10. Curhat ke Fauzan

17 11 0
                                    

Aiden duduk di salah satu sudut kafe kecil di dekat kampus, memandangi jendela yang basah oleh sisa hujan. Di hadapannya, Fauzan duduk dengan wajah serius, mendengarkan Aiden yang sedang menceritakan kekalutannya. Suasana di dalam kafe tenang, hanya ada beberapa mahasiswa yang sibuk dengan laptop dan secangkir kopi di tangan.

“Zan, gue nggak tahu harus gimana,” Aiden memulai, suaranya terdengar lelah. “Gue pengen cerita ke Asyala, ke anak-anak, bahkan ke keluarga gue soal penyakit gue. Tapi... gimana kalau mereka khawatir? Gue nggak mau bikin mereka susah, apalagi sekarang ini udah hampir ke ginjal, Zan.”

Fauzan mendengarkan dengan seksama, kedua tangannya bersilang di depan dada. Ia mengangguk pelan, seolah merenungkan setiap kata yang diucapkan Aiden. Mereka sudah berteman sejak lama, dan hanya Fauzan yang tahu semua soal penyakit Aiden. Setiap kali Aiden harus pergi ke rumah sakit untuk cek up atau perawatan, Fauzan yang setia menemaninya.

Aiden menghela napas panjang. “Gue pikir, gue bisa nunda dulu cerita ke mereka. Gue nggak siap liat mereka khawatir atau kasihan sama gue. Apalagi Asyala... dia udah punya banyak masalah sendiri.”

Fauzan akhirnya berbicara, suaranya penuh empati. “Aiden, gue ngerti lo nggak mau bikin orang-orang khawatir, tapi lo nggak bisa terus-terusan nyembunyiin ini. Gue tau lo kuat, tapi nggak ada salahnya kalau lo berbagi beban lo sama orang lain.”

Aiden menundukkan kepala, menggigit bibir bawahnya. “Tapi gue nggak pengen diliat lemah. Gue nggak pengen mereka liat gue sakit, Zan. Mereka pasti bakal ngerasa nggak enak, dan gue benci rasa kasihan itu.”

Fauzan menghela napas, menatap Aiden dengan mata serius. “Gue ngerti perasaan lo, bro. Tapi lo juga harus inget, kalau lo tunda terlalu lama, nanti malah lebih susah buat mereka terima. Apalagi kalau kondisinya makin parah. Gue selalu ada buat lo, tapi gue nggak bisa gantiin keluarga lo atau Asyala. Mereka harus tau juga.”

Aiden mengangkat pandangannya, melihat ke arah Fauzan. Kata-kata temannya itu terasa benar, meski sulit diterima. Namun, tetap ada rasa takut yang menghantuinya.

“Apa gue harus cerita sekarang?” Aiden bertanya dengan nada ragu. “Atau gue tunggu sampai gue bener-bener nggak bisa sembunyiin lagi?”

Fauzan menatapnya dengan tatapan tegas. “Gue nggak bisa mutusin buat lo, tapi gue cuma bisa kasih tau satu hal: jangan tunggu sampai lo nggak bisa ngendaliin situasi. Lo berhak untuk dibantu, dan mereka juga berhak tau kondisi lo.”

Aiden terdiam, memikirkan nasihat Fauzan. Di satu sisi, ia tahu temannya benar. Tapi di sisi lain, ia masih merasa belum siap untuk menghadapi reaksi Asyala dan keluarganya.

“Gue... Gue butuh waktu buat mikir,” Aiden akhirnya berkata pelan. “Gue akan cerita, Zan. Tapi nggak sekarang. Gue cuma butuh waktu buat ngeyakinin diri gue sendiri.”

Fauzan tersenyum kecil dan menepuk bahu Aiden. “Gue ngerti, Den. Gue cuma mau lo tahu kalau kapan pun lo siap, gue selalu ada buat lo. Dan gue yakin, Asyala juga bakal ngertiin kalau lo cerita sama dia.”

Aiden mengangguk pelan, meski hatinya masih dipenuhi keraguan. Setelah beberapa menit dalam keheningan, mereka berdua meninggalkan kafe itu. Aiden tahu bahwa suatu hari ia harus jujur tentang penyakitnya, tapi untuk saat ini, ia masih memutuskan untuk menundanya, menunggu saat yang tepat.

Sambil berjalan menuju parkiran, Aiden hanya berharap bahwa saat yang tepat itu tidak akan datang terlambat.

**Bab 10: Lanjutan**

Setelah meninggalkan kafe, Aiden dan Fauzan berjalan tanpa banyak bicara, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Jalanan sore itu basah oleh sisa hujan, dan langit mulai meredup. Aiden merasakan dinginnya angin yang menyusup di antara jaketnya, namun hatinya lebih berat daripada cuaca yang mendung.

“Aiden, lo yakin nggak mau cerita sekarang?” tanya Fauzan lagi, memecah keheningan.

