Hari-hari berlalu, dan Aiden serta Asyala semakin sering menghabiskan waktu bersama. Meski Aiden masih harus menghadapi pemeriksaan kesehatan rutin, dukungan Asyala membuatnya merasa lebih kuat. Namun, di balik senyuman dan keceriaan mereka, Aiden menyimpan kekhawatiran yang dalam tentang masa depannya.
Suatu sore, Aiden memutuskan untuk mengajak Asyala ke kafe favorit mereka. Tempat itu nyaman, dengan suasana tenang yang cocok untuk berbicara serius. Sambil menunggu pesanan, Aiden mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbagi tentang penyakitnya.
“Asyala,” panggil Aiden dengan suara lembut, “ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
“Ya, Aiden. Apa itu?” Asyala menjawab, mengalihkan perhatian dari ponselnya.
Aiden menatapnya, merasakan ketegangan di dadanya. “Aku tahu kita telah banyak berbicara tentang masa depan dan impian kita, tapi aku perlu kau tahu tentang kondisi kesehatanku.”
Asyala tampak terkejut. “Kondisi kesehatan? Maksudmu, apa yang kau sembunyikan dariku?”
“Aku... aku sudah menjalani beberapa tes dan dokter memberitahuku bahwa penyakit autoimunku sudah cukup parah, dan sekarang mulai memengaruhi ginjalku. Aku masih berjuang, tapi aku takut,” Aiden mengungkapkan, suaranya bergetar.
Wajah Asyala memucat, dan matanya terlihat khawatir. “Kenapa kau tidak memberi tahuku lebih awal? Aku bisa membantu.”
“Aku tidak ingin kau khawatir. Aku juga tidak ingin mengganggu kebahagiaan kita. Setiap kali aku bersamamu, aku merasa lebih baik. Tapi aku tidak ingin kau terjebak dalam masalahku,” jawab Aiden, merendahkan pandangannya.
Asyala menggenggam tangan Aiden, memberikan ketenangan. “Aiden, aku di sini bukan hanya untuk senangnya. Aku juga di sini untuk bersamamu dalam masa-masa sulit. Kita bisa menghadapi ini bersama.”
Aiden terharu mendengar kata-kata Asyala. “Kau benar, dan aku sangat menghargai semua yang kau lakukan untukku. Aku hanya perlu waktu untuk beradaptasi dengan semua ini.”
Setelah beberapa saat, makanan mereka tiba, dan suasana kembali terasa lebih hangat. Mereka mulai berbicara tentang hal-hal ringan, tetapi Aiden merasakan beban di hatinya masih ada. Dia tahu, suatu hari, dia harus berhadapan dengan kenyataan bahwa dia harus menjalani perawatan intensif dan kemungkinan perubahan besar dalam hidupnya.
Setelah makan, Aiden dan Asyala berjalan di taman dekat kafe. Suara kicauan burung dan aroma bunga membuat suasana lebih tenang. Tiba-tiba, Aiden teringat sesuatu.
“Apakah kau ingin pergi ke konser lagi? Mungkin itu bisa mengalihkan perhatian kita dari semua ini,” usul Aiden.
Asyala tersenyum. “Tentu, aku akan senang pergi ke konser lagi! Tapi kali ini, kau harus berjanji untuk tidak terlalu memaksakan diri.”
“Aku janji,” Aiden berkomitmen, merasa lebih lega.
Setibanya di rumah, Aiden merenungkan apa yang telah dia bagikan dengan Asyala. Dia merasa lebih ringan, dan melihat masa depan tidak semenyedihkan yang dia bayangkan. Meskipun jalan di depannya tidak mudah, dia tahu bahwa dengan Asyala di sisinya, dia tidak akan menghadapi semuanya sendirian.
Sementara itu, Asyala pun merasa lega bisa mengetahui lebih banyak tentang Aiden. Dia bertekad untuk mendukung Aiden dalam setiap langkah yang diambil, termasuk menemani Aiden ke rumah sakit untuk perawatan selanjutnya. Dia tidak akan membiarkan Aiden menghadapi kenyataan pahit ini sendirian.
Keduanya bertekad untuk saling mendukung, meski perjalanan yang harus mereka lalui tidak pasti. Dalam keheningan malam itu, mereka tahu bahwa cinta dan dukungan satu sama lain adalah kekuatan terbesar mereka.
Hari-hari setelah percakapan itu berlalu dengan campuran kebahagiaan dan kekhawatiran. Aiden dan Asyala berusaha menjalani rutinitas mereka seperti biasa, tetapi kesadaran akan kondisi kesehatan Aiden menghantui pikiran mereka.
Suatu sore, saat mereka duduk di taman kampus, Asyala memperhatikan Aiden yang tampak lebih lelah dari biasanya. "Aiden, kau terlihat tidak fit. Apa kau sudah melakukan pemeriksaan seperti yang dijadwalkan?" tanyanya khawatir.
Aiden menghela napas. "Aku sudah, dan dokter bilang aku perlu menjalani perawatan lebih intensif. Mereka mungkin harus mulai dengan terapi," jawabnya pelan.
Asyala merasakan jantungnya berdegup kencang. "Apa itu berarti kau harus dirawat di rumah sakit lebih lama?"
Aiden mengangguk. "Ya, kemungkinan besar. Tapi jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Aku akan berjuang."
"Dan aku akan di sini bersamamu," kata Asyala tegas. "Aku akan menemanimu setiap langkah, baik di rumah sakit maupun di luar."
Mendengar kata-kata Asyala memberinya kekuatan. Dia meraih tangan Asyala dan menggenggamnya erat. "Aku beruntung memilikimu di sisiku."
Malam itu, setelah makan malam, Aiden merasa gelisah. Dia tidak ingin terlalu membebani Asyala, tetapi dia juga tahu bahwa mereka harus menghadapi kenyataan ini bersama. Dalam diam, dia memutuskan untuk berbagi lebih banyak tentang perasaannya.
"Setiap kali aku memikirkan tentang terapi dan kemungkinan dirawat lebih lama, aku merasa takut," kata Aiden, suaranya bergetar. "Takut akan rasa sakit, takut tidak bisa berfungsi seperti biasa, dan yang terpenting, takut membuatmu merasa terbebani."
Asyala memandangnya dengan penuh perhatian. "Aiden, kita tidak bisa menghindari ketakutan itu. Tapi ingat, kau tidak sendirian. Kita bisa menghadapinya bersama. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada di sini untukmu."
Kata-kata Asyala menguatkan hati Aiden. Dia tahu bahwa menghadapi ketakutan dan rasa sakit itu lebih mudah jika dia tidak melakukannya sendirian. "Terima kasih, Asyala. Ini semua terasa lebih ringan jika kau ada di sini."
Keesokan harinya, Aiden menjalani tes tambahan di rumah sakit. Asyala menemani dan bersikap tegar, meskipun di dalam hati, dia merasa khawatir. Saat Aiden masuk ke ruang perawatan, dia menunggu di luar, berdoa agar semuanya berjalan lancar.
Setelah beberapa jam, Aiden keluar dengan wajah yang tampak lelah tetapi tenang. "Dokter mengatakan aku perlu memulai terapi secepatnya. Mereka ingin memantau kondisiku lebih dekat," jelas Aiden.
Asyala menatapnya, berusaha memberi semangat. "Apa pun yang dokter katakan, kita akan melaluinya. Aku akan memastikan kamu tetap mendapatkan semua dukungan yang kamu butuhkan."
Mereka berjalan kembali ke mobil, dan Aiden merasakan kekuatan baru dalam hatinya. Meski perjalanan ke depan masih panjang dan penuh ketidakpastian, dia merasa yakin bisa menghadapinya selama Asyala ada di sisinya.
Di malam hari, saat mereka berdua berbaring di atas atap rumah, menatap bintang-bintang, Aiden mulai berbicara tentang harapannya. "Suatu hari, aku ingin melihat kita berdua meraih impian kita, berkeliling dunia, tanpa merasa tertekan oleh penyakit ini."
Asyala tersenyum, hatinya hangat mendengar harapan Aiden. "Kita pasti bisa melakukannya. Dengan semangat dan kerja keras, tidak ada yang tidak mungkin."
Sambil mendengarkan angin berbisik, Aiden merasa seolah-olah masa depan tidak begitu gelap. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk berjuang demi masa depan yang lebih cerah bersama Asyala. Mereka berdua tahu bahwa dengan saling mendukung, mereka bisa melewati segala tantangan yang menghadang.
Dalam hati Aiden, ada harapan baru yang tumbuh. Mungkin perjalanan ini akan sulit, tetapi cinta dan persahabatan yang mereka jalin akan membawa mereka melewati kegelapan menuju cahaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
Teen FictionAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...