Dalam beberapa minggu terakhir, keadaan Aiden semakin membaik setelah perawatan intensif yang dijalani. Walaupun belum sepenuhnya sembuh, Aiden bisa beraktivitas lebih leluasa, dan kali ini, Asyala memiliki ide untuk mengajak Aiden berlibur ke Korea. Liburan ini juga sekaligus menjadi ajang untuk melupakan sejenak segala beban yang mereka rasakan selama ini.
“Kak, bagaimana kalau kita liburan?” tanya Asyala suatu sore ketika mereka sedang bersantai di kampus.
Aiden memandang Asyala dengan alis terangkat, sedikit terkejut. “Liburan? Ke mana?”
“Korea!” jawab Asyala dengan semangat, matanya berbinar-binar. “Aku tahu kamu belum pernah ke sana, dan aku juga ingin mencoba makanan-makanan Korea langsung di sana. Anggap saja ini hadiah kecil karena kamu sudah berjuang selama ini.”
Aiden terdiam sejenak, mempertimbangkan tawaran tersebut. Meski kesehatannya masih perlu diawasi, ia merasa ini kesempatan baik untuk merasakan kebebasan yang sudah lama hilang. “Hmm... kenapa tidak? Mungkin udara segar Korea bisa membantuku pulih lebih cepat.”
Rencana tersebut pun dibuat. Dalam beberapa hari, mereka sudah mengatur tiket pesawat, penginapan, dan daftar tempat-tempat yang ingin dikunjungi. Aiden dan Asyala berangkat ke Korea dengan penuh harapan untuk menikmati momen-momen tanpa tekanan dan kekhawatiran.
Begitu tiba di Seoul, mereka langsung terpesona oleh keindahan kota itu. Asyala sangat antusias ingin menjelajah berbagai destinasi, sementara Aiden, meski masih lemah, berusaha mengikuti semangatnya.
Hari pertama, mereka mengunjungi Gyeongbokgung Palace, sebuah istana megah yang kaya akan sejarah Korea. Asyala tak berhenti mengambil foto setiap sudut bangunan yang indah itu, sementara Aiden menikmati suasana damai di sana.
“Kak, coba lihat ini!” seru Asyala sambil menunjukkan salah satu fotonya yang penuh warna. “Bagus, kan?”
Aiden tersenyum lembut. “Iya, bagus banget. Aku nggak menyangka kalau kita akhirnya bisa sampai di sini.”
Selama di Korea, mereka juga mencoba berbagai makanan khas seperti tteokbokki, bibimbap, dan samgyeopsal. Asyala bahkan memberanikan diri untuk mencoba street food di Myeongdong, meski Aiden sedikit ragu karena kondisi kesehatannya. Namun, Asyala memastikan bahwa Aiden selalu membawa obat-obatannya dan tidak makan sesuatu yang bisa memperburuk kesehatannya.
Pada malam ketiga, mereka mengunjungi Namsan Tower. Dari puncak menara, mereka bisa melihat pemandangan kota Seoul yang gemerlap di malam hari. Lampu-lampu yang bersinar terang, suasana romantis, dan udara sejuk membuat momen itu begitu berkesan.
“Aku senang kamu bisa ikut ke sini, Kak,” ujar Asyala sambil menatap pemandangan di bawah mereka.
“Aku juga senang. Ini lebih dari yang kubayangkan,” jawab Aiden sambil merapatkan jaketnya. “Terima kasih sudah membawaku ke sini, Sa. Kamu tahu kan, aku nggak pernah merasa sebebas ini sebelumnya.”
Asyala hanya tersenyum. Ia tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang bersenang-senang, tapi juga memberi kesempatan bagi Aiden untuk merasa hidup kembali. Di tengah segala perjuangan melawan penyakitnya, liburan ini adalah momen di mana mereka bisa melupakan semuanya dan hanya menikmati kebersamaan.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Mereka juga mengunjungi tempat-tempat seperti Bukchon Hanok Village, Dongdaemun Design Plaza, dan mencoba bermain di Lotte World, sebuah taman hiburan yang terkenal. Aiden mungkin tidak bisa terlalu aktif, tetapi kehadirannya saja sudah membuat Asyala merasa lengkap.
Saat liburan hampir berakhir, Aiden dan Asyala duduk di tepi Sungai Han, menikmati angin sepoi-sepoi. Aiden tampak merenung, menatap aliran sungai yang tenang.
“Kamu tahu, Sa... aku mulai berpikir, mungkin aku harus mulai lebih terbuka dengan keluargaku soal penyakitku,” kata Aiden tiba-tiba.
Asyala menatapnya. “Kenapa tiba-tiba berpikir begitu, Kak?”
“Aku nggak bisa terus-terusan menyembunyikan ini. Aku merasa berhutang penjelasan kepada mereka, meskipun aku tahu mereka menjodohkan kita hanya karena alasan kesehatan. Tapi... aku merasa aku harus jujur.”