Aiden berhenti, menatap Fauzan sejenak sebelum menghela napas. “Gue belum siap, Zan. Gue nggak pengen Asyala merasa terbebani dengan masalah gue. Dia punya hidupnya sendiri, masalahnya sendiri.”

“Dan lo pikir lo bisa jalanin ini sendirian?” Fauzan balas menatapnya dengan serius. “Asyala mungkin punya masalah sendiri, tapi lo juga bagian dari hidupnya, bro. Lo nggak bisa pura-pura nggak ada apa-apa terus.”

Aiden menatap tanah, rasa bersalah mulai menyelip di hatinya. Bagaimanapun, Asyala sudah banyak menghabiskan waktu dengannya. Dia yang sering membuat suasana hidup Aiden sedikit lebih ringan meskipun tanpa dia sadari. Tapi, jika dia tahu soal penyakitnya, Aiden khawatir hubungan mereka akan berubah. Asyala mungkin merasa terikat oleh tanggung jawab yang tidak ingin Aiden bebankan padanya.

“Aku cuma nggak pengen dia ngerasa kasihan sama gue,” gumam Aiden, nyaris tak terdengar.

“Kasihan? Atau lo takut dia bakal ninggalin lo?” tanya Fauzan tajam, memancing Aiden untuk lebih jujur pada dirinya sendiri.

Aiden terdiam, kata-kata Fauzan menusuk tepat di hatinya. Itu salah satu ketakutan terbesar Aiden, meski ia jarang mengakuinya. Ia takut Asyala akan menjauh setelah mengetahui kondisinya yang semakin memburuk. Setiap kali Asyala ada di sekitarnya, hidup terasa lebih ringan, meskipun ia sering mengeluh tentang tugas-tugas IPA atau kegiatan lain. Aiden tahu bahwa kehadiran Asyala membuatnya ingin bertahan lebih lama, meski tubuhnya mulai menolak.

Mereka sampai di tempat parkir, dan Fauzan menyalakan motornya, bersiap untuk pergi. Sebelum mengenakan helm, Fauzan menatap Aiden sekali lagi.

“Lo nggak harus cerita sekarang, Den. Gue ngerti. Tapi jangan nunda terlalu lama sampai lo nggak bisa cerita sama sekali,” katanya dengan nada rendah namun penuh arti.

Aiden mengangguk tanpa bicara. Fauzan tahu bahwa temannya sedang dalam kebingungan besar, dan ini bukan perkara mudah untuk diselesaikan. Setelah beberapa detik, Fauzan menepuk bahu Aiden sekali lagi, sebelum akhirnya melaju meninggalkan area parkiran.

Aiden berdiri sendirian di bawah lampu jalan yang mulai menyala. Dia tahu bahwa waktu terus berjalan dan kesehatannya semakin menurun. Tanpa sadar, tangannya memegang sisi perutnya yang mulai sering terasa sakit. Dokter sudah memperingatkan bahwa ginjalnya mulai terdampak, dan semakin lama ia menunda pengobatan serius, kondisinya akan semakin parah.

Namun, seperti yang selalu ia lakukan, Aiden memilih untuk menyembunyikan rasa sakit itu. Dia menundukkan kepala, mengenakan helmnya, dan naik ke motornya. Ia tahu bahwa hari ini bukan hari untuk jujur pada Asyala, tapi entah kapan hari itu akan datang.

Malam itu, di apartemennya, Aiden duduk di sofa sambil memegang ponselnya. Jempolnya berulang kali ingin mengetik pesan kepada Asyala, namun ia urung mengirimnya. Bayangan wajah pucatnya di rumah sakit, dan rasa sakit yang semakin menusuk di ginjalnya, membuat ia ragu untuk melibatkan Asyala lebih dalam. Ia tidak ingin merusak kehidupan gadis itu hanya karena masalah kesehatannya.

Ketika akhirnya ia meletakkan ponselnya, notifikasi pesan muncul di layar. Nama Asyala muncul dengan pesan singkat: “Hei, lo baik-baik aja?”

Aiden tersenyum tipis. Meski dia mencoba menjauhkan diri, Asyala selalu bisa merasakan ada sesuatu yang salah.

“Baik. Cuma cape dikit aja,” balasnya singkat, menahan diri dari menceritakan yang sebenarnya.

Asyala membalas cepat. “Jangan kebanyakan kerja! Istirahat ya. Besok gue bawain makanan biar lo nggak kelaperan lagi.”

Aiden merasa hatinya hangat membaca pesan itu. Namun, perasaan bersalah kembali menyeruak. Seberapa lama lagi ia bisa menyembunyikan semuanya dari Asyala?

Dengan rasa yang bercampur aduk, Aiden meletakkan ponselnya dan memandang langit-langit apartemennya. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa saatnya akan tiba ketika ia tak bisa lagi menyembunyikan kenyataan dari Asyala namun sampai saat itu tiba, ia akan terus bertahan, meski dengan rasa sakit yang kian memburuk.

Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang