Hari demi hari berlalu, dan hubungan Aiden dan Asyala semakin erat. Dukungan Asyala membuat Aiden merasa lebih kuat, meskipun kondisi kesehatannya masih menjadi tantangan yang besar. Asyala selalu ada di samping Aiden, baik saat di rumah sakit maupun di kampus. Ia memastikan Aiden tidak merasa sendirian dalam perjuangan melawan penyakitnya.
Namun, semakin hari, Aiden mulai merasa bahwa dirinya menjadi beban bagi Asyala. Dia mulai memikirkan masa depan mereka berdua, apakah Asyala benar-benar bisa terus bersamanya, apalagi dengan kondisinya yang semakin sulit. Pada suatu malam, saat mereka sedang duduk bersama di apartemen Aiden, Aiden memutuskan untuk membuka topik yang selama ini ia pendam.
“Asyala, aku sudah lama ingin membicarakan sesuatu denganmu,” kata Aiden dengan suara lembut, tapi tegas.
Asyala yang sedang duduk di sofa, langsung memusatkan perhatiannya pada Aiden. “Ada apa, Kak? Kamu terlihat serius.”
Aiden menatap matanya dalam-dalam, mencoba mencari kekuatan untuk melanjutkan pembicaraan. “Aku sudah memikirkan ini untuk waktu yang lama. Tentang kita… dan masa depan kita.”
Asyala merasa ada yang aneh dengan nada bicara Aiden, tapi dia menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Kamu sudah melakukan begitu banyak untukku, Asyala. Dan aku sangat bersyukur untuk semua itu. Tapi… aku merasa bahwa aku hanya akan menjadi beban untukmu di masa depan. Kondisiku tidak membaik, dan aku tidak ingin kamu mengorbankan hidupmu untuk mengurusku. Kamu pantas mendapatkan seseorang yang bisa memberimu kebahagiaan tanpa harus dibebani dengan penyakit seperti ini,” kata Aiden dengan nada sedih.
Mata Asyala membesar. “Kak, apa yang kamu bicarakan? Aku di sini bukan karena aku merasa terbebani. Aku di sini karena aku peduli padamu, dan aku ingin bersama kamu melalui semua ini.”
“Tapi Asyala… aku takut kalau aku terus seperti ini, aku hanya akan membuatmu semakin sulit. Aku tidak mau kamu merasa terjebak dalam situasi ini,” lanjut Aiden, matanya mulai berair.
Asyala menggenggam tangan Aiden erat-erat. “Dengar, Kak. Aku memilih untuk ada di sini. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku tidak pernah merasa terjebak. Kamu adalah bagian dari hidupku, dan aku ingin menjadi bagian dari hidupmu juga. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi yang aku tahu adalah kita bisa melewatinya bersama.”
Aiden menunduk, air mata mulai jatuh di pipinya. “Aku hanya tidak ingin kamu menderita karenaku…”
Asyala menarik wajah Aiden agar mereka saling bertatapan. “Aku sudah bilang, Kak. Aku di sini bukan karena terpaksa. Aku di sini karena aku ingin. Dan aku tidak akan ke mana-mana.”
Aiden terdiam, hatinya penuh dengan emosi. Dia tahu bahwa Asyala tulus, tetapi rasa takut dan tidak amannya terus menghantuinya. Meski begitu, dalam momen ini, dia merasa bahwa dengan Asyala di sisinya, dia memiliki kekuatan untuk menghadapi apa pun yang datang.
Malam itu menjadi titik balik bagi keduanya. Mereka sepakat untuk tidak lagi menyimpan kekhawatiran atau rasa takut mereka sendiri. Mereka akan berjalan bersama, tidak peduli seberapa berat jalan yang harus mereka tempuh.
Keesokan harinya, Aiden merasa lebih lega. Ia kembali fokus pada kesehatannya dan mulai menjalani perawatan lebih intensif dengan bantuan Asyala. Di kampus, mereka berusaha menjalani hidup seperti biasa, meski terkadang kondisi Aiden membuat mereka harus beradaptasi.
Namun, di balik semua itu, ada kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kebahagiaan bahwa mereka memiliki satu sama lain. Asyala dan Aiden tahu bahwa apapun yang terjadi, mereka akan selalu bersama menghadapi semuanya.
Di tengah kebersamaan mereka, rencana liburan ke Korea yang sempat tertunda kembali dibicarakan. Asyala mengusulkan untuk mengambil cuti sejenak dan mengajak Aiden berlibur, menghilangkan penat dan kekhawatiran yang sudah menumpuk. Meski awalnya Aiden ragu, akhirnya ia setuju, merasa bahwa mungkin itu adalah waktu yang tepat untuk menikmati momen bersama tanpa terlalu banyak memikirkan penyakitnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
Ficção AdolescenteAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...