Asyala mengangguk pelan. “Itu keputusan yang bagus, Kak. Aku yakin, apapun yang terjadi, keluargamu akan mendukungmu. Dan aku... aku akan selalu ada di sini untukmu.”
Mereka berdua terdiam, menikmati ketenangan malam itu. Liburan di Korea tidak hanya menjadi pelarian dari masalah, tapi juga menjadi waktu refleksi bagi Aiden. Ia sadar, hidupnya tidak akan sama lagi, tetapi setidaknya ia memiliki orang-orang yang peduli padanya—terutama Asyala.
Hari terakhir mereka di Korea dipenuhi dengan rasa campur aduk. Asyala dan Aiden telah menikmati setiap momen, namun ada perasaan bahwa liburan ini adalah sekejap pelarian dari kenyataan yang menunggu mereka di rumah. Meski begitu, Asyala bertekad untuk mengakhiri perjalanan ini dengan penuh keceriaan.
Mereka memutuskan untuk menghabiskan hari terakhir mereka di Itaewon, distrik yang terkenal dengan kafe-kafe unik dan berbagai kuliner internasional. Aiden, yang selama liburan ini cenderung lebih banyak mengikuti Asyala, mulai menunjukkan sedikit rasa senangnya sendiri. Ia tertarik dengan budaya dan makanan dari berbagai negara yang bisa ditemukan di satu tempat.
"Kayaknya seru kalau kita coba makanan Timur Tengah, deh," saran Aiden, melihat sebuah restoran yang ramai dengan pelanggan. "Selama ini kan kita udah coba banyak makanan Korea. Gimana kalau kita coba yang beda?"
Asyala mengangguk dengan antusias. "Boleh banget! Aku juga penasaran sama makanan di sini."
Mereka pun masuk ke restoran itu dan menikmati hidangan khas Timur Tengah. Sambil menyantap makanan, Asyala sesekali mengamati wajah Aiden yang tampak lebih rileks dibandingkan hari-hari sebelumnya. Meskipun ia masih lemah dan kesehatannya belum pulih sepenuhnya, ada sinar di matanya yang membuat Asyala lega.
Setelah makan, mereka berkeliling area Itaewon, mengunjungi toko-toko kecil yang menjual barang-barang unik. Asyala membeli beberapa oleh-oleh untuk teman-teman dan keluarganya, sementara Aiden hanya melihat-lihat. Namun, saat mereka masuk ke sebuah toko yang menjual aksesoris buatan tangan, Aiden tampak tertarik pada gelang kulit sederhana dengan ukiran di atasnya.
“Bagus nih, aku suka yang simpel-simpel kayak gini,” ujar Aiden sambil mengamati gelang itu.
“Kamu mau beli?” tanya Asyala.
Aiden tersenyum kecil. “Nggak usah, kamu aja yang beli kalau suka.”
Asyala mendengus. “Nggak usah bohong, Kak. Aku tahu kamu pengen.”
Akhirnya, tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Asyala membelikan gelang itu untuk Aiden sebagai kenang-kenangan. “Ini untuk kamu. Kalau lihat gelang ini, ingat ya, ada aku yang selalu dukung kamu.”
Aiden tampak terharu, tapi ia menyembunyikan perasaannya dengan senyuman. “Makasih, Sa. Ini berarti banyak buatku.”
Sore harinya, mereka memutuskan untuk naik Han River Cruise, mengelilingi sungai Han sambil menikmati matahari terbenam. Suasana romantis dan damai terasa begitu kuat. Aiden dan Asyala duduk berdampingan di dek kapal, memandang ke arah langit yang berangsur-angsur berubah warna menjadi oranye keemasan.
“Kak, setelah kita balik ke Indonesia... apa yang akan kamu lakukan?” tanya Asyala, memecah keheningan.
Aiden terdiam sejenak sebelum menjawab. “Aku belum tahu, Sa. Yang pasti, aku harus menghadapi kenyataan soal penyakitku. Aku juga harus bicara dengan keluargaku, seperti yang sudah aku bilang sebelumnya. Tapi... di balik semua itu, aku akan berusaha terus menjalani hidup dengan tenang, seperti sekarang ini.”
Asyala tersenyum. “Aku percaya kamu bisa, Kak. Dan aku akan selalu ada di sampingmu.”
Malam itu menjadi penutup yang indah dari liburan mereka. Meski perjalanan ke Korea hanyalah sementara, kenangan yang mereka ciptakan akan tetap bersama mereka selamanya.
Keesokan harinya, dengan hati yang sedikit berat, mereka meninggalkan Korea dan kembali ke Indonesia. Saat pesawat lepas landas, Asyala menatap ke arah Aiden yang tertidur di sampingnya. Meski perjalanan mereka kembali ke kenyataan sudah dimulai, Asyala tahu bahwa apapun yang akan terjadi selanjutnya, mereka akan selalu bersama dalam setiap langkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
Roman pour AdolescentsAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...