Aiden terbaring lemah di ranjang rumah sakit, jantungnya berdebar tidak teratur. Hari-hari terapi cuci darah telah menguras tenaga dan semangatnya. Tubuhnya terasa semakin lemah, dan rasa sakit tidak bisa lagi ia sembunyikan. Meskipun begitu, dia bertekad untuk menyelesaikan satu hal yang paling penting sebelum terlambat: meminta maaf kepada keluarganya.
Hari itu, Aiden memanggil Fauzan, sahabatnya, untuk mendampinginya. Fauzan duduk di sampingnya, memberikan dukungan moral yang sangat dibutuhkan. "Aiden, kamu kuat. Apa yang bisa aku bantu?" tanya Fauzan, berusaha memberikan semangat.
Aiden menggerakkan tangannya, meminta Fauzan untuk mendekat. "Aku ingin berbicara dengan keluargaku," katanya pelan, suara hampir tak terdengar.
Fauzan mengangguk dan menghubungi keluarga Aiden. Beberapa saat kemudian, Bunda, Ayah, dan adiknya, Zara, masuk ke ruangan. Wajah mereka terlihat khawatir dan lelah. Aiden bisa melihat ekspresi campur aduk di wajah mereka, tetapi dia merasa tidak ada waktu lagi untuk menyimpan rasa sakit yang telah lama terpendam.
"Ma, Ayah, Zara," Aiden memanggil dengan suara lemah, "aku ingin minta maaf."
Bunda dan Ayah saling memandang, bingung. "Maaf? Kenapa, Nak?" Bunda bertanya, matanya mulai berkaca-kaca.
"Selama ini, aku sering merasa terasing dari kalian. Aku tahu aku tidak selalu membuat keputusan yang tepat. Aku minta maaf jika pernah membuat kalian merasa kecewa atau marah," Aiden mengungkapkan dengan suara yang penuh emosi.
Zara mendekat, menggenggam tangan Aiden. "Kak, jangan bilang begitu. Kami semua khawatir tentangmu," ucapnya sambil menahan tangis.
Aiden menatap Bunda dan Ayah. "Aku tahu kalian sering berdebat, dan kadang kalian lupa betapa pentingnya kebersamaan. Meskipun kita berbeda pendapat, aku ingin kalian tahu bahwa aku mencintai kalian. Aku hanya ingin kita bisa lebih dekat, tidak peduli apa pun yang terjadi."
Bunda menghapus air mata yang mengalir di pipinya. "Kami juga mencintaimu, Aiden. Kami mungkin tidak selalu menunjukkan dengan cara yang benar, tapi kami peduli," katanya, suaranya bergetar.
Aiden tersenyum lemah. "Aku tidak ingin pergi dengan rasa tidak enak. Aku ingin kalian tahu, jika ada yang terjadi padaku, aku akan selalu mencintai kalian. Dan jika aku bisa memberi satu pesan, itu adalah untuk saling mendukung satu sama lain."
Ayah mengangguk, menahan emosi. "Kita akan berusaha lebih baik, Aiden. Kami berjanji."
"Aku ingin kalian berjanji satu hal," Aiden melanjutkan. "Jika aku tidak ada lagi, jaga Zara. Jangan biarkan dia merasa sendirian."
Zara menggelengkan kepalanya, "Kak, jangan bilang begitu! Kamu akan sembuh."
Aiden meraih tangan Zara. "Percayalah, kita semua akan baik-baik saja. Tapi jika waktu itu tiba, tolong jaga satu sama lain."
Keluarga Aiden terdiam, tidak bisa menahan tangis mereka. Aiden merasakan beban di dadanya sedikit mengurangi, meskipun sakit masih menghantuinya. Dia tahu, dalam momen-momen seperti ini, pentingnya saling memaafkan dan mencintai satu sama lain lebih dari segalanya.
Setelah beberapa saat berbicara dan berbagi kenangan, suasana di ruangan mulai terasa hangat. Mereka berbicara tentang hal-hal sederhana, tentang masa lalu, tawa, dan kebersamaan yang pernah ada. Aiden merasakan cinta yang mengalir di antara mereka, dan meskipun ia tahu waktunya mungkin tidak lama, hatinya merasa tenang.
Di akhir pertemuan itu, Aiden menatap keluarganya satu per satu. "Aku mencintai kalian," katanya. "Selalu."
Dengan perasaan tenang dan penuh cinta, Aiden menutup matanya sejenak, berharap untuk bisa melihat semua kenangan indah itu sekali lagi. Dan meskipun hidupnya mungkin akan segera berakhir, dia tahu bahwa cinta keluarganya akan selalu bersamanya, di mana pun dia berada.
