Bab 27: Keputusan Besar

11 8 0
                                    

Pagi di rumah sakit terasa lebih sunyi daripada biasanya. Aiden Bhayangkara, yang terbiasa dengan dering alat medis dan langkah sibuk perawat, kini hanya bisa memandangi jendela kamar rawat inapnya dengan pikiran yang berat. Ia tahu, hari ini akan menjadi hari yang penuh keputusan besar.

Di sisi lain, Asyala duduk diam di kursi di sebelah ranjangnya. Sudah seminggu sejak Aiden terakhir kali membuka diri tentang penyakitnya yang semakin parah. Sejak saat itu, Asyala tak pernah lagi meninggalkan Aiden sendirian. Mereka sering berbicara-tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan yang semakin tak pasti.

Namun, hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Aiden tampak lebih tenang, tetapi juga lebih serius dari biasanya. Seolah-olah dia telah memikirkan sesuatu yang penting semalaman.

"Asyala," Aiden memulai dengan suara pelan namun tegas. "Aku perlu bicara."

Asyala menatap Aiden, merasa sedikit gugup, tetapi dia mengangguk, memberi Aiden ruang untuk melanjutkan.

"Aku sudah lama memikirkan ini," kata Aiden sambil mengambil napas dalam-dalam. "Aku nggak bisa terus begini. Aku nggak bisa terus menyembunyikan kondisiku dari orang-orang di sekitarku. Terutama keluargaku."

Asyala terdiam, menunggu Aiden melanjutkan.

"Mereka harus tahu," lanjutnya. "Aku tahu bahwa orang tuaku menjodohkan aku denganmu hanya karena mereka ingin ada yang menjagaku. Tapi ini lebih dari sekadar perjodohan. Ini hidupku. Ini tubuhku yang sedang berjuang."

Asyala menarik napas dalam-dalam, merasa berat dengan kata-kata Aiden. Dia tahu betul bahwa keputusan untuk mengungkapkan kondisi kesehatannya kepada keluarga bukanlah hal yang mudah bagi Aiden.

"Kamu benar, Kak," jawab Asyala dengan lembut. "Mereka harus tahu. Kamu nggak bisa terus menghadapi ini sendirian. Aku akan ada di sini untuk mendukungmu, tapi keluargamu juga harus tahu."

Aiden tersenyum lemah. "Aku tahu. Aku sudah memutuskan untuk bicara dengan mereka hari ini."

Asyala tersentuh dengan keberanian Aiden. Dia tahu bahwa keputusan ini pasti sulit bagi Aiden, terutama mengingat hubungan mereka yang tidak begitu dekat. Tapi dia juga tahu bahwa ini adalah langkah penting untuk kesembuhan, bukan hanya fisik, tapi juga emosional.

"Kamu mau aku temani?" tanya Asyala.

Aiden mengangguk pelan. "Aku butuh kamu di sana."

---

Sore itu, Aiden dan Asyala bertemu dengan keluarga Aiden di ruang pertemuan rumah sakit. Orang tua Aiden-Pak Bhayangkara dan Bu Ratna-tampak kebingungan. Mereka tidak pernah mengira akan dipanggil ke rumah sakit untuk pertemuan semacam ini.

"Kenapa kita dipanggil?" tanya Bu Ratna, nada suaranya terdengar cemas.

Aiden menatap kedua orang tuanya dengan tatapan serius. "Ada yang perlu kalian ketahui. Selama ini, aku sudah berusaha menahan diri untuk tidak membuat kalian khawatir. Tapi aku nggak bisa lagi menyembunyikannya."

Pak Bhayangkara menatap Aiden dengan tatapan bingung. "Apa maksudmu, Nak?"

Aiden menarik napas dalam-dalam sebelum menjelaskan semua tentang penyakit autoimunnya yang semakin parah, hingga merambat ke ginjal. Dia menceritakan semua yang telah dia lalui selama ini-dari pemeriksaan rutin hingga bagaimana dia menyembunyikan kondisinya karena tidak ingin membebani keluarganya.

Bu Ratna tampak shock. Air matanya mulai mengalir ketika mendengar bahwa kondisi Aiden lebih parah daripada yang ia kira.

"Kenapa kamu nggak bilang, Aiden?" Bu Ratna bertanya dengan suara bergetar. "Kami adalah keluargamu. Kami harus tahu!"

Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang