Matahari masih menyengat ketika Aiden dan teman-temannya di kampus memutuskan bermain basket sore itu. Meski tubuhnya lelah dan rasa sakit di ginjalnya sering muncul, Aiden tetap memaksakan diri untuk bermain. Olahraga selalu menjadi pelariannya, sejenak membuatnya lupa akan sakit yang dirasakannya.
"Lo yakin nggak apa-apa, Den?" tanya Fauzan sambil memutar bola di tangannya. Dia tahu kondisi Aiden yang seharusnya tidak boleh terlalu dipaksakan.
Aiden tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa lelah yang tampak jelas di wajahnya. "Santai aja, Zan. Gue masih kuat."
Mereka mulai bermain, dengan Aiden berusaha sebaik mungkin untuk menjaga ritme permainan. Namun, setiap kali ia berlari dan melompat, rasa nyeri di perutnya semakin terasa. Ia tahu bahwa ginjalnya mulai tidak kuat, tapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan teman-temannya.
Beberapa menit kemudian, ketika Aiden mencoba mengambil bola yang memantul di tepi lapangan, ia tiba-tiba merasa pandangannya berputar. Kakinya lemas, dan dalam sekejap, tubuhnya jatuh terhempas di tengah lapangan. Semua terhenti seketika, teman-teman di sekitarnya bergegas mendekat.
“Aiden!” teriak Fauzan, panik melihat sahabatnya tak sadarkan diri. Ia segera berlutut di samping Aiden, merasakan denyut nadi yang lemah dan wajah yang sangat pucat. Ini bukan pertama kalinya Aiden pingsan, tapi kali ini terlihat lebih serius.
Tanpa berpikir panjang, Fauzan mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan cepat kepada Asyala:
_"Asyala, lo bisa ke kampus sekarang? Aiden pingsan di lapangan basket. Gue takut ini lebih parah dari yang biasa."_
Dia menunggu dengan cemas, menatap layar ponselnya yang tak kunjung menampilkan tanda balasan. Pikiran Fauzan berkecamuk; ia tahu betapa pentingnya Asyala bagi Aiden, meski keduanya sering bersikap biasa saja, hubungan mereka lebih dalam dari sekadar mentor dan murid. Tapi Fauzan juga tahu, Aiden terus merahasiakan penyakitnya, terutama dari Asyala.
Notifikasi pesan akhirnya muncul di layar.
_"Kenapa bisa pingsan? Apa dia nggak istirahat lagi?!"_
Fauzan menghela napas panjang sebelum mengetik balasan, berusaha menenangkan Asyala meski ia sendiri tak bisa menghilangkan rasa khawatirnya.
_"Gue nggak tahu detailnya, mungkin kecapean. Tolong jangan marah sama dia, ya. Aiden nggak bilang banyak ke gue juga, tapi gue tahu dia butuh lo sekarang. Lo datang aja dulu, kita bicara baik-baik."_
Ada jeda cukup lama sebelum Asyala akhirnya membalas lagi.
_"Oke, gue jalan sekarang. Cuma... Fauzan, kalau ada yang lo tahu soal Aiden yang gue nggak tahu, kasih tahu gue, ya. Ini udah sering terjadi, kan?"_
Fauzan terdiam sejenak menatap pesan itu. Hatinya ingin memberi tahu segalanya, mengungkapkan semua yang sudah Aiden sembunyikan, terutama tentang penyakit ginjalnya yang semakin parah. Tapi janji yang dibuat kepada Aiden membuat Fauzan ragu. Ia tidak ingin mengkhianati sahabatnya, meski hatinya berkata bahwa Asyala berhak tahu.
Dengan berat hati, Fauzan mengetik balasan.
_"Nanti gue jelasin, tapi lo datang aja dulu ke sini. Gue di lapangan basket kampus."_
Dia menyimpan ponsel di saku, lalu mengarahkan pandangannya kembali pada Aiden yang masih terbaring lemah di lantai. Beberapa teman mereka telah memanggil ambulans, dan situasi mulai terkendali. Tapi Fauzan tahu ini bukan sekadar pingsan biasa, dan waktu Aiden untuk merahasiakan semuanya dari Asyala semakin menipis.
Saat Asyala tiba di kampus, dia langsung berlari ke lapangan basket. Nafasnya terengah-engah, tidak hanya karena terburu-buru, tetapi juga karena kecemasan yang membuncah. Begitu ia melihat Aiden dibaringkan di atas tandu ambulans, wajahnya semakin pucat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
أدب المراهقينAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...