9. Sendirian di kamar kos

17 10 0
                                    

Minggu itu, Aiden duduk sendirian di kamarnya yang sempit. Suara tawa anak-anak dan keluarga dari luar terdengar samar melalui jendela kamar kos. Musim liburan sudah tiba, dan hampir semua orang di sekitarnya pergi menikmati waktu bersama keluarga. Namun, bagi Aiden, liburan kali ini berbeda ia tidak memiliki rencana apa-apa. Bahkan, keluarganya pun sudah berangkat ke luar kota untuk liburan, meninggalkannya sendiri di kota untuk fokus pada kesehatannya.

Sambil duduk di atas kasur dengan punggung bersandar pada dinding, Aiden menatap layar ponselnya. Chat keluarganya ramai dengan foto-foto dan pesan-pesan kebahagiaan. Ayah, ibu, dan adiknya tampak senang di pantai, sementara Aiden hanya mendapat satu pesan singkat dari ibunya: **"Jangan lupa makan, uang sudah ditransfer."**

Hanya itu. Tidak ada pertanyaan tentang bagaimana perasaannya, bagaimana kondisi kesehatannya, atau apakah dia membutuhkan sesuatu. Seolah-olah, mereka menganggap Aiden baik-baik saja hanya karena mereka sudah mentransfer uang untuk makan. Perasaan hampa menyelimuti dirinya, seperti ada jarak yang begitu besar antara dia dan keluarganya, meskipun mereka hanya berjarak beberapa kota.

Aiden membuka aplikasi perbankan di ponselnya dan melihat saldo rekeningnya. Uang yang ditransfer keluarganya hanya cukup untuk makan sehari-hari, tanpa ada sisa untuk kebutuhan lain. Dia merasa tak dihiraukan, seakan penyakit dan perjuangannya menghadapi autoimun hanyalah beban yang tak ingin diakui oleh keluarganya.

"Ya, hanya untuk makan saja," gumam Aiden dengan senyum pahit, menutup aplikasi itu dan melemparkan ponselnya ke atas kasur.

Rasa sepi yang semakin dalam mulai menguasai pikirannya. Hari-hari yang biasanya dihabiskan dengan penuh aktivitas kini terasa begitu lambat. Tanpa ada yang peduli pada kondisinya, Aiden terpaksa menyembunyikan semua rasa sakitnya sendiri. Bahkan, rasa lelah dan nyeri di tubuhnya semakin parah, tetapi ia tidak ingin mengeluh atau meminta pertolongan.

Sore itu, Aiden memutuskan untuk keluar sebentar. Mungkin udara segar bisa sedikit mengurangi beban pikiran yang berat. Ia berjalan keluar dari kamar kosnya dan menelusuri jalanan sepi di sekitar kampus. Kafe-kafe dan toko-toko kecil tampak ramai oleh keluarga-keluarga yang sedang menikmati waktu bersama. Setiap sudut tampak dipenuhi dengan tawa dan kebahagiaan, sesuatu yang terasa begitu jauh dari hidup Aiden saat ini.

Setelah beberapa saat berjalan, Aiden menemukan bangku kosong di taman kecil dekat kampus dan duduk di sana. Di sekitarnya, pasangan muda terlihat menikmati es krim, sementara anak-anak berlarian riang. Namun, Aiden hanya menatap lurus ke depan, pikirannya mengembara.

"Hidupku rasanya seperti jalan di tempat," gumamnya pelan.

Ia memikirkan Asyala, sosok yang selalu memberikan semangat di saat-saat sulit. Namun, bahkan pada saat seperti ini, Aiden tidak ingin membebani Asyala dengan masalahnya. Dia tahu bahwa Asyala memiliki kehidupan dan masalahnya sendiri. Meski terikat oleh perjodohan yang dipaksakan, Aiden merasa bahwa Asyala tidak pantas terbebani oleh kondisinya.

Namun, meski begitu, ada rasa sepi yang tak tertahankan. Di saat seperti ini, Aiden berharap ada seseorang yang bisa benar-benar memahami apa yang ia alami. Keluarga, teman, atau bahkan Asyala. Tapi, kenyataannya, ia merasa terisolasi dan sendirian, menghadapi perjuangan ini dengan kekuatannya sendiri.

Setelah beberapa jam, Aiden kembali ke kosannya. Tubuhnya terasa semakin lelah, dan ia hanya ingin berbaring. Kembali ke kamarnya yang sepi, Aiden berbaring di kasur dan menatap langit-langit.

“Mungkin ini memang jalanku,” pikirnya.

Hari berlalu, dan Aiden mulai terbiasa dengan kesendirian itu. Setiap pagi, ia bangun, makan seadanya, dan menghabiskan waktu di kamar kos. Saat keluarga dan orang-orang di sekitarnya menikmati liburan, ia berjuang dalam diam, mencoba bertahan dengan segala keterbatasan.

Namun, meskipun hari-harinya tampak suram, Aiden tidak menyerah. Di dalam hatinya, ia bertekad untuk terus berjuang, meskipun tanpa dukungan penuh dari keluarganya. Ini adalah pertempurannya sendiri, dan ia harus melewatinya, apapun yang terjadi.

