Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Aiden mulai lebih terbuka kepada Asyala tentang kondisinya. Ia mulai berbicara tentang pengobatan yang dijalaninya, kesulitan yang dihadapinya, dan bahkan ketakutannya akan masa depan. Meskipun sulit, percakapan-percakapan ini membuat keduanya semakin dekat.
Suatu sore, Asyala datang dengan kabar baik. "Aiden, aku mendapatkan informasi tentang sebuah klinik baru yang memiliki program perawatan untuk penyakit autoimun. Banyak pasien yang berhasil di sana!" kata Asyala dengan semangat.
Aiden terlihat sedikit lebih ceria. "Benarkah? Tapi apakah itu aman? Bagaimana kalau pengobatannya tidak berhasil?"
"Kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu. Aku bisa menemanimu untuk berkonsultasi. Kita akan melalui ini bersama-sama," Asyala meyakinkan.
Aiden menatap Asyala, merasa terharu dengan dukungannya. "Kamu benar. Aku akan mencoba. Mungkin ini adalah kesempatan yang aku butuhkan."
Dengan tekad baru, mereka mulai merencanakan kunjungan ke klinik tersebut. Aiden merasa lebih bersemangat dan bersyukur memiliki Asyala di sampingnya. Dia juga merasa terinspirasi untuk menjalani gaya hidup lebih sehat, termasuk diet yang lebih baik dan olahraga ringan.
Beberapa hari setelahnya, mereka pun pergi ke klinik untuk melakukan konsultasi. Di sana, dokter menjelaskan berbagai pilihan pengobatan yang bisa diambil, serta langkah-langkah yang harus diikuti untuk meminimalkan risiko.
Selama konsultasi, Aiden merasa optimis. Dia mendengarkan dengan seksama, mencatat setiap informasi yang diberikan dokter. Asyala juga aktif bertanya, menunjukkan kepeduliannya. Melihat Aiden yang bersemangat membuatnya merasa lega.
Setelah selesai, saat mereka berjalan keluar dari klinik, Asyala menggenggam tangan Aiden. "Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku bangga padamu. Kamu sangat berani."
Aiden tersenyum, merasa hangat dengan perhatian Asyala. "Itu semua karena kamu. Tanpamu, mungkin aku sudah menyerah."
Mereka kembali ke apartemen, dan Aiden merasa lebih ringan. Ia tahu bahwa jalan menuju kesembuhan tidak akan instan, tetapi dengan dukungan Asyala, ia merasa lebih kuat untuk menghadapinya.
Namun, tak lama setelah itu, Aiden merasakan sakit di punggungnya. Rasa nyeri ini cukup membuatnya tidak nyaman. Saat Asyala melihat ekspresi wajahnya yang meringis, ia segera bertanya, "Ada apa, Aiden? Kamu terlihat tidak baik."
Aiden berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. "Ah, mungkin aku hanya lelah. Aku baru saja pulang dari klinik."
Asyala tidak mudah percaya. "Kamu pasti tidak hanya lelah. Mari kita periksa ke dokter lagi. Jangan sekali-kali menahan rasa sakit."
"Aku baik-baik saja, Asyala. Sungguh," Aiden berusaha meyakinkan, tetapi Asyala tidak dapat menutupi kekhawatirannya.
"Jangan seperti itu, Aiden. Kamu harus peduli pada kesehatanmu. Jika kamu tidak memperhatikan sinyal tubuhmu, semuanya bisa jadi lebih buruk," Asyala bersikeras.
Setelah melihat wajah khawatir Asyala, Aiden mengangguk. "Baiklah, kita bisa pergi ke dokter lagi."
Mereka pergi ke rumah sakit, dan dokter mengatur pemeriksaan ulang. Setelah menunggu beberapa saat, dokter masuk ke ruang konsultasi.
"Setelah melihat hasil pemeriksaan, sepertinya kita perlu melakukan beberapa tes tambahan untuk memastikan tidak ada komplikasi lebih lanjut," kata dokter dengan nada serius.
Asyala menahan napas, merasa cemas. "Apakah ada yang salah, Dok?"
Dokter menjelaskan, "Kami akan melakukan tes darah dan pemindaian untuk melihat kondisi ginjal Aiden lebih lanjut. Penting untuk mengetahui seberapa parah keadaannya agar kami bisa meresepkan pengobatan yang tepat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
Dla nastolatkówAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...