Aiden membuka matanya perlahan, melihat wajah-wajah yang dicintainya berkerumun di sekelilingnya. Semuanya terlihat lebih jelas sekarang, seolah setiap detail menjadi lebih bermakna. Bunda, Ayah, dan Zara masih ada di sampingnya, berusaha menahan air mata.
“Maafkan aku jika aku pernah membuat kalian merasa tidak diinginkan. Itu bukanlah maksudku. Aku hanya ingin kita bisa bersama, tidak peduli apa pun yang terjadi,” Aiden melanjutkan. Suaranya mulai terputus-putus, tetapi dia berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan pesannya.
Bunda menggenggam tangan Aiden erat-erat. “Kami sudah memaafkanmu, Aiden. Semua yang kami lakukan, kami lakukan karena kami peduli. Kami ingin yang terbaik untukmu,” katanya, suaranya bergetar.
Ayah menambahkan, “Kita semua mengalami masa sulit. Namun, kita akan selalu ada untukmu, tidak peduli apa pun yang terjadi. Itu janji kami.”
Aiden menatap mata mereka, melihat keikhlasan dalam tatapan itu. “Aku ingin kalian terus mendukung satu sama lain, terutama Zara. Jangan biarkan apa pun memisahkan kalian. Ingat, keluarga adalah segalanya.”
Zara mengangguk, tangisnya semakin parah. “Kak, jangan bicara seperti itu. Kamu akan sembuh, dan kita semua akan bersama lagi. Kita bisa membuat lebih banyak kenangan indah,” ucapnya penuh harapan.
“Tapi jika sesuatu terjadi padaku, ingatlah bahwa aku mencintai kalian lebih dari apa pun. Semoga kalian bisa melanjutkan hidup dengan bahagia,” kata Aiden sambil berusaha tersenyum, meskipun hatinya terasa berat.
Aiden merasakan kehangatan tangan Bunda dan Ayah yang masih menggenggamnya, memberikan kekuatan dan dukungan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dalam momen itu, semua perasaan pahit dan kesedihan yang pernah ada terasa sirna, tergantikan oleh rasa cinta yang mendalam.
Beberapa menit berlalu, dan Aiden merasakan tubuhnya semakin lemah. Dia tahu waktunya hampir tiba. “Satu hal lagi,” Aiden berbisik. “Tolong jangan terlalu bersedih. Kenangan indah kita akan selalu ada dalam hati. Dan jika kalian merasa kehilangan, ingatlah bahwa aku akan selalu bersamamu dalam bentuk lain.”
Air mata Bunda mengalir semakin deras. “Aiden, kami akan selalu mengingat semua kenangan kita. Jangan khawatir, kami akan terus menjalani hidup demi kamu,” jawabnya, berusaha tegar meskipun hatinya hancur.
Dengan berat hati, Aiden mengangguk. Dia menutup mata sejenak, merasakan semua cinta dan kebersamaan yang mengelilinginya. Dalam keheningan itu, dia merasakan ketenangan yang belum pernah dia alami sebelumnya.
Akhirnya, saat nafasnya semakin lambat, Aiden merasakan sentuhan lembut dari Fauzan yang kembali masuk ke ruangan. “Aku tidak mau ketinggalan momen penting ini,” Fauzan berkata, menahan tangisnya. Dia mendekat dan menggenggam tangan Aiden, seolah memberi kekuatan tambahan.
“Terima kasih, Fauzan, untuk selalu ada,” Aiden berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. “Kau adalah sahabat terbaik yang pernah kumiliki.”
Fauzan mengangguk, air mata mengalir di pipinya. “Aku berjanji akan menjaga semua kenangan kita, Aiden. Tidak peduli apa pun yang terjadi, kita akan selalu bersama.”
Momen itu terasa seperti keabadian. Dengan pelukan hangat dari keluarganya dan sahabat terdekatnya di sisinya, Aiden menutup mata untuk yang terakhir kalinya. Dalam pikirannya, dia membayangkan semua kenangan indah yang telah mereka buat bersama—senyuman, tawa, dan cinta yang tidak akan pernah pudar.
Saat napasnya berhenti, Aiden merasa seolah terbang bebas, meninggalkan semua rasa sakit dan derita di dunia. Dia melangkah ke dunia yang lebih baik, di mana cinta dan kebahagiaan akan selalu menyertainya.
Keluarganya dan Fauzan tetap di sampingnya, berjanji untuk tidak melupakan Aiden, sahabat dan anak yang telah mengajarkan mereka arti cinta yang sejati, hingga akhir hayatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
Novela JuvenilAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...