Malam itu, hujan turun dengan deras di luar jendela kosan Aiden. Suara tetesan air yang jatuh ke genting atap menjadi satu-satunya pengisi kesunyian. Aiden duduk di depan laptopnya, mencoba mengalihkan pikirannya dengan tugas-tugas kuliah, tetapi pikirannya terlalu berantakan untuk fokus. Ia terus memikirkan keluarganya yang sedang bersenang-senang tanpa sedikit pun memikirkan kondisinya.

Sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya, Aiden memandangi layar kosong di depannya. Beberapa kali ia ingin mengirim pesan kepada Asyala, tapi tangannya selalu terhenti di atas tombol kirim. **"Apa aku akan terlihat lemah jika menghubungi dia sekarang?"** pikirnya. Meskipun dia tahu Asyala akan mendukungnya, ada rasa enggan untuk menunjukkan kelemahannya.

Sementara itu, rasa sakit di tubuhnya semakin terasa. Nyeri di ginjalnya datang dan pergi, kadang begitu kuat hingga membuatnya sulit bergerak. Namun, Aiden tetap menahan semuanya, memilih untuk tidak membiarkan orang lain tahu, bahkan keluarganya sendiri.

Suara notifikasi ponsel memecah keheningan. Sebuah pesan dari adiknya muncul.

**"Bang, udah makan? Jangan lupa ya. Kami baru sampai hotel. Besok mau jalan-jalan ke tempat yang seru banget."**

Aiden menghela napas panjang. Pesan itu terasa begitu dangkal, seolah hanya sebuah kewajiban untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja tanpa benar-benar peduli. Ia tidak membalas pesan itu, hanya menutup aplikasi dan meletakkan ponselnya di samping laptop.

Setelah beberapa saat, suara perutnya yang keroncongan memaksanya bangun. Ia melihat ke dapur kecil di kosan, di mana hanya ada sedikit makanan tersisa. Aiden membuka lemari dan menemukan sebungkus mie instan—lagi-lagi pilihan terakhir ketika uangnya tidak cukup untuk membeli makanan sehat.

Saat air mulai mendidih di panci, Aiden berdiri di depan kompor dengan tatapan kosong. Dalam hatinya, ia merasakan kekosongan yang begitu besar. Tidak ada dukungan nyata dari keluarganya, tidak ada orang yang bisa diajak berbicara tentang rasa sakitnya, dan hanya ada dirinya yang harus menghadapi semuanya sendiri.

Setelah mie instan siap, Aiden duduk kembali di meja makan kosannya yang sederhana. Ia memandangi makanan itu tanpa nafsu makan. Rasa lelah, baik secara fisik maupun mental, seolah menenggelamkannya.

Ia mengambil ponselnya lagi dan kali ini, dengan ragu-ragu, mengirim pesan singkat kepada Asyala.

**"Hei, kamu lagi sibuk?"**

Asyala membalas tak lama kemudian.

**"Nggak kok, kenapa? Ada apa, Aiden?"**

Aiden merasa terjebak. Di satu sisi, ia ingin jujur tentang kondisinya. Tapi di sisi lain, ia tidak ingin membuat Asyala khawatir. Ia menahan napas sejenak, lalu membalas dengan nada yang lebih santai dari yang ia rasakan.

**"Cuma mau ngobrol aja. Kamu lagi ngapain sekarang?"**

**"Baru selesai ngerjain tugas. Kamu lagi di kosan?"**

**"Iya, di kosan. Tadi baru makan, mie instan, hahaha."** Aiden mencoba bercanda, tapi hatinya tidak ikut tertawa.

Asyala merespons dengan cepat. **"Mie instan terus. Nggak bagus buat kesehatan kamu, Aiden."**

**"Ya, tahu. Tapi nggak ada pilihan lain. Hehe."** Aiden mencoba mengalihkan percakapan, meski hatinya mulai terasa sesak.

Asyala terdiam beberapa saat sebelum mengirim pesan lagi. **"Aiden, kamu baik-baik aja, kan? Aku punya perasaan aneh, kamu nggak terlihat seperti biasanya."**

Aiden menatap pesan itu dengan lama. Asyala, meskipun tidak tahu seluruh situasinya, selalu bisa merasakan ketika ada yang salah dengannya. Akhirnya, Aiden mengetikkan pesan singkat:

**"Aku baik-baik aja, kok. Cuma lagi capek. Mungkin nanti kita bisa ketemu dan ngobrol. Aku cuma butuh istirahat."**

Asyala setuju, tapi ada nada kekhawatiran dalam pesannya. Aiden merasa sedikit bersalah karena tidak memberitahukan hal yang sebenarnya, tetapi ia tidak mau melibatkan Asyala lebih jauh dalam kesulitannya.

Selesai makan, Aiden kembali ke kasurnya. Hujan di luar semakin deras, seolah mencerminkan perasaannya yang kacau. Dalam kesendirian, Aiden mencoba memejamkan mata, berharap bisa menemukan sedikit kedamaian dalam tidur. Namun, pikiran tentang penyakitnya, keluarga yang abai, dan kehidupan yang penuh kesepian terus menghantui.

**"Mungkin ini waktunya aku benar-benar bicara jujur ke Asyala,"** pikirnya sebelum akhirnya tertidur dengan gelisah.

